Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, 2005
“Tak
banyak yang aku ingat.”
“Ceritakan
sebatas yang Mas Fajar ingat.”
Fajar
mendesah. Dia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Makanan di dalam
piringnya masih tersisah setengah. Dipandanginya wajah Edel sendu.
“Baiklah.”
Fajar
menarik nafas berat.
“Kira-kira
tujuhbelas tahun yang lalu saat Bunda sedang mengandung dirimu…,” Fajar mulai
bercerita…
^^^
Malam
itu…
Jarum
jam merangkak perlahan menuju angka sepuluh. Belum ada tanda-tanda suaminya
akan datang. Wanita itu membuang pandangannya lurus ke depan membelah tembok
gedung-gedung bertingkat di seberang restoran. Dia duduk di dekat jendela yang
memungkinkannya menikmati renik-renih hujan.
Ada
kecemasan membekap pengap dadanya. Sehingga dia seperti jadi sulit bernafas.
Kecemasan yang tak ia mengerti. Ketakmengertian yang membuatnya seperti orang
bingung. Kadang ia bangkit dari tempat duduknya, merapat ke jendela, menuliskan
kata-kata yang menghabur begitu saja dari alam bawah sadar dengan telunjuk
tangannya di atas kaca jendela yang beruap. Kemudian kembali ke mejanya,
menyeruput jus jeruk, yang entah sudah gelas ke berapa…ia belum memesan
makanan. Wanita itu seperti terjebak dalam putaran waktu yang tak mau menunggu.
Padahal, suaminyanya belum juga datang menepati janjinya.
Hari
ini merupakan hari ulang tahun pernikahannya. Genab tigabelas tahun mereka
mengarungi bahtera rumahtangga bersama. Putra mereka telah berusia 12 tahun.
Suaminya telah berjanji untuk pulang hari ini. Sudah sejak lama ia merencanakan
makan malam spesial di tempat yang biasa mereka kunjungi setiap akhir pekan.
Ada kejutan yang ingin ia sampaikan kepada suaminya tepat di hari jadi
pernikahannya.
“Bunda,
Ayah kok belum datang juga?” tanya putranya yang duduk di hadapannya. Bocah itu
kelihatan sudah mulai mengantuk.
Wanita
itu membelai kepala anaknya. Suaminya tak pernah mendustai janji. Apa pun yang
diminta istrinya, selalu dia tepati. Tapi malam ini… Wanita itu meraba perutnya
yang sedikit membuncit.
Sang
waktu terusa melahap detik-detik di hadapannya.
^^^
Seminggu sebelum
malam itu…
Angin berhembus sangat kencang, bergemuruh di celah
ranting-ranting pepohonan yang terombang-ambing mengikuti gerak angin yang menghempasnya
dari segala arah. Keretap kilat menyambar dinding-dinding udara, membentuk
rengkahan cahaya di angkasa, melahirkan gelegar yang menggetarkan.
“Kita
harus segera turun ke pos Samyan Rangkah!”
“Tendanya
gimana?”
“Tinggal
aja!!”
Kemudian
ketiga mahasiswa pendaki itu bergegas mengenakan jas hujannya, mengendong
keril, lalu berlari di tengah badai yang membekukan meninggalkan batas
vagetasi, Sampyan Jampang, menuju Sampyan Rangkah.
Jatuh
bangun mereka menyusuri setapak yang menyempit dan licin karena siraman air
hujan. Angin seolah mengepung dari segala arah.
Petir
berkeretap
^^^
Tiga
hari sebelum malam itu…
Lelaki
itu mengepak perlengkapan mendakinya ke dalam keril di kamar tidur mereka.
“Kamu
jadi berangkat?”
“Jadi.”
“Harus?”
Wanita itu menatap matanya, seolah berharap lelaki itu akan membatalkan
kepergiannya.
Lelaki
itu tersenyum. Dia berhenti sejenak. Lalu dibelainya kepala istrinya yang
berjilbab. Disentuhnya wajah wanita itu dengan jemari tangannya, lembut.
“Mereka
membutuhkan aku untuk mencari ketiga mahasiswa asal Yogya yang hilang di Gunung
Slamet sejak beberapa hari yang lalu. Aku tahu bagaimana rasanya tersesat di
belantara di tengah musim hujan seperti ini.”
Wanita
itu menunduk. Dia bisa memahami alasan suaminya. Kemampuan yang dimiliki
suaminya sedang dibutuhkan untuk membantu tim SAR menemukan ketiga pendaki yang
hilang itu. Lelaki itu memiliki reputasi yang luar biasa untuk urusan yang satu
itu. Dia merupakan salah satu dari anggota Mapala universitasnya yang menjalani
program seven summit. Karena sebuah kecelakaan yang menimpa dirinya pada hari pertama pendakian
dan kedua temannya di hari kedua pendakian dalam sebuah ekspedisi pendakian di
Gunung Aconcagua, program itu dihentikan.
“Tapi
kamu nggak lupa sama janji kamu kan?”
Segaris
senyum terbit di wajah tampan lelaki bermata elang itu.
“Aku
akan berusaha menepati janjiku!”
“Janji,
ya?”
“Insya
Allah.”
Lelaki
itu mengangguk. Wanita itu tersenyum, melabuhkan kapalanya di bidang dadanya.
^^^
Seminggu
sebelum malam itu…
Blaaaaarrrr…!!!!
Kraaaakkk….
“Awas!”
Sebatang
pohon tumbang tersambar petir dari arah belakang. Pemuda berwajah tirus itu
melompat menerjang kedua temannya yang berjalan di depan, menghindari batang
pohon yang tumbang ke arah mereka. Mereka berguling-guling di atas setapak yang
berkerikil. Beruntung, pada ketinggian ini, pohon-pohon yang tumbuh tidak
terlalu besar. Sehingga mereka terhindar dari terjangan pohon yang tumbang
tersambar petir.
“Kamu
nggak apa-apa?” tanya pemuda itu melihat kondisi temannya yang terlempar tak
jauh darinya.
Temannya
memegangi sikutnya yang mengeluarkan darah. Pemuda itu langsung membuka slayer
di kepalanya, lalu dibebatnya sikut temannya yang terluka.
“Akh!
Pelan-pelan!”
“Beres.
Lumayan, bisa menghambat pendarahan.”
“Woi…
tolongin aku dong! Kakiku terkilir!”
Kedua
mahasiswa itu bertukar pandang. Kemudian mereka segera menghampiri seorang
temannya yang masih terduduk di bawah sebatang pohon sambil memegangi kaki
kanannya.
“Bisa
jalan?”
“Ndak
bisa digeraki. Sakit sekali!” Meringis kesakitan.
Pemuda
berwajah tirus itu membantunya berdiri. Lalu memapahnya berjalan menuruni
lereng terjal.
^^^
Satu hari
sebelum malam itu…
Ketiga
mahasiswa asal Yogya itu tak pernah sampai ke Sampyan Rangkah. Badai yang
menyelubungi gunung itu membuat segalannya menjadi kabur di mata mereka.
Ketiganya tersesat. Keletihan mendera. Seorang teman mereka mulai kehilangan
kesadarannya. Pemuda berwajah tirus itu melanjutkan perjalanannya menuruni
gunung itu. Sementara seorang temannya menunggui temannya yang lain yang mulai
kehilangan kesadarannya. Namun tak cukup jauh dia melangkah, pemuda itu mulai
kepayahan. Perlahan, kesadarannya pun mulai menghilang. Seorang temannya yang
ditugasi menunggui teman lainnya, menyusulnya. Melihat pemuda berwajah tirus
itu terkapar di tanah, di segera bergegas mencari bantuan. Tapi sia-sia. Dia
pun akhirnya harus kehilangan kesadarannya.
Keesokan
harinya, tubuh ketiga mahasiswa asal Yogya itu ditemukan lelaki bermata elang
sudah tak bernyawa. Dia bersama tim SAR dan beberapa sukarelawan yang ikut
melakukan pencarian, segera mengevakuasi jasad ketiga mahasiswa itu. Namun
ketika mereka tiba di Sampyan Rangkah, tiba-tiba…
Kratap…
Blaaaaarrrrr…!!!!
“Allahu
akbaaarrrrrr...!!!!
^^^
Wanita
itu tersentak dari lamunannya. Restoran berubah menjadi gelap, sesaat setelah
guntur menggelegar. Suasana di dalam restoran jadi hiruk pikuk. Beberapa saat
kemudian lampu kembali menyala, mereka menggunakan generator untuk menyuplai
listrik.
Beberapa
pengunjung restoran beranjak ke luar. Mereka ingin mencari tahu penyebab
listrik padam. Wanita itu tidak ikut keluar. Ia hanya merapat ke jendela di
dekat mejanya. Dari tempat itu ia bisa melihat sebuah tiang listrik yang roboh
tersambar petir. Di dekatnya, sebuah sedan hitam hancur bampernya ditabrak mini
bus yang tak sempat menghindar saat sedan hitam di depannya tiba-tiba saja
menghentikan lajunya. Pemilik sedan hitam marah-marah. Pengendara mini bus tak
kalah marah. Terjadi perang mulut. Seorang petugas polisi datang melerai.
Orang-orang hanya berdiri mengerumuni.
Wanita
itu kembali ke kursinya. Ia merasakan sebuah keanehan. Gelegar guntur tadi
seolah telah menyambar pula kecemasannya. Kecemasannya tiba-tiba saja menguap!
Kini ia malah merasakan kehampaan. Seperti ada yang hilang. Entah apa…
Dan
ia pun tiba-tiba saja begitu meyakini kalau suaminya tak akan pernah datang
menemuinya malam itu. Keyakinan yang datang sesaat setelah guntur menggelegar.
Seperti sebuah firasat.
Wanita
itu memanggil seorang pelayan restoran. Seorang pemuda berseragam pink
menghampiri dirinya dengan membawa buku pesanan di tangannya.
“Mau
tambah, Mbak?”
“Saya
mau minta tagihannya.”
“Oh,
sebentar.” Pelayan itu meninggalkannya.
Tak
lama kemudian dia kembali dengan membawa kertas tagihan.
“Tujuhpuluhribu
rupiah,” katanya seraya menyerahkan kertas tagihan kepada wanita itu.
Wanita
itu mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dopetnya, menyerahkan uang itu kepada
pelayan restoran yang tak lepas-lepas menyunggingkan senyum kepadanya. Entah
senyuman itu berasal dari ketulusan, atau hanya sebuah perangkat untuk memikat
pengunjung restoran itu, ia tak mempedulikannya.
“Mau
saya panggilkan taksi?”
“Terima
kasih. Saya bawa mobil sendiri.” Kemudian wanita itu beranjak keluar
meninggalkan restoran yang mulai sepi pengunjung bersama anaknya yang tampak
sangat mengantuk.
Sepanjang
sisa malam, wanita itu hanya berputar-putar dengan mobilnya tak tentu arah. Dia
berharap menemukan jawaban dari kehampaan yang tiba-tiba saja menyergap. Sebuah
perasaan yang mirip rasa kehilangan. Hanya saja ia tak tahu apa yang telah menghilang
dari dirinya… Anaknya terlelap di kursi belakang.
Dia
mencoba menghubungi ponsel milik suaminya. Suara mesin operator yang menjawab.
Berulangkali dia mencoba. Berulangkali mesin operator menyapa. Mobil meluncur
membelah gerimis yang mulai mereda, membawa sekeping hati yang hampa.
Keesokan
harinya menjelang petang, kehampaan yang tiba-tiba saja membekap hatinya sesaat
setelah guntur menggelegar tadi malam, terjawab oleh berita di layar kaca.
Kemarin
malam, ketiga mahasiswa asal Yogya yang menghilang di Gunung Slamet berhasil
diketemukan tak berapa jauh dari pos Sampyan Rangkah. Saat diketemukan,
ketiganya sudah tak bernyawa. Badai yang masih belum mereda hingga berita ini
diturunkan, juga telah menelan korban seorang anggota tim SAR. Lelaki yang pertama
kali berhasil menemukan ketiga mahasiswa itu tewas tersambar petir di pos
Sampyan Rangkah.
Suara
telepon berdering. Wanita itu segera mengangkatnya. Suara seorang pria di
seberang sana terdengar bergetar memeram kesedihan, saat harus menyampaikan berita
duka kepada wanita itu. Dia mengatakan kalau jasad suaminya akan tiba di
Jakarta besok pagi.
Kabut
berpendar di bolamatanya. Dadanya bergemuruh
menyaksikan gambar di televisi, saat tim SAR mengevakuasi jasad
suaminya.
“Bunda,
Ayah belum pulang ya?”
Wanita
itu mendekap tubuh anak lelakinya erat. Tak berbilang airmata yang retas
membanjiri kedua belah pipinya. Tangan kirinya meraba perutnya yang mulai
membuncit. Dia sedang mengandung.
^^^
Fajar
menghapus airmata yang melinang di kedua belah bolamatanya. Kenangan tujuhbelas
tahun yang lalu membayang-bayang di pelupuk matanya. Saat dia dan Bunda
menunggu Ayah di restoran malam itu.
“Aku
mendengar cerita itu dari Bunda. Tak banyak yang aku ingat kecuali saat aku dan
Bunda menunggu ayah di restoran malam itu.” Suaranya bergetar.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini