Riwayat Sejudul Cerpen


Saya sudah lupa kapan persisnya mengenal nama Seno Gumira Ajidarma (SGA). Namun, saya tidak bisa lupa mula pertama jatuh cinta pada karya-karyanya. Sepotong Senja untuk Pacarku merupakan buku pertama SGA yang saya baca. Sejak itu, saya menempatkan SGA bersama Hilman Hariwijaya dan Gola Gong sebagai pengarang yang memengaruhi saya.
Salah satu pengaruh terbesar dari SGA dapat dilihat dari nama anak saya: Tebing Cakrawala. Dalam Sepotong Senja untuk Pacarku, SGA sering menggunakan kalimat “matahari kembali ke balik cakrawala”. Saya sering menggunakan kalimat itu dengan penambahan kata “tebing” sebelum kata cakrawala.
Tahun 2005, FLP mengadakan workshop untuk merekrut anggota baru. Salah seorang yang mengikuti workshop itu bernama Nurhadiansyah. Dari biodatanya, saya mengetahui penulis favoritnya bernama SGA. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta merupakan buku kegemarannya. Selain itu, dia hobi naik gunung. Membaca biodata itu, saya seperti melihat diri saya di cermin. SGA dan naik gunung. Barangkali kesamaan tersebut yang membuat saya kemudia berkarib dengan Nurhadiansyah yang belakangan menggunakan nama pena Noor H. Dee (NHD).
Setiap selesai menulis cerpen, NHD kerap menghubungi saya dan kami berjumpa di Rumah Cahaya. Di tempat itu, kami sering berdiskusi. Setiap selesai membaca cerpen-cerpen NHD saya selalu menemukan jejak-jejak SGA di sana. Dia bernar-benar lebih SGA dari saya, bahkan barangkali dari SGA sekali pun.
Barangkali karena bosan karyanya selalu disamakan dengan karya-karya SGA, suatu kali NHD sempat enggan menunjukan karya yang baru dia tulis. Akan tetapi, apa boleh buat, dia terpaksa menunjukan cerpennya itu kepada saya. Cerpen itu berjudul Mengejar Kupu-kupu. Selepas membaca cerpen itu, saya menemukan cerpen Karnaval dalam cerpen itu. Rupanya, NHD sudah menduga saya akan berkomentar demikian.
Saya sering menyarankan agar NHD berupaya menemukan gayanya sendiri, yang berbeda dari SGA. NHD kemudian mulai membaca karya pengarang-pengarang lain. Cerpen selanjutnya, berjudul Mimpi, masih dapat saya temukan jejak SGA meski tampak sekali NHD berusaha mengubah gaya bertuturnya. Suatu kali dia mengarang cerpen Obsolet. Membaca cerpen itu, seperti membaca karya pengarang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Saya gagal menemukan jejak-jejak SGA dalam cerpen itu.
Saya sempat merasa bahagia karena pada akhirnya, NHD menemukan gayanya sendiri. Akan tetapi, entah mengapa saya justru merasa kehilangan dirinya. Bukankah saya menggemari karya-karya NHD karena saya bisa menemukan jejak-jejak SGA di sana? Tiba-tiba saja, saya merindukan karya-karya NHD yang bergaya SGA. Namun, apa boleh buat, NHD telah “membunuh” SGA.
Barangkali kerinduan saya tersebut yang memberikan semacam inspirasi kepada saya untuk menulis sejudul cerpen. Saya membayangkan NHD bersembunyi di balik sebuah pohon, menunggu SGA lewat di sana. NHD ingin membunuh SGA karena bosan selalu dianggap epigon SGA. Berkali-kali saya mencoba menuliskannya, tapi entah mengapa saya selalu merasa tidak puas.
Sampai saya membaca cerpen Kamar Anjing (Koran Tempo, 30 April 2006) karya Kurnia Effendi (KEF). Dalam cerpen itu, tokoh Adit cemburu kapada boneka bernama Chocky. Sentot Karnyoto, ayah Adit, membuat boneka itu ketika Adit lahir. Ia menganggap boneka itu sebagai Adit yang lain. Kedekatan Sentot dengan boneka itu membuat Adit cemburu sampai-sampai menjuluki boneka itu anjing, dan kamar tempat Chocky disimpan disebut kamar anjing. Suatu ketika Adit bertengkar dengan ayahnya. Setelah pertengkaran itulah, Sentot membakar Chocky. Namun, bukannya senang, Adit malah sedih. "Ayah telah membunuhku. Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku!" begitu pikir Adit.
Ucapan Adit itu terngiang-ngiang terus di telinga saya. Ucapan itu yang melahirkan gagasan ini: Selama ini, orang-orang mengenalku sebagai pendekar belia titisan Empu Ajidarma. Dengan membunuhnya sesungguhnya aku tengah membunuh diriku sendiri”. Akan tetapi, meski gagasan itu telah di kepala saya, belum juga saya berhasil mendapatkan peristiwanya. Bayangan saya mengenai NHD menunggui SGA di balik pohon untuk membunuhnya terlalu artifisial. Tidak ada tantangannya. Saya kembali menemui kebuntuan.
Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan sebuah cerpen karya Asep Sofyan berjudul Dua Jago Pedang termuat di Jurnal Nasional 5 Juni 2011. Saya tidak ingat persis ceritanya, tetapi cerpen mengisahkan pertarungan antara si Pedang Kilat dan si Pedang Menari. Saya pikir, menarik juga kalau cerita saya dibuat menjadi cerita silat.
Lahirlah cerpen berjudul Membunuh Ajidarma yang selesai saya tulis 11 Juli 2011 dan baru dimuat di Jawa Pos 26 Agustus 2012. Cerpen itu lahir dari kerinduan saya pada gaya SGA yang tidak saya temukan lagi pada cerpen-cerpennya yang belakangan, dan cerpen-cerpen NHD yang paling mutakhir. Barangkali NHD telah benar-benar “membunuh” Ajidarma.

Pulokambing, 3/3/2013


Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini