Senja dan Bidadari



Matahari turun perlahan dari singgasana siang. Di pantai itu, senja menyempurnakan wajah langit dengan semburat jingga menyapu cakrawala. Bagai bentanganan layar raksasa. Membias di permukaan laut. Lidah ombak menjilati bibir pantai. Siluet camar-camar yang melintas menyemarakan pemandangan senja.

Dari balik jendela kamar, bungalow tempat aku menginap, aku melihatnya asyik bermain-main dengan buih-buih ombak yang pecah di pentai. Lalu duduk bermenung memandang lurus ke garis cakrawala. Seolah berusaha menangkap bentangan menakjubkan pada akhir episode kembara hari sang mentari.

Angin menerbangkan ujung-ujung rambutnya, menyingkap paras cantiknya. Sungguh, gadis itu laksana bidadari penghuni suargaloka! Membawa pesona surga ke layar jingga senja di pantai itu.

Namun seperti minggu-minggu yang telah lalu, aku hanya berani menikmati keelokannya dari balik jendela kamar, bungalow tempat aku menginap. Melukiskan sketsa wajahnya di atas lembar-lembar kertas yang menumpuk di meja kamar. Entahsudah berapa banyak, tapi tak pernah mampu memuaskan ketakjubanku.

Langit keunguan, sebentar kemudian gelap menyergap. Dan bayangan bidadari itu akan melenyap. Tinggal aku yang mengutuki ketidakberanianku.

^^^

Aku kembali ke Jakarta. Tempat segala penat menjejal ruang otakku. hanya pada kanvas dan cat minyak aku bercerita tentang keelokan bidadari yang selalu hadir menyemarakan pesona senja di tepian pantai.

Aku jatuh cinta!

Dan perasaan itu hanya mampu kutuangkan ke dalam goresan rasa yang menjelma wajah bidadariku. Lukisan wajahnya memenuhi hampir tiap inci dinding kamar tidurku. Sungguhpun ingin kuutarakan perasaanku padanya, entah bagaimana aku harus mengatakannya… Andai lidah ini mampu menggerakan kata-kata yang bisa mewakili isi hatiku…

Kata orang, wajahku sangat tampan. Mereka bilang, aku pantas menghiasi layar gelas. Jadi pemain sinetron, penyanyi, bintang iklan, atau apa saja. Yang penting muncul di televisi. Mereka sering menyamakan aku dengan sosok terkenal; Ari Wibowo.

Banyak gadis-gadis yang bergetar hatinya melihat ketampananku. Banyak juga dari mereka yang coba mendekatiku. Tapi begitu mereka tau kependiamanku yang teramat dan ketulianku yang terlalu, perlahan mereka menjauh. Cacat yang kubawa sejak lahir ini, membuat aku terasing dalam belantara kehidupan. Tak banyak teman yang kupunya, selain teman-temanku di sekolah yang khusus menangani penderita cacat seperti aku. Mungkin hanya satu orang saja yang tidak memiliki kekurangan fisik seperti aku, yang mau menjadi sahabatku. Sukit.

Aku dan Sukit sudah bersahabat sejak kami masih belum bisa berjalan. Kami tinggal bersebelahan. Kami sering berbagi cerita. Bahkan karena pegaulannya denganku, dia lancar berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

“Jadi itu alasan elo sering menghabiskan weekend di pantai?” tanya Sukit dengan gerakan tangan, ketika ia mendapati aku sedang asyik melukis wajah bidadariku.

Aku menjawab dengan anggukan.

“Siapa nama gadis itu?” tanyanya lagi.

Aku menggelengkan kepala. Mendesah.

“Jadi selama ini elo ngapai aja di sana?”

Aku berdiri menghampiri meja belajarku. Lalu kutunjukan padanya sketsa-sketsa yang kubuat. Sukit mengambil beberapa. Mengamati dengan seksama sketsa-sketsa itu.

“Cantik,” gumamnya, “lo nggak salah pilih,” pujinya.

“Telinga gue nggak bisa mendengar. Mulut gue nggak bisa berbicara. Tapi mata gue bisa melihat dengan baik,” kataku tertawa. Tawa yang nyaris tak bersuara.

“Hei, minggu depan elo pergi ke pantai lagi?”

“Kenapa?”

“Gue ikut, ya? Gue ‘kan juga mau melihat gadis pujaan lo itu.”

“Mmm...,” ragu-ragu. Menatap Sukit penuh selidik.

“Ha, ha, ha…,” Sukit tertawa terpingkal-pingkal, “Elo takut kalau gue bakal merebut gadis lo itu?”

Aku menunduk malu. Lalu mengangguk setuju.

“Cihuuuuyyy…!” Sukit lompat-lompat kegirangan.

^^^

Senja di bibir malam. Sesaat lagi teather kegelapan dimainkan. Aku masih duduk di atas pasir, di tepian pantai, sejak senja masih semburat menyapu langit. Aku berharap bisa melihat bidadari bermain-main dengan buih-buih ombak yang berkilatan. Tapi sosok cantik itu tak kunjung hadir meyemarakan akhir episode kembara hari sang mentari. Senja hari itu tak cukup sempurna tanpa kehadirannya.

Sukit menepuk pundaku. Memberikan secangkir kopi hangat untukku.

“Mungkin dia terlalu sibuk, hingga tak ada waktu untuk berlibur ke sini…,” hibur Sukit.

“Dia nggak pernah melewatkan pesona senja di setiap akhir pekan.”

“Mungkin kali ini dia terpaksa harus melewatkannya…”

Aku tertunduk. Kecewa.

“Sudahlah.”

Angin mendesah basah. Di kejauhan lampu-lampu kapal nelayan memeriahkan malam bersama bintang-bintang yang bagaikan memancarkan kilau berlian, perhiasan malam.

Sebentuk rasa yang menggumpal di dalam dada, menuntut untuk segera dibebaskan dari keterkungkungan perasaan takutku, Seperti aliran larva di dalam perut bumi yang mendesak untuk dimuntahkan. Tak peduli bencana yang mungkin terjadi setelahnya.

Tapi kepada siapa harus kumuntahkan? Bidadariku tidak datang kali ini untuk menyempurnakan wajah senja, ketika cakrawala berhias selimut jingga nan mempesona. Gadis itu entak ke mana…

Malam itu, terjadi pergumulan rasa di dalam diriku. Aku terpuruk dalam kerinduan yang tak terperi, di dalam kamar bungalow tempat aku menginap. Dinding-dinding bisu itu jadi saksi keresahanku.

Sementara itu, sejak lapas senja tadi, Sukit asyik bercengkrama dengan seorang gadis yang menginap tak jauh dari tempat kami. Membiarkan aku sendiri dalam gundah hati.

Demi yang meletakkan gundah di dalam hatiku, jangan biarkan aku lena dalam kesenyapan yang membunuh… Walau hanya di dalam mimpi, hadirkanlah bidadariku malam ini… Agar tak sia-sia bintang-bintang menjadikan malam indah. Begitu doaku pada Sang Penggenggam kehidupan. Sampai mataku memejam dibuai kelelapan yang merajam.

^^^

Aku membuka jendela kamar. Merentangkan tangan ke atas, menghirup udara pagi yang sejuk. Hangat sinar mentari merambati permukaan pori-pori.

Tiba-tiba sudut mataku tertumbuk pada sosok yang begitu kurindkan. Dia… Bidadariku! Penjelmaan surga itu sedang asyik menikmati secangkir minuman hangat sambil membaca buku di teras depan bungalow tempatnya menginap, yang persis berada di sebelah kamarku.

Tanpa kuduga, gadis itu menoleh ke arahku, melempar senyum, melambaikan tangan seolah menyapaku. Aku membalas senyumnya. Kemudian ia kembali dengan keasyikannya membaca buku.

Sukit masuk ke dalam kamar. Aku langsung menggeretnya mendekati jendela.

“Hei, ada apa?”

“Lihat!” kataku dengan isyarat tangan, menunjuk ke arah gadis itu.

Seasaat Sukit tenggelam dalam pesona surga yang terpancar dari wajahnya.

“Cantik!” pujinya dengan isyarat gerak tangan.

“Tadi, dia tersenyum menyapaku!”

“O ya?”

Aku mengangguk bahagia.

“Berarti dia juga memperhatikan elo selama ini.”

“Mungkinkah?”

“Kenapa nggak coba lo hampiri?”

“Menghampirinya?”

“Inilah saat yang paling tepat untuk mengutarakan perasaan lo kepadanya.”

“Tapi…,” aku tertunduk, “dengan cara apa gue mengatakannya?”

Sukit berpikir. Kemudian…

“Gue ada ide!” Sukit mengambil buku catatan kecil dan pena milikku.

“Untuk apa?” kataku dengan gerak tangan. Heran.

“Elo bisa menuliskan apa yang mau elo ucapkan.”

“Kalau dia sampai tau gue bisu dan tuli, pasti dia akan menjauhi gue… seperti yang selama ini gue alami.”

“Cinta itu seperti undangan untuk lebih banyak terluka. Jadi kalu elo berani jatuh cinta, elo harus sudah siap terluka.”

Aku merenungkan ucapan Sukit. Inilah saat yang tepat bagiku untuk mengutarakan perasaanku kepadanya. Ya. Kubuang jauh-jauh semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Kubangun kepercayaan diri. Apa yang akan terjadi nanti, akan aku hadapi dengan ketabahan!

Tapi walau aku berusaha sekuat tenaga membangun keprcayaan diriku, tetap saja aku merasa sangat kikuk saat menghampirinya di teras depan bungalow tempatnya menginap.

Dia yang mengetahui kedatanganku, menyambutku dengan senyuman dan sorot mata penuh tanda tanya.

Cukup lama aku membeku, sebelum akhirnya kuraih buku catatanku, lalu menuliskan: “Hai, apa kabar? Boleh aku berkenalan denganmu?”

Gadis itu mengerutkan dahinya. Menatapaku seperti menuntut penjelasan tetang caraku berkomunikasi dengannya.

Lalu aku kembali menulis: “Namaku Depo. Harus kuakui, sejak pertama kali melihatmu di pantai senja itu, aku terpikat dengan kecantikanmu. Bagiku kau laksana bidadari yang diutus untuk menyempurnakan pesona senja. Tapi aku tak tau dengan apa aku harus mengatakannya. Mungkin kau heran dengan caraku berkomunikasi denganmu. ini terpaksa kulakukan karena aku… aku sesungguhnya seorang yang bisu dan tuli!”

Gadis itu memandagiku bagai tak berkedip. Aku berdebar menanti reaksi darinya. Aku sudah pasrah seandainya saja dia akan memakiku, karena dia mengangagap apa yang aku lakukan merupakan sebuah kelancangan.

Namun tiba-tiba, kedua bola mata gadis itu berkaca-kaca! Ia menatapku penuh keharuan. Kemudian, di luar dugaanku, gadis itu mengangkat tangannya, lalu jari-jarinya yang lentik berucap: “Namaku Riyanni.”

Dia bisa bahasa isyarat! Sekarang giliran aku yang mengerutkan dahi.

Lalu dengan tangannya ia kembali berucap: “Aku bersyukur Tuhan telah mempertemukan kita. Aku pun sesungguhnya tak jauh beda denganmu. Walau telingaku mampu menangkap suara dengan jelas, namun sejak kecil aku… aku tak bisa bicara!”

“Sungguhkah?”

Gadis bernama Riyanni itu mengangguk. Airmata, entah untuk kesedihan atau untuk sebuah kebahagiaan, leleh basahi pipi halusnya. Aku menyapu airmata itu dengan jemariku. Ia menatapku. Aku balas menatapnya. Dalam diam, hati kami saling bicara. Meresapi cinta yang mengalun indah di lembah perasaan. Ia merebahkan kepalanya di dadaku. Aku mendekapnya hangat. Terbayang hari depan yang menjanjikan keindahan.

Senja itu, aku dan bidadariku berjalan menyusuri pantai, bermain-main dengan biuh-buih ombak yang pecah di pantai, lalu duduk bermenung di atas pasir, memandang lurus ke garis cakrawala, ketika semburat jingga memendar laksana layar raksasa yang di bentangkan tangan-tangan gaib Sang Penggenggam kehidupan.

Cerpen deNny
Dimuat di Majalah Aneka Yess!
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini