bt-images.net |
Aku tak pernah menduga, bahwa kata-kata yang kurangkai-rangkai menjadi cerita dalam sebuah buku antologi bersama menjelma cahaya yang diserap oleh retina matanya yang terdiri dari 12 juta lebih sel saraf, untuk kemudian disampaikan sebagai pesan pada cabang-cabang saraf yang menyambungkan mata dengan saraf optik, lalu saraf optik itu menyambungkan impuls-impuls saraf ke otak, merangsang 14 juta sel saraf pada otak bernama neuron, sehingga terjadilah proses presepsi yang menakjubkan—itulah komunikasi pertama aku dengan perempuan bermata telaga.
Adalah otak yang kemudian menggerakkan jari-jemari tangannya—yang kubayangkan lentik itu—menekan-nekan keypad handphone, mengirimkan sebuah pesan singkat melalui gelombang yang merambati udara, sebelum masuk ke dalam inbox handphone-ku, dan kubaca sebagai kata-kata yang mengapresiasi karyaku yang dibacanya dalam buku antologi bersama, menjadi interaksi pertama aku dengannya.
Hidup hanyalah sekumpulan kebetulan-kebetulan yang telah direncanakan oleh Sang Pemilik Kehidupan. Seperti perkenalanku dengan perempuan bermata telaga. Lalu puisi berbalas puisi menjadi menu hari-hari, menggetarkan ruang terdalam di hati yang selama ini rapat terkunci. Dengan puisi, dia buka pintu menuju hatiku. Dengan puisi aku menambal retak-retak di dinding hatinya yang pernah didiami oleh seorang lelaki. Dengan puisi, kami menyimpul hati dan menerbangkannya ke langit cita-cita. Dengan puisi, kami membangun sebuah komitmen menuju ikatan suci pernikahan.
Kami bahkan belum saling bertemu muka apalagi sampai beradu mata. Sebuah kenyataan yang mungkin sekali menimbulkan pertanyaan: bagaimana bisa dua orang manusia berbeda jenis saling jatuh cinta padahal belum saling bertemu muka? Tapi bukankah kita tak pernah bertemu dengan Tuhan, bahkan sekedar tahu di mana Dia berada? Lalu mengapa kita bisa merasa begitu mencintai-Nya, sehingga mau meluangkan waktu merangkai kata-kata untuk dipersembahkan sebagai doa? Dalam sebuah kitab yang pernah kubaca, aku seolah mendapatkan jawaban. Sebagai Ruh, kita pernah berjumpa dengan Sang Pencipta. Dan sebagai Ruh, mungkin sekali Tuhan pernah mempertemukan aku dengan perempuan bermata telaga, sebelum Tuhan meniupkan kami ke dalam rahim suci makhluk bernama ibu, dan mempertemukan kami kembali dengan cara yang tak satu makhluk ciptaannya pun dapat menduga. Bukankah yang demikian telah tertulis dalam Buku Takdir-Nya? Pertemuan aku dengan perempuan bermata telaga seolah menjadi bukti bagaimana takdir berlangsung seperti yang telah dituliskan dalam Buku Takdir-Nya.
Manusia harus dikenal lebih dulu sebelum dicintai, sedangkan Tuhan harus dicintai dahulu sebelum dikenali, begitu Blaise Pascal, seorang filsuf yang hidup antara tahun 1623-1662 berujar, sehingga kami memutuskan untuk saling bertukar foto melalui e-mail. Dari foto yang dia kirim ke alamat e-mail-ku, aku mendapatkan gambaran lebih dari apa yang pernah aku angankan tentang seorang perempuan, yang kelak akan mendampingi hidupku. Mungkin dia bukan perempuan tercantik di dunia, tapi dia memiliki mata yang—menurutku—sangat indah, sehingga membuat aku hendak berlama-lama berada di dalamnya. Seperti ada telaga di sana. Telaga yang menyimpan beragam keindahan, sebuah harta karun tak ternilai yang membuat para arkeolog manapun rela meluangkan seumur hidupnya menyelam di kedalamannya untuk menemukan keindahan itu.
Di sanalah aku kini berada, di telaga bening matanya. Menyelami keindahan seorang perempuan, mencari harta karun yang tersimpan di kedalamannya. Tak kuijinkan hujan mengguyur deras telaga matanya sehingga membuat permukaan airnya tumpah ruah menjelma tetes-tetes air mata. Tak juga kubiarkan kemarau mengeruhkan telaga bening matanya. Dengan cinta-Nya, akan kujaga telaga di matanya.
Ah, hampir tak bisa kupercaya bahwa semua bermula dari mata yang menangkap cahaya kata-kata dalam sebuah buku antologi bersama.
Depok, 24 Juni 2006
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini