Naik Kelas by Arini |
Ketika menjadi juri lomba
menulis cerpen dan puisi di SMK Citra Negara, saya berbincang dengan seorang
guru bahasa Indonesia. Dari perbincangan tersebut, saya mendapat informasi
mengenai biaya pendidikan di SMAN yang sudah digratiskan. Bimbel menjadi institusi
yang diuntungkan. Karena biaya sekolah gratis, orang tua punya cukup dana untuk
membiayai anaknya mengikuti bimbel.
Sepintas lalu, kondisi ini
sangat menyenangkan. Selain siswa dapat memperoleh pengetahuan dari bangku
sekolah, mereka juga bisa mendapatkannya dalam bimbel. Rupanya, kondisinya
tidak sesederhana itu. Seorang guru yang berbicang dengan saya mengeluhkan
prihal cara pengajaran di bimbel. Menurut guru itu, bimbel sering hanya
mengajarkan bagaimana menjawab pertanyaan dengan tepat. Mereka tidak
mengajarkan proses sehingga memunculkan jawaban yang tepat tersebut.
Mendengar keluhan guru itu,
saya teringat masa sekolah. Pengajaran di bangku kelas tiga biasanya terfokus
pada latihan soal-soal ujian. Terkadang jam pelajaran yang tersedia tidak cukup
untuk latihan soal. Tambahan pelajaran di luar jam sekolah pun menjadi solusi.
Ada dua pilihan, ikut bimbel atau les di sekolah.
Sebagai anak dari keluarga tidak
mampu, bisa sekolah di SMA swasta ternama di kota Depok saja sudah merupakan
kemewahan tersendiri. Karena kondisi tersebut, saya lebih memilih ikut les di
sekolah daripada ikut bimbel. Waktu itu, tidak terlalu banyak teman saya yang
ikut bimbel. Bukan karena orang tua mereka tidak mampu seperti keluarga saya,
melainkan merasa lebih nyaman mengikuti tambahan jam pelajaran dari guru yang
sama.
Les di sekolah benar-benar merupakan
tambahan jam pelajaran. Materi atau soal-soal yang tidak sempat dibahas pada
jam pelajaran resmi, diajarkan dalam les. Meski sudah mengikuti les, setiap kali
disuruh mengerjakan soal di papan tulis saya dan kebanyakan teman lain
kesulitan. Namun, tidak dengan teman-teman yang mengikuti bimbel. Mereka selalu
mampu mengerjakannya. Rupanya, dalam bimbel mereka diajarkan cara cepat
mengerjakan soal.
Cara cepat itu sering dikeluhkan
oleh guru di sekolah saya, persis seperti keluhan guru yang berbincang dengan
saya. Jika dipikir-pikir, ada benarnya guru-guru itu mengeluhkan prihal cara cepat
menjawab soal itu. Idealnya, siswa harus mengetahui tahapan demi tahapan hingga
mendapat jawaban yang tepat.
Jika saya menjadi guru
bahasa Indonesia, tentu saya tidak akan memberikan jawaban kawin paksa atas
pertanyaan, “Apa tema novel Sitti Nurbaya?”. Sebab, sebagai orang yang telah
beberapa kali membaca Sitti Nurbaya, saya tahu betul kalau baginda Sulaiman
tidak pernah memaksa anaknya untuk menikah dengan Datuk Meringgih. Sitti
Nurbaya terpaksa (bukan dipaksa) menikah dengan Datuk Meringgih demi
menyelamatkan ayahnya, baginda Sulaiman yang berhutang kepada Datuk Meringgih.
Namun, jika saya mengajarkan hal itu, siswa saya pasti tidak akan lulus UN.
Apa boleh buat, dalam sistem pendidikan yang
tidak ideal ini, saya pikir pola pengajaran dalam bimbel adalah yang terbaik.
Bukankah tujuan kita sekolah adalah lulus UN? Bukankah dalam model soal multipilihan
yang dibutuhkan hanya jawaban a, b, c, atau d? Bukankah dalam pendidikan yang
memperlakukan semua mata pelajaran layaknya matematika, hanya menyediakan satu
jawaban atas sebuah soal? Demikian.
Well a teacher is a noble and great profession. It requires patience and devotion, and the world needs a lot of good teachers. I wish you the best in life.
BalasPadami think so, thanks for your comment and I wish you the best in life too
BalasPadam