Oleh Denny Prabawa
Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Begitu pepatah Arab yang saking masyhurnya sering disalahpahami sebagai ucapan Nabi Muhammad. Dalam beberapa ayat Alquran, Allah memerintahkan manusia untuk melakukan perjalanan. Ajaran Islam sendiri banyak yang mengandung unsur perjalanan di dalamnya, seperti ibadah haji, hijrah, ziarah, dan rihlah.
Salah satu tujuan perjalanan dalam Islam adalah menuntut ilmu. Tak peduli jika untuk melakukannya harus menempuh jarak yang sangat jauh, bahkan sampai ke negeri China. Pepatah itu menunjukan posisi China ketika itu yang dianggap sebagai salah satu pusat peradaban. Oleh karena itu, walaupun China berada nun jauh di sana dan China bukan negeri pemeluk Islam, menuntut ilmu ke sana adalah sesuatu yang dianggap penting.
Laiknya China di masa lalu, Mekah, Madinah, Kairo, Fez, Qum, Beirut dikenal sebagai tujuan perjalanan dalam mencari pengetahuan. Pada masa lalu, jamaah haji Indonesia tidak pergi ke Mekah sekadar untuk melaksanakan ibadah haji, tetapi juga menimba ilmu dari ulama-ulama di sana.
Sumanto Al Qurtuby dalam pengantar buku ini menyebut kota-kota, seperti Mekah, Madinah, Kairo, Fez, Qum, Beirut sebagai sacrad space atau central authority bagi umat Islam. Akan tetapi, kini individu santri dan kelompok keislaman memandang kosep itu secara beragam. Kota-kota yang selama ini dipandang sebagai ruang sakral, mendapat kompetitor baru, seperti Cambridge, Boston, Berkeley, Montreal, dan Oxford yang juga menawarkan program-program kajian keilmuan dan keislaman yang menarik (hlm. xiv).
Buku ini ditulis oleh aktivis Nahdatul Ulama (NU) yang berkesempatan melakukan perjalanan untuk mencari ilmu ke negeri-negeri Barat, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Prancis, Belanda, dan jerman. Ketiga belas tulisan dalam buku ini menawarkan berbagai pengalaman menarik selama mereka nyantri di kampus-kampus Barat, memberikan persepsi berbeda mengenai kehidupan Islam di Barat.
Nyantri di Kampus Barat
Sumanto Al Qurtuby menuliskan perjuangannya mendapatkan beasiswa doktor di Boston University (BU). Ia juga menuturkan pengalamannya nyantri bersama profesor orientalis yang mencoba menampilkan sisi positif Islam di BU. Sumanto mengelari para profesor itu sebagai “pendekar” yang membela diskursus Islam yang “toleran, pluralis, pacifis, dan demokratis” (hlm. 19).
Sementara itu, Al Makin mencoba merefleksikan perjalanan intelektualnya dari Sapen di Yogyakarta tempat ia memperoleh gelar sarjana agama, hingga Montreal dan Heidelberg yang memberinya gelar master dan doktor. Ia menemukan sebagian semangat kota Muslim zaman klasik, sekarang diwarisi kota-kota Barat, seperti Montreal yang dinamis dan Heidelberg yang meneduhkan (hlm. 50).
Nuning yang semula ragu mengambil mata kuliah yang diampu oleh dosen Yahudi dari Israel, mendapat perspektif baru terhadap Yahudi. Selain bersikap baik kepada dirinya, dosennya itu bahkan rela bertengkar dengan mertuanya karena penghinaan yang dilakukan mertuanya itu terhadap jilbab. Dosennya itu memang dikenal sebagai aktivis pembela hak-hak Muslim di perbatasan Israel-Palestina (hlm. 102)
Kisah Ismail Fajrie Alatas lain lagi. Ia menemukan tradisi pesantren di Ann Arbor, Michigan. Setiap semester Profesor Bonner, dosenya, mengadakan kelas informal untuk membaca dan mengaji kitab-kitab Islam klasik seperti dalam tradisi NU. Dalam setahun, ia berhasil menamatkan beberapa kitab kuning (hlm. 80—81)
Berislam di Barat
Kisah Arief Maftuhin lain lagi. Ia menemukan semangat untuk shalat berjamaah justru ketika studi di Amerika. Suasana yang “jauh” dari serba shalat membuat Arief rajin berjamaah. Tidak mudah untuk melaksanakan shalat di negeri tempat Islam menjadi minoritas. Ia harus berjamaah di lawn yang biasa digunakan untuk bermain lempar bola, di lantai dasar gedung Husky Union Building, di sebuah taman yang sepi, di halaman samping convienient store, dan di ruang kerja di perpustakaan. Namun, yang paling menarik adalak perkataan temannya mengenai gereja yang biasa disewa untuk pelaksanaan shalat Jumat (hlm. 63)
Jilbab yang dikenakan Nunung menjadi jalan dakwah baginya di Montreal. Jilbab yang dikenakannya telah banyak mengusik hati dan membuat para wanita nonmuslim penasaran. Ketika musim panas tiba, seorang wanita dengan celana pendek dan baju singlet menghampirinya. Ia bertanya, “Kamu nggak kepanasan?”. Nunung menjawab, “Pakaianku bagaikan bayangan yang melindungiku dari terik matahari.” Mendengar jawaban Nunung, wanita itu tersenyum sambil mengiyakan. Pada kesempatan lain, ia bertemu dengan wanita yang berbeda. Ia mengatakan, “Sebenarnya, agamaku menyuruhku memakai jubah, tetapi aku nggak bisa.” (hlm. 120)
Mahmud Syaltout mencoba membandingkan Paris dengan Surabaya. Paris memang tidak membuat larangan prostitusi, tetapi jangan pernah mecoba mencari lokalisasi pelacuran di sana. Paris melarang pengorganisasian prostitusi seperti rumah bordil. Fenomena Paris itu sungguh berbeda dengan Surabaya yang memiliki lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara bernama Dolly. Ironisme itu membuat Mahmud bertanya-tanya, mana lebih santri, Paris atau Surabaya? (hlm. 154—155)
Masih banyak lagi kisah lain yang akan memberikan perspektif berbeda mengenai Barat. Kisah-kisah tersebut seolah hendak mengekalkan pemahaman pluralisme yang memang sering disuarakan aktivis NU. Walaupun kondisi umat Islam di Barat masih jauh dari ideal, kita tak bisa menafikan manfaat positif dari interaksi mereka dengan masyarakat multikulturan dan multietnik. Buku ini dapat dijadikan rujukan mengenai bagaimana interaksi itu terjalin.
Jika ada yang dapat dianggap mengganggu dalam buku ini, barangkali terkait penyuntingan. Banyak kesalahan sunting yang sudah tampak sejak dari sampul depan. Judul Berguru ke Kiai Bule menjadi titik mula kekeliruan tersebut. Preposisi ke yang seharusnya dipakai untuk menunjukan keterangan tujuan berupa tempat, digunakan untuk menunjukan keterangan tujuan yang berupa manusia, yakni Kiai Bule. Preposisi ke tersebut dapat diganti preposisi kepada.
Kealpaan dalam penyuntingan tersebut barangkali dapat ditutupi dengan Kata Pengantar yang ditulis Sumanto Al Qurtuby. Sebagai sebuah pengantar, tulisan Sumanto sangat lengkap dan menarik. Namun, pengantar yang lengkap itu dapat berpotensi menghentikan pembaca. Mereka akan merasa cukup membaca buku itu hanya dengan membaca pengantarnya saja.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan buku ini, seperti perkataan Robert W. Hafner yang dimaksudkan sebagai endorsement, “Buku ini membuktikan adanya sebuah proses dialog yang saling memperkaya antara tradisi Islam Indonesia dan kebudayaan Barat, dan bukan “benturan antar-peradaban” ala Samuel Huntington.” Seperti pepatah Arab di masa lalu, tak salah jika buku ini seolah hendak menyampaikan pesan kepada pembacanya: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Barat!”
Pulokambing, 19/02/2013
DATA BUKU
Judul: Berguru ke Kiai Bule
Penulis: Sumanto Al Qurtuby, dkk.
Penerbit: Noura Books
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: vliv + 275 hlm
ISBN: 978-602-7816-06-0
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini