Marah Roesli, Sastrawan yang Dokter Hewan

Padang, 7 Agustus 1889, seorang bayi lahir ke dunia. Putra pasangan Sutan Abu Bakar, seorang demang bergelar Sutan Pangeran, dengan seorang wanita biasa. Diberinya nama bayi itu, Marah Roesli bin Abu Bakar. Gelar “Marah” di depan namanya, diberikan oleh keluarga ayahnya yang bangsawan kepada dirinya sebab ibunya tidak memiliki gelar Puti (putri bangsawan).

Orang tuanya menyekolahkan Marah Roesli di Rofdenschool ‘sekolah raja’ di Bukittinggi, tamat tahun 1910. Selama menempuh masa pendidikannya itu, ia banyak berprestasi sehingga ketika lulus, ia dianjurkan oleh gurunya yang bernama Hoornsma untuk belajar ke negeri Belanda. Namun, dengan alasan anak tunggal, orang tuanya tidak mengizinkan. Kesempatan ini digantikan Tan Malaka, seorang pemuda yang kelak akan menjadi tokoh pergerakan nasional. Sedang Marah Roesli melanjutkan sekolah dokter hewan di Bogor.

Selepas studinya, Marah Roesli kembali ke kampung halamannya. Ia tak menyadari, sebuah perangkap telah dipasang bagi dirinya; diam-diam ia telah dipertunangkan dengan gadis sekampungnya. Marah Roesli mencoba mengungkapkan berbagai alasan mengapa dia tak bisa menikah dengan gadis yang telah dipertunangkan kepada dirinya oleh ayahnya. Namun, tak satu pun mampu mencairkan keras hati ayahnya. Akhirnya, ia menerima pernikahan itu, dengan syarat, setelah menikah ia akan langsung memberikan talak tiga kepada istrinya. Tantu saja syarat itu tak mendapat restu. Begitulah, tanpa sepengetahuan keluarganya, Marah Roesli meninggalkan kampungnya, kembali ke Bogor.

Ketika berusia 21 tahun, tahun 1911, Marah Roesli menikahi gadis Sunda kelahiran Bogor tanpa sepengetahuan dan seizin orang tuanya. Mereka menikah atas dasar cinta. Ya, mereka merasa telah diperjodohkan oleh Allah Ta’ala. Dari pernikahannya ini, ia mendapatkan dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

Setamat dari sekolah dokter hewan di Bogor, Marah Roesli diangkat menjadi ajunct dokter hewan di Sumbawa Besar. Selama masa tugasnya di Sumbawa itulah, ia menulis sejudul novel sebagai tanda terima kasihnya kepada penduduk Sumbawa yang telah banyak membantu selama ia tinggal di pulau itu. Novel yang ia juduli La Hami ini mengisahkan kehidupan masyarakat di Sumbawa.

Tahun 1916 Marah Roesli menjabat Kepala Perhewanan di Bima. Selepas itu ia pindah menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandung, kemudian mengepalai daerah perhewanan di Blitar Tahun 1918. Tahun 1920 Marah Roesli menjadi asisten dokter di almamaternya. Setahun kemudian, ia hijrah ke Jakarta menjadi dokter hewan, dan pindah ke pindah ke Baliga (Tapanuli) tahun 1925.

Selama masa revolusi Marah Roesli tinggal di Solo. Pada tahun 1946 masuk ALRI yang mengurus pengangkutan angkatan darat, pertanian, perhewanan, dan perikanan, serta makanan awet untuk keperluan ALRI Tegal. Selain itu, ia melatih pegawai-pegawai kehewanan. Pada tahun 1948 Marah Roesli menjadi dosen Sekolah Dokter Hewan di Klaten. Tahun 1950 di Semarang menjabat kepala perekonomian dan pendiri Voetbalbond “perkumpulan sepak bola” dan pernah menjabat sebagai komisaris PSSI di Semarang. Marah Roesli dipensiun sebagai Dokter Hewan Kepala pada tahun 1952.

Marah Roesli dianggap sebagai pengarang roman yang paling mula dalam sejarah sastra Indonesia. Ia dianggap sebagai pembaharu dalam penulisan prosa yang ketika itu lebih banyak berbetuk hikayat. Maka tak berlebihan jika H.B. Jassin menggelari Marah Roesli sebagai Bapak Roman Modern Indonesia.

Sejak kecil Marah Roesli memang gemar mendengar tukang kabba berkisah dan membaca buku-buku roman dari barat. Kegemarannya inilah yang mengasahnya menjadi seorang sastrawan ternama. Meski ia seorang dokter hewan, tetapi perhatiannya pada masalah kemasyarakatan sangatlah besar.

Roman Sitti Nurbaya lahir tahun 1920 ketika ia bermukim di Bogor. Novel yang dikerjakan selama kurun dua tahun itu, ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman di sekitar adat dan tradisi kampung halamannya, selain tentu saja pengalaman dirinya sendiri yang sempat diperjodohkan oleh seorang gadis sekampungnya.

Sitti Nurabaya dianggap sebagai roman terpenting pada masanya, karena dalam roman itu, Marah Roesli mulai meletakkan landasan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada emansipasi wanita dan mendobrak adat tanah kelahirannya yang tidak sesuai lagi dengan semangat zaman.

Ketika naskah Sitti Nurbaya terbit, ayahnya sempat mengirimi ia sepucuk surat. Dalam suratnya itu, ayahnya menyesali perbuatan Marah Roesli yang dianggap menabrak adat istiadat yang berlaku ketika itu. Akan tetapi, roman itu mendapat sambutan yang baik dari pihak kaum muda karena merupa­kan pendorong bagi mereka untuk mendobrak adat kuno.

Karya Marah Roesli yang berjudul Tambang Intan Nabi Sulaiman, diterjemahkan ke bahasa Belanda dan diterbitkan di Jakarta pada tahun 1920. Marah Roesli menutup mata untuk selamanya pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung kemudian dimakamkan di Bogor, Jawa Barat. Meninggalkan berbagai karya sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya, seperti Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka, cet. 1, 1920; La Hami. Jakarta: Balai Pustaka, 1924; Anak dan Kemenakan. Jakarta: Balai Pustaka. 1956.

(Dari berbagai sumber)
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini