Mencangkok Paru-Paru kota

Oleh Denny Prabowo

Kutemukan kota itu terkapar kelelahan. Matahari seperti kompor raksasa yang menjerengnya. Ke mana pepohonan yang dahulu menjadi paru-parunya? Pembangunan tidak menyisakan tempat bagi sebatang pohon pun untuk hidup. Tanah-tanah di kota itu terlapisi beton seluruhnya, memantulkan panas matahari ke udara. Gedung-gedung menancap pada tubuhnya, seraya mencakar langit yang penuh asap pembuangan. Awan-gemawan menjelaga serupa wajah pengamen-pengamen jalanan yang berlapis debu dan asap knalpot kendaraan bermotor.

“Selamatkan aku!” rintih kota itu, “Selamatkan masa depan anak-anakmu.”

Tiba-tiba awan yang bagai cendawan dari cerobong-cerobong asap pabrik mengepung kota itu. Petir mengirimkan kilatan yang akan diakhiri suara mengguntur, seperti ada jutaan orang yang berteriak dalam waktu bersaamaan di muka telingaku. Kemudian hujan turun bagaikan air bekas cucian yang disiramkan ke dalam comberan mampet, tersumbat sampah dan kotoran manusia.

Hanya setengah jam lamanya. Kota itu telah ditenggelamkan banjir. Tikus-tikus migrasi dari dalam selokan, pindah ke atap mal-mal yang tumbuh subur di sepanjang jalan kota itu, berbagi jengkal kaki dengan manusia. Manusia dan tikus kini menjadi koloni yang tak lagi berjarak di kota itu.

Pemerintah kota mendatangkan pompa raksasa untuk menyedot air yang menggenangi kota itu. Teknologi selalu mampu mengatasi masalah kita, bukan? Namun, usaha mereka serupa dengan menguras lautan sebab kota-kota yang berada di sekitarnya pun, telah melaut akibat hujan yang hanya setengah jam itu. Ke mana mereka mau mengalirkan air? Barangkali, sebentar lagi, pulau tempat kota itu berpijak akan ditelan laut. Aku teringat pada sebuah film Hollywood tentang dunia air. Dunia yang tak menyisakan tanah sejengkal pun. Manusia bermutasi menjadi ikan.

“Selamatkan aku!” rintihnya kian pilu, “Selamatkan masa depan anak-anakmu.”

Masa depan macam apa yang akan dihadapi anak-anak kita kelak? Aku tak mampu membayangkan. Barangkali mereka akan seperti manusia-manusia dalam film Hollywood itu: bermutasi jadi ikan. Padahal aku belum sempat mengajarkan cara berenang kepada Tebing Cakrawala, anakku yang lucu itu. Bagaimanakah ia akan menjadi ikan jika tak bisa berenang?

Ataukah ia akan begitu saja bisa berenang tanpa pernah belajar? Barangkali dari sela-sela jemarinya akan tumbuh selaput, dari balik telinganya tumbuh sirip, dan paru-parunya berubah jadi insang. Ah, anakku tidak mungkin terlihat lucu lagi dengan penampilan serupa itu.

“Selamatkan aku!” rintih kota itu dengan suara serak, “Selamatkan masa depan anak-anakmu.”

“Apa yang harus aku lakukan?” pikirku.

“Ayah!” suara anakku terdengar lamat, “Aku dapat ikan! Aku dapat ikan!”

Aku membuka mata. Di gigir sebuah danau buatan, anakku bersorak kegirangan sambil menunjukan pancingnya yang berhasil mengail ikan. Hawa sejuk membelai wajahku. Mengapa terasa begitu teduh? Sedang di manakah aku? Pepohonan berjejalan tumbuh di tanah-tanah tempat itu. Dari kejauhan tampak sebuah masjid berdiri di tepi danau itu. Aku seperti mengenali tempat itu.

“Ayah ketiduran, ya?” tanya istriku. Anakku sudah berdiri di hadapanku. Tangan kanannya memegang pancing, tangan kirinya menggenggam ikan.

“Kita ada di mana?” Aku balik bertanya.

“Kita masih di danau UI, Yah,” jawab istriku keheranan.

“Universitas Indonesia?” tanyaku menegaskan. Istriku tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Matanya seolah menyelidik keadaan diriku.

“Apakah Ayah baik-baik saja?” tanya Tebing, anakku.

“Aku baik-baik saja, Nak,” jawabku, “tapi tidak dengan kota itu.”

“Kota apa Ayah?” tanya istriku kian penasaran.

“Kota tempat kita tinggal,” kataku, “kota yang akan segera berubah jadi kolam raksasa ketika hujan turun, meski hanya tiga puluh menit saja.”

“Ayah mengigau!” seru Tebing sambil tertawa.

“Tidak, Nak,” kataku, “aku tidak mengigau, aku melihat sendiri kota itu sekarat! Dan ia meminta kita menyelamatkannya!”

“Kota Depok?” selidik istriku, “kota Depok bicara pada Ayah?”

Aku mengangguk. Lalu pergi meninggalkan anak istriku. Ada yang harus aku ambil. Tak berapa lama, aku kembali ke tempat itu, mengendarai sebuah traktor. Aku harus memindahkan sebagian pohon-pohon di kampus ini ke tiap sudut kota Depok! Aku menggerakkan traktor mendekati sebatang pohon. Menjapitnya, lalu mengangkatnya.

“Apa yang Ayah lakukan?” kata istriku dari kejauhan.

“Pohon-pohon ini akan Ayah gunakan untuk mencangkok paru-paru kota!”

Namun, belum sampai batang pohon itu terangkat, petugas kemanan kampus mengepungku. Suara sirene menguing-nguing memekakkan pendengaran. Tak berapa lama, mobil polisi merapat membentuk lingkaran menutup jalan traktorku.

“Tangkap dia!” perintah komandan polisi.

“Jangan tangkap aku!” teriakku, “Aku harus menyelamatkan kota Depok! Aku harus menyelamatkan masa depan anak-anakku!”

“Seret dia!” perinta komandan itu lagi, menuntaskan perlawananku.

“Tidaaaaaaakkkkkk!!!!!!!!!!”

“Sssttttt…!” Istriku memberi isyarat dengan telunjuknya, “Tebing lagi bobo.”

Aku menyaksikan bayi kecilku itu bergerak-gerak sambil mengucek-ngucek matanya. Tubuhnya berguling-guling. Sebentar kemudian tangisnya pacah. Istriku segera mengipasinya. Udara di dalam rumahku seperti suhu dalam oven pembakar kue. Beberapa saat kemudian bayiku berhenti menangis.

“Ayah mimpi?” Tanya istriku.

Aku diam saja. Mataku terus memandangi bayi kecilku. Aku tidak ingin anakku bermutasi jadi seekor ikan.

“Kita harus mencangkok paru-paru kota ini, Bunda,” kataku. Istriku hanya memandangi diriku dengan ribuan tanda tanya tertanam dalam kepalanya.


Gunung Sahari, 25 Agustus 2010
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

9 ulasan:

  1. wahhh, fiksi yang bagus... ayo selamatkan kota kita dari bahaya banjir

    BalasPadam
  2. very nice, got the message, bukan hal yang mustahil itu terjadi kalau kita tidak segera mencegahnya, hanya membandingkan UI sekarang dengan jaman saya kuliah dulu saja sudah jauh lebih gersang..
    saya juga tidak mau anak2 saya bermutasi jadi ikan pak.. :)

    BalasPadam
  3. wauuw nice post,
    memang layak masuk Top 10 Lomba Blog Depok
    congratz, pak Denny :)

    BalasPadam
  4. Sapuan hijau di kanvas merah Depok.Usaha yang bagus.Dua jempol tuk Denny...

    BalasPadam
  5. Selamat ya, teruslah menulis untuk orang dan lingkunganmu ...

    BalasPadam
  6. @Abu4faqih: makasih mas
    @Eny: alhamdulillah juara 2

    BalasPadam
  7. good selain menyehatkan paru2, dipandang juga indah

    BalasPadam
  8. bener mas. saya sering membayangkan UI itu depok. ternyata UI hanya bagian dari depok. itu pun setengahnya aja, yg setengah lagi udah bagian jakarta

    BalasPadam

Tinggalkan jejak sobat di sini