Oleh Denny Prabowo
Tradisi dalam KBBI memiliki arti (1) adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, (2) penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar. Jika ingin disederhanakan, tradisi adalah kebiasaan turun-temurun yang dianggap paling baik dan benar.
Lalu bagaimana jika kebiasaan turun temurun yang dianggap paling baik dan benar itu menimbulkan permasalahan? Siapkan pancingmu, pertanyaan itu akan membawa kamu pada sebuah kolam besar bernama kemungkinan yang akan menawarkan berbagai konflik yang mungkin terjadi, akibat tradisi atau kebiasaan turun-temurun yang dianggap paling baik dan benar. Baik konflik timbul dalam diri si tokoh (konflik internal), maupun antara tokoh dengan lingkungan sosialnya (konflik eksternal).
Suku Toraja di Sulawesi Selatan memiliki tradisi menggelar pesta kematian atau yang biasa mereka sebut Rambu Solo’. Untuk menggelar upacara tersebut dibutuhkan biaya yang sangat besar. Dalam upacara tersebut mereka menyembelih kerbau dan babi. Mereka percaya semakin banyak kerbau atau babi yang disembelih, makin cepat arwah orang yang meninggal menuju surga. Sebab kerbau-kerbau itu yang akan mengantarkan orang yang mati ke surga. Semakin tinggi kedudukan orang yang meninggal itu di masyarakat, semakin banyak jumlah kerbau dan babi yang harus disembelih. Lalu bagaimana jika keluarga yang ditinggal mati tidak memiliki biaya untuk menggelar Rambu Solo’? Nah, apakah kamu mulai melihat adanya potensi masalah?
Begini, saya akan menambah informasi di atas. Ahli waris yang paling banyak menyumbang dalam penyelenggaraan upacara tersebut, berhak memperoleh harta warisan paling banyak pula. Lalu bagaimana jika seorang ahli waris yang tak cukup memiliki banyak uang, menginginkan harta warisan paling banyak?
Berdasarkan pertanyaan itu, saya menulis sebuah cerpen berjudul “Tedong Helena”. Cerpen tersebut bercerita tentang Helena Rambulangi yang terusir dari rumah karena diam-diam menikah dengan Mappangewa. Lalu ketika bapaknya meninggal dunia dia pulang ke Tana Toraja. Kepulangannya tak sekadar untuk menjenguk jasad bapaknya, tapi juga berusaha untuk mendapatkan harta warisan yang terbesar, padahal penjualan rumahnya hanya cukup untuk membeli seekor kerbau dan beberapa ekor babi untuk disumbangkan dalam acara itu. Nah, di sinilah letak konflik yang bersumber dari tradisi itu.
Hingga detik berakhirnya ritual adu kerbau itu, Helena belum mengetahui, jika seluruh sawah serta peternakan Ambe telah berpindah tangan. Ketika Indo’ jatuh sakit, Ambe menggadaikan seluruh hartanya kepada Tato’ Denna guna biaya pengobatan istrinya. Sisanya habis untuk pelaksanaan ritual Rambu Solo’ untuk mengantarkan arwah istrinya menuju puyo. Sedang Helena masih menyisakan janji untuk beberapa kali lagi bertemu dengan anak lelaki Tato’ Denna di sebuah tempat paling rahasia. Begitulah cara Helena mendapatkan lima tedong bonga, beberapa tedong biasa, serta beberapa ekor babi, dengan hanya memberi setengah dari hasil penjualan rumahnya. Hidup memang butuh pengorbanan. Bertahun-tahun tinggal di perantauan tanpa sanak keluarga, Helena tahu betul arti kata itu—pengorbanan.
Wa Ode Wulan Ratna, penulis peraih penghargaan kategori penulis berbakat dalam Katulistiwa Literary Award, tidak menghadirkan konflik internal dalam cerpen “La Runduma”, tetapi konflik antara Johra dengan kelompok masyarakat yang masih memegang tradisi, yang dalam cerpen tersebut diwakili oleh ayahnya sendiri.
Aku masih perawan. Sungguh. Aku masih perawan! Tapi mengapa gendang itu bisa pecah, Ayah?Lelaki itu ayahku. Namanya Maulidun. Sudah hampir 20 tahun ia menjadi pawang penabuh gendang pilihan pada tiap posuo. Aku membencinya, sebab ia tak menyukai La Runduma, lelaki yang tak bisa pergi dari hatiku.La Runduma bukanlah lelaki rupawan, dan hanya pekerja serabutan. Sebab itu ayahku tak suka padanya. Sebab lainnya, ia menginginkan aku menikah dengan laki-laki yang sederajat. Untuk itulah aku ikut ritual adat ini.Semua orang Buton percaya, termasuk aku, putri Buton sejati, bahwa posuo adalah ritual bagi anak gadis untuk menjadikannya dewasa dan mampu mengurus rumah tangga. Acara pingitan yang menyeramkan ini menempatkanku dan tujuh gadis lainnya dalam suo yang pengap dan lembab tanpa penerangan cahaya apapun. Sungguh suatu pingitan yang aneh dan aku melakukannya karena ayah.
Masyarakat Buton percaya, jika gendang yang ditabuh oleh pawang dalam upacara posuo pecah, berarti ada di antara peserta yang tidak lagi perawan. Pembuka cerpen tersebut sekaligus memunculkan konflik antara Johra, si tokoh utama, dengan ayahnya. Penyebabnya adalah ayah Johra menginginkan anaknya menikah dengan orang yang sederajat. Bukankah masalah kasta ini merupakan tema yang sudah sering diangkat dan banyak terjadi di daerah mana pun? Dengan kata lain, temanya sudah basi! Namun, tradisi posuo tentu hanya ada di daerah Buton saja. Itulah yang menyebabkan persoalan kasta yang sudah basi tersebut, menjadi tetap menarik untuk dinikmati. Menulis fiksi, ternyata memang bukan hanya persoalan mencari tema baru, tetapi bagaimana cara membuat tema yang basi menjadi menarik untuk dinikmati.
Perbincangan tentang tradisi atau kebiasaan turun temurun yang dianggap paling baik dan benar, tidak selalu berhubungan dengan suku tertentu atau masyarakat di daerah tertentu. Bukankah sebagai kelompok masyarakat terkecil, keluarga seringkali memiliki kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukan sejak generasi ke genarasi?
Akmal Nasery Basral menulis cerpen berjudul “Kelambu”. Akmal membuka cerpen itu dengan dialog yang langsung masuk pada persoalan yang hendak diangkat, yaitu kebiasaan tokoh Hamdan yang selalu tidur dengan mengenakan kelambu.
Aku tak menduga hal ini menjadi masalah penting.“Aku ingin ada kelambu,” ujarnya perlahan.“Maaf?” Aku tak yakin benar-benar mendengar kalimat itu.“Kamu tak salah dengar. Aku ingin ada kelambu.”“Kelambu?”“Ya, di malam perkawinan kita.”Aku terkesiap, lalu tertawa lepas. Menggemaskan sekali calon suamiku ini.“Ada yang lucu?” Air mukanya serius.Aku masih tertawa. “Ya, tetapi tidak logis.”“Di mana tidak logisnya?”“Sebab kita belum membicarakan bentuk kamar pengantin.”“Justru itulah mengapa aku ingin membicarakannya sekarang.”“Oke, kelambu, di hari pernikahan kita. Wow, kamu tidak bermaksud mengatakan bahwa…”“Persis. Itu maksudku.”“Maksudmu kelambu itu juga akan digunakan pada malam harinya?”“Ya.”“Hamdan!”“Kenapa kaget?”“Karena kau laki-laki. Dan ide memakai kelambu di malam pertama perkawinan kita adalah… adalah….” Aku gagal menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan “betapa tidak masuk akalnya ide itu di zaman seperti ini.”“Kelambu itu bukan cuma kita gunakan di malam pertama, juga di malam-malam selanjutnya.”“Apa?”“Bukankah aku pernah bilang bahwa aku terbiasa tidur memakai kelambu.”“Aku ingat, tapi aku kira itu hanya sewaktu kau masih SD.”“Itulah. Kau tetap saja tidak mendengarkan. Sampai kuliah, bahkan setelah bekerja sekarang, aku masih tidur seperti itu.” (Basral, 2006: 105)
Persoalan kelambu yang diangkat dalam cerpen Akmal, berakhir dengan batalnya pernikahan Hamdan dengan Anjali. Ketika membaca cerpen itu untuk pertama kali, saya merasa Akmal terlalu berlebihan. Bagaimana bisa sebuah pernikahan gagal hanya karena persoalan kelambu?
Namun, ketika saya bertemu dengan calon istri saya yang memiliki kebiasaan di keluarganya tidur dengan mengenakan kelambu, hal itu sempat menjadi persoalan. Untungnya saya tidak kepala batu serupa Anjali dan istri saya tak sekeras kepala Hamdan.
Puthut EA, menulis sejudul cerpen, “Sambal Keluarga” yang mengetengahkan tradisi sarapan pagi di sebuah keluarga dengan sambal sebagai menu utamanya. Sambal keluarga yang memiliki nama sebutan bermacam-macam tersebut, menjadi semacam identitas dalam keluarga. Hanya keluarga atau orang yang dianggap keluarga saja yang diizinkan makan sambal tersebut. Jika datang tamu yang tak dianggap dan tidak akan pernah dianggap keluarga, bisa dipastikan sambal itu tak akan muncul di atas meja makan. Sambal itu juga menjadi semacam isyarat apakah calon pasangan hidup yang mereka ajukan diterima oleh orang tua mereka atau tidak. Suatu kali, setelah berhubungan selama setahun, tokoh “Aku” memberanikan diri mengajak kekasihnya, Dian, ke rumah orang tuanya. Pagi hari ketika sarapan di mulai, tokoh “Aku” merasa salah tingkah karena tidak terhidang sambal keluarga di meja makan. Sampai acara sarapan berjalan beberapa waktu, sang ibu beranjak dari meja makan, pergi ke dapur, dan kembali membawa cobek berisi sambal keluarga.
Aku benar-benar lega. Semua terasa lapang dan ringan.Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa ada yang berhenti di ruang makan ini. Aku melihat mata ayundaku terhenti pada sesuatu. Aku melihat mata ibuku juga terhenti pada sesuatu. Aku memastikan apa yang terjadi dengan itu semua.Napasku seperti berhenti. Aku melihat satu adegan ringan tapi tajam. Tangan Dian mengambil sebotol kecap, dengan pelan ia menuangkan kecap itu di atas sambal yang sudah berada di piring makannya. Dengan tenang ia berkata, “Tapi saya paling suka kalau ditambah kecap.”Aku diam. Ayundaku diam. Ibuku diam. Bapakku diam. Semua diam. Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Mereka berdua kembali mengeluarkan kalimat-kalimat ringan untuk mencairkan suasana. (Puthut, 2006)
Keahlian menulis fiksi sesungguhnya merupakan kepandaian menemukan berbagai kemungkinan. Dari tradisi—baik itu di lingkungan atau di keluargamu—kita dapat menemukan berbagai kemungkinan untuk diceritakan. Namun, hal itu menjadi termustahilkan jika kamu enggan membaca dan malas mencoba.
Emil Akbar, seorang penulis asal Bugis yang pernah merantau ke Depok untuk belajar menulis selama beberapa tahun, menulis cerpen berlatar tradisi pengangkatan bissu atau pendeta waria di Bugis. Cerpen itu tidak saja menghadirkan konflik internal, tetapi juga menyuguhkan kepada pembaca konflik eksternal yang sangat kuat. Jadi, tak salah jika cerpen tersebut berhasil meraih peringkat kedua dalam sebuah sayembara menulis cerpen.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini