Oleh De Zha Voe
“Kerrr... ck,ck,ck...
kerrr... ck,ck,ck...”
Suiiiinnngggg...
Pruk!
“Adow!” Argi melonjak kaget.
Sebuah majalah mendarat tepat di kepalanya. “Woi! Kalo ngelempar liat-liat
dong!”
“Sori, Neng!” jawab tukang
majalah sambil lalu.
Delon, Ayam jago piaraan
Argi jadi shock. Gara-garanya, setelah majalah itu mengenai kepala Argi,
majalah itu mampir juga di kepala Delon, yang sedang asyik matok-matokin
makanan di telapak tangan Argi. Delon kocar-kacir muter-muter pekarangan.
Terbang-terbangan, sebelum nemplok di pagar rumah dan ngacir keluar.
Argi segera memburunya.
“Delon tunggu! Jangan tinggalkan aku!”
Arga keluar dari dalam rumah
dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Dia meletakkan cangkir kopinya di
atas meja. Nguap sebentar. Matanya menubruk majalah Komo Girl Yang jadi biang
keladi pelarian Delon terkapar di atas permadani rumput gajah halaman depan
rumahnya. Arga memungutnya. Nangkring di atas kursi bambu, menyeruput kopi
hangat, sambil baca majalah.
Tak berapa lama Argi kembali
bersama Delon di gendongannya. Setelah putar-putar gang rumahnya, Delon
berhasil juga ditangkap Argi dengan sukarela. Itu pun setelah Argi
teriak-teriak membujuk mau ngenalin Delon sama Joy, ayam betina milik tetangga
sebelah rumahnya.
“Sopan dong!” tegur Argi
waktu melihat majalah Komo Girl miliknya dibaca Arga. “Yang punya aja belom
baca!”
“Ada telepon, noh!” kata
Arga, matanya gak lepas dari lembar majalah.
“Buat gue?”
“Buat siapa, kek,” jawab
Arga seenaknya, “Buruan, udah dari tadi tuh!”
“Dari?”
“Dari tadi!”
“Yee! Gue tau,” Argi gak
kalah sewot, “Maksud gue dari siapa?!”
Arga hanya mengangkat bahu.
“Huh!” Argi merengus.
Sebelum masuk ke dalam rumah dia menyempatkan untuk melabuhkan jitakan di jidat
Arga.
“Awas lo ye!” Arga
misuh-misuh.
Sampai di ruang tengah
tempat telepon dipajang, Argi melihat Bunda sedang menerima telepon.
“Sini, Bunda.” Argi merebut
gagang telepon dari tangan Bunda, Bunda berusaha mempertahankannya.
“Kamu apaan sih?!”
“Idih Bunda, teleponnya kan
buat Argi!”
“Sembarangan kamu!” Akhirnya
Bunda berhasil merebut gagang telepon dari tangan Argi, “Maaf ya, Jeng Kok...
anak saya emang suka jail!”
Argi mengerutkan kening.
“Bukannya telepon buat Argi?”
“Bukan!” jelas Bunda
setengah berbisik, “Udah sana jangan ganggu!”
Kurang ajar si Arga!
Argi kembali ke teras depan
menemui Arga dengan kedua tangan terkepal, siap melakukan gempuran udara ke
kening Arga yang mirip lapangan bola.
“Elo iseng banget sih,
ngerjain orang!” semprot Argi, “Hampir aja gue dipecat jadi anak sama Bunda!”
“Iseng gimana?”
“Kata lo ada telepon?!”
“Emang ada.”
“Mana?”
Arga berdiri dari kursinya,
menyeret tangan Argi kembali ke ruang tengah. Bunda sudah selesai menerima
telepon.
“Ini apa?” Arga menunjuk
telepon yang berbaring manis di atas meja kayu kecil.
“Telepon.”
“Mata lo ditaro di mana sih?
Telepon segede gini gak ngeliat!”
Argi garuk-garuk kepala.
Bingung dengan maksud perkataan Arga.
“Duh... yang bego gue apa
elo sih? Gue jadi bingung gini...”
“Tadi gue bilang apa?”
“Ada telepon, noh!” Argi
mengulangi ucapan Arga, di teras depan rumah, selepas dia berhasil membujuk
Delon untuk kembali.
“Nah, ini apa?”
“Telepon.”
“Gue gak bohong kan?”
Argi makin gak mengerti.
Arga ketawa-ketawa dalam hati, lalu ngeloyor pergi ninggalin Argi yang
rambutnya makin acak-acakan digaruk-garukin karena bingung.
“Selamat mikir deh!”
“Arga!”
***
Ringtone ponsel Arga
mengudara, saat ia baru saja menggelar tikar sajadah. Ada SMS masuk. Lelaki
Terindah? Dia beranjak meninggalkan kamarnya, pergi ke kamar Argi di sebelah.
Dug! Dug! Dug!
“Argi!” panggil Arga.
Dug! Dug! Dug!
“Argi!” volume suaranya
bertambah keras.
Argi membuka pintu kamarnya.
Matanya setengah terpejam. Maklum saja, sudah tengah malam. Waktunya
orang-orang tenggelam dalam selimut mimpi. Menerjemahkan yang tak terjemahkan
dalam kehidupan sehari-hari dalam dunia mimpi. Dan Arga baru saja sukses
mengobrak-abrik alur cerita dalam mimpi Argi.
“Jam di kamar lo mati ya?!”
sungut Argi, “Tengah malam gedor-gedor kamar orang!”
Arga hanya tersenyum melihat
sepetak liur yang mengerak di pipi Argi, menyerahkan ponselnya kepada Argi.
“Ada SMS!”
“Elo bangunin gue
malem-malem cuma buat bacain SMS doang?!”
“Jangan sewot dulu,” Arga
menenangkan, “Baca dulu SMS-nya.”
Argi membuang matanya ke
layar ponsel milik Arga. Membaca kalimat yang ada di sana. Matanya berbinar
waktu melihat nama pengirimnya.
“Duh... romantis banget sih!” gumam Argi girang.
kau bgai darah ygmeriak di sungai venakumembuat jntungku berdtaktiap kali mengingat wjhmu
Sender: +62815693142Sent: 26 May 2005 02:35:14
“Duh... romantis banget sih!” gumam Argi girang.
Arga berbalik, bermaksud
kembali ke kamarnya. Argi menghentikan langkah Argi tepat di saat dia berada di
ambang pintu.
“Thanks ya, Ga!”
Arga tersenyum, “Tadi aja,
marah-marah.”
“Sori deh,” mohon Argi, “elo
belom tidur, Ga?”
“Baru aja bangun.”
“Mau ngapain bangun tengah
malam gini?”
“Mau ngobrol.”
“Ngobrol sama siapa? Sama
kuntilanak?”
“Sembarangan lo!” ujar Arga,
“Udah ah, gue mau tahajud dulu!”
Ooo... ngobrol sama Tuhan.
Diam-diam dia menyimpan kekaguman pada saudara kembarnya itu. Biarpun
penampilan luarnya ancur-ancuran, bahkan lebih mirip anak berandalan dari pada
anak sekolahan, tapi tidak pernah Argi melihat Arga ninggalin shalat. Argi
meringis. Malu. Jangankan tahajud, yang lima waktu aja mirip saringan ikan,
alias bolong-bolong!
Argi beranjak ke kamar, naik
kembali ke atas ranjang tidurnya, melanjutkan mimpi indah yang terpenggal sebab
Arga mengedor-gedor pintu kamarnya.
Oh, Lelaki Terindah... Argi
senyum-senyum sendiri, sebelum matanya kembali memejam dan bermimpi bertemu
dengan lelaki yang selalu mengiriminya kata-kata cinta: Lelaki Terindah.
***
“Gawat Nih!”
Sudah setengah jam lebih
Arga berdiri di tepi jalan, mengacungkan tangannya, menyetop angkot-angkot
jurusan terminal. Tapi gak satu pun dari angkot-angkot itu yang sudi berhenti,
dan membiar kan Arga naik ke dalamnya. Bukan karena merasa alergi sama Arga.
Tapi angkot-angkot itu malas membawa penumpang ke terminal. Saban Senin, trayek
yang menuju terminal luar biasa padat!
Tigapuluh menit lagi bel
tanda dimulainya kegiatan belajar mengajar SMU Merah Jambu dibunyikan. Arga gak
mau usaha belajarnya semalaman jadi berantakan, gara-gara dia terlambat dan
harus mengerjakan soal di depan kelas, seperti tempo hari, waktu jam
pelajarannya Pak Saragih.
Memang sih, Bu Nita, guru
matematika gak segalak Pak Saragih. Baik hati malah.
“Yah, asal jangan terlambat
pas dia lagi datang bulan aja!” jelas Tami, keponakan Bu Nita, teman satu
sekolah Arga, cuma lain kelas aja, waktu dia muji-muji kebaikan tante dari adik
ibunya itu.
“Emangnya kalo lagi datang
bulan kenapa?”
“Wah, itu jadwalnya dia
berubah jadi srigala!”
“Hah? Emang tante lo manusia
srigala ya?”
“Hahaha... sadis ya gue?”
ujar Tami, “Nggak sih. Gak segalak itu. Cuma gak sebaik kalo dia lagi gak
datang bulan aja.”
“Oh...”
Arga mengambil Ponselnya.
Mengetik pesan.
Tante lo lagi dtg bln ga, Tam?Sent to: Tami 08567823958
Tampak tulisan di layar
ponsel Arga: Message Sent
Gak berapa lama ponsel Arga
kembali bergetar. Ada SMS masuk.
Knpa? Lo terlambat y? Ha100x
kyaknya sih jdwlnya dia dtg bln
coz kmaren gw k rmhnya
doi lg mrh2 ma suaminya
ati2 aj dicakar!
Sender: Tami 08567823958
Sent: 26 May 2005 07:00:14
“Huh!” runtuk Arga,
“Gara-gara Argi, nih!”
Selepas Subuh tadi,
sebenarnya Arga nggak bermaksud tidur lagi. Dia mau berangkat ke sekolah lebih
pagi. Melanjutkan belajarnya di sekolah, sebelum ulangan matematika
diselenggara pada jam pertama. Arga memang lemah benget di pelajaran
hitung-hitungan. Sebenarnya agak-agak alergi. Habis... gue kan orangnya gak
peritungan! Begitu dia beralasan. Agak gak nyambung memang.
Tapi waktu Arga mau masuk ke
kamar mandi, keburu keduluan Argi. Terpaksa deh harus ngantri. Tahu sendiri si
Argi, kalo sudah di kamar mandi bisa betah berjam-jam. Karena terlalu lama
nunggu Argi nggak keluar-keluar, Arga ketiduran di depan kamar mandi. Dia baru
bangun, waktu Bunda yang mau berangkat ke tempat kerja teriak-teriak di
telinganya. Sedang jarum jam telah menunjuk angka 6.45 WIBRTRA (Waktu Indonesia
Bagian Ruang Tengah Rumah Arga).
Sebuah sedan berhenti tepat
di depan Arga. Pengendara Honda Crivic warna pink metalik itu membuka kaca
mobilnya. Melempar senyum ke arah Arga. Arga balas tersenyum.
“Elo...”
“Ketua OSIS SMU Cakra!” kata
pengendara itu, seperti tau kalimat yang mau Arga ucapkan, “masih ingat?”
“Oh...” Arga
mengangguk-anggukan kepala, “Yang namanya...”
Cowok tampan berkulit putih
bersih itu mengulum senyum, “Dava,” katanya menyebutkan namanya.
“Ya, ya... Dava. Gue inget
sekarang.”
“Inget apa?”
“Inget kalo...” Arga melirik
arloji di tangannya, “Dikit lagi gue terlambat!” Arga panik.
Cowok bernama Dava itu
membukakan pintu mobilnya dari dalam. “Bareng aja, yuk!”
“Serius nih?” Arga ragu,
“Ongkosnya berapa?”
Dava tertawa mendengar
kelekar Arga. “Udah yuk, naik! Tar elo makin terlambat aja!”
Tanpa malu-malu, Arga
langsung masuk ke dalam sedan merah yang ruang dalamnya beraroma lemon itu.
“Berangkat!”
Lagi lagi cowok itu tertawa
melihat tingkah Arga.
Sedan itu bergerak menyusur
aspal jalanan. Tapi sampai di pertigaan lampu merah apotik, jalan macet total.
Mobil-mobil hanya bisa bergerak tiga putaran roda. Arga kembali gelisah.
“Mobil lo bisa terbang gak?”
“Hah? Terbang gimana?”
“Ya, terbang kaya di
film-film. Bisa keluar baling-baling dari atasnya.”
“Hahaha... elo bisa aja, Ga!
Emangnya mobil gue Doraemon?” Dava ngakak.
“Jam pertama ada ulangan
matematika nih!”
“Udah lo tenang aja.”
Dalam kecemasan, tiba-tiba
Arga menangkap suara knalpot yang begitu akrab di telinganya. Dia mencari-cari
asal suara. Hah, itu dia!
“Toing!”
Toing menghentikan laju
vespa merahnya. Celingukan mencari-cari pemilik suara yang memanggilnya. Arga
melambai-lambaikan tangan ke arah Toing.
“Tengkyu ya, Dav,” ucap
Arga, membuka pintu mobil, “Selanjutnya biar temen gue si Toing yang
menyelamatkan gue.”
“Eh, Ga...” panggil Dava.
Terlambat. Arga tidak mendengar. Dia udah keburu menutup pintu mobilnya.
Arga berlari menghampiri
vespa Toing, melompat ke boncengan, menepuk pundak Toing, sebelum mengucapkan:
“Cabut, Bro!”
Vespa antik itu melaju
membelah celah-celah kendaraan yang harus puas merayap tiga putaran roda saja,
karena kemacetan yang rupanya telah menjadi bagian dari pemandangan di kota
tempat Arga menetap.
Tapi usaha Arga dan Toing
itu gak terlalu mendatangkan hasil, sebab mereka baru tiba di sekolah lima
menit setelah bel mengudara, dan pintu pagar telah dirapatkan.
Untungnya, Pak Chirex,
mantan preman terminal yang sekarang jadi satpam sekolah mereka mengijinkan
mereka berdua masuk, setelah Toing berjanji nyomblangin dia sama mpok-nya yang
jaga kantin.
Waktu Arga dan Toing sampai
di kelas, Bu Nita belum ada di sana. Maka selamatlah mereka berdua dari murka
Bu Nita. Dan perjuangan Arga bangun tengah malam buat belajar gak jadi sia-sia.
Hanya saja... mereka harus
rela mengikuti proses belajar tanpa mengenakan alas kaki, alias nyeker! Peraturan
sekolah mereka memang begitu. Siapa pun yang datang terlambat, walau hanya satu
menit sebelum pintu pagar dirapatkan, harus menitipkan sepatunya di kantor
satpam!
“Brengsek tuh satpam,
padahal udah gue janjiin mau nyomblangin dia sama Mpok gue!” runtuk Toing.
“Ho’oh,” timpal Arga.
“Liat aja,” kata Toing lagi,
“gak bakalan deh gue comblangin.”
“Siapa?”
“Satpam itu.”
“Sama?”
“Duh... elo blo’on banget
sih! Ya sama mpok gue lah!” Toing keki. Arga ketawa-ketiwi.
Argi ketawa cekikikan
melihat Arga dan Toing masuk ke kelas tanpa alas kaki. Arga mengempas tasnya ke
atas meja, sebelum melabuhkan tubuhnya di kursi di sebelah Argi.
“Nyeker ni, ye!” ejek Argi.
“Gara-gara lo mandi kelamaan
nih!”
“Yee... nyalahin gue, lagi!”
“Bu Nita mana?”
“Gak masuk.”
Arga mengeryitkan dahinya. “Terus ulangannya?”
“Gak jadi. Diundur sampe dia
sembuh,” jelas Argi.
“Sumpe lo?”
“Susu tumpe di muke lo!”
“Ye, serius nih!”
“Tadi guru piket yang ngasih
pengumumannya. Bu Nita cuma nitip catatan aja.”
Arga menepuk jidatnya.
Perjuangannya untuk bisa mengikuti ulangan matematika seperti jadi sia-sia.[]
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini