Pemuda dalam Mimpi Edelweis

Novel Denny Prabowo
Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, 2005



Pemuda itu datang lagi!
Dalam samar dia masih dapat melihat rambutnya yang ikal sebahu, rahangnya yang kokoh, kumis dan jenggotnya yang membayang dan alisnya yang tebal menyatu. Kali ini dia berdiri di atas puncak gunung. Di balik punggungnya, gumpalan asap membumbung tinggi ke udara. Di raut belianya terbit segaris senyum. Ada kerinduan terperam di sorot mata elangnya. Entah pada siapa… dia hanya berdiri saja di sana memandanginya.
Edelweiss membuka mata. Mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Siapa pemuda itu? Edel merasa mengenali wajah serupa itu. Tapi dia tidak terlalu yakin dengan ingatannya.
Kedatangannya dalam mimpi Edel bukan yang pertama. Entah yang ke berapa, terlalu sering dia mendatanginya. Gadis tomboy itu coba mengingat-ingat. Kalau tak salah… Beberapa hari setelah berziarah ke makam ayahnya dia mulai mendapatkan mimpi-mimpi itu.
Kemarin dia mendapati mimpi serupa itu kembali. Saat dia sedang lelap dalam tidur siangnya. Pemuda di dalam mimpi itu menyapanya. Seperti yang sudah-sudah, pemuda itu hanya memandanginya dari balik halimun tipis. Ketika itu dia berdiri di atas sebuah batu besar di tepian sebuah danau entah di mana. Di tengah-tengah danau itu tumbuh semacam gundukan serupa kubah puncak gunung. Dia seperti pernah melihat tempat-tempat itu. Mungkin dari foto-foto pendakian Mas Fajar. Dahulu, kakak sematawayangnya itu memiliki kegemaran mendaki.
Genta adzan mengumandang di angkasa. Bersahut-sahutan. Memecah kesunyian. Subuh masih merah. Edel bangkit dari ranjang tidurnya. Beranjak ke kamar mandi untuk bersuci. Tak berapa lama, dia sudah kembali lagi, mengenakan mukena putih. Digelarnya tikar sajadah. Beberapa saat kemudian, gadis jalan tujuhbelas itu tampak luruh dalam sunyi belantara jiwa, bersujud di bawah singgasana keangungan-Nya.
Gadis bernama lengkap Edelweiss Alya Putri Andjani itu berdiri mematung, memandangi foto ayah dan bundanya yang menempel di dinding ruang tamu rumahnya. Di antara mereka ada bocah lelaki sepuluh tahun bernama Fajar Gemilang, kakaknya. Tak ada foto dirinya di sana. Edel meneliti tiap lekuk wajah ayahnya di dalam foto itu. Gurat-gurat usia lekat di wajah tampan ayahnya. Di dalam foto itu rambut ayahnya dipangkas laiknya rambut seorang tentara. Mata Ayah…
“Sedang apa di depan foto itu?” tegur Mas Fajar. Lelaki menjelang tigapuluh itu tampak rapi dengan kemeja coklat muda yang dibalut dengan jaket cokelat tua.
Edel berpaling memandangi wajah kakaknya.
“Hei! Kenapa memandangiku seperti itu?”
“Wajah Mas Fajar tidak mirip dengan wajah Ayah…”
“Menurut Bunda, wajahmu merupakan penjelmaan wajah Ayah dalam bentuk perempuan.”
“Menurut Mas?”
“Aku pikir Bunda ada benarnya. Hanya saja rambutmu lurus seperti rambut Bunda, sedang Ayah berambut ikal.”
“Jadi rambut Ayah ikal?!”
“Hanya jika dipanjangkan rambut Ayah baru kelihatan ikal.”
“Jadi, rambut Ayah pernah panjang?!”
“Ya. Ketika masih remaja.”
“Jangan-jangan…”
“Apa?”
“Ah, nggak. Apa Mas Fajar masih menyimpan foto Ayah waktu masih remaja?”
“Aku pernah melihatnya. Tapi aku tidak tahu ke mana foto-foto itu sekarang.”
“Kalau foto-foto Mas Fajar waktu naik gunung?”
“Oh, eh, itu…,” tampak gugup, “ke mana ya? Ah, aku tidak ingat di mana menyimpannya. Sudah hilang, barangkali…”
“Hilang?”
“Iya.”
“Semuanya?”
“Sepertinya begitu. Sudah ah, aku mau berangkat kerja. Kamu mau aku antar ke sekolah?” Fajar berusaha mengalihkan perhatian dengan pertanyaan itu. Edel menyadari perubahan sikap kakaknya itu.
Lho… bukannya tiap hari Mas Fajar memang selalu mengantar aku ke sekolah?
Gadis dua SMU itu mengangguk.
^^^
Pemuda itu datang lagi!
Pemunculanya kali ini tampak agak sedikit berbeda. Rambutnya masih ikal sebahu.  Rahangnya masih tampak kokoh. Alisnya masih tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya masih tipis membayang. Tatapannya pun masih setajam tatapan seekor elang. Tapi ada yang berbeda. Kali ini dia datang bersama seorang bocah lelaki di dalam gendongannya! Edel tak yakin dengan wajah bocah itu. Mereka berdiri di antara hamparan bunga-bungan edelweiss yang bermekaran di sebuah lembah yang terapit oleh dua puncak gunung. Sunyi. Bahkan matahari tak mampu menjamah secara langsung tempat itu karena terhalang oleh puncak gunung yang mengapitnya.
Edel berjalan mendekatinya. Halimun yang turun di lembah itu, membuat segalanya terlihat menjadi samar. Dia terus mendekat. Sampai…
“Del, Edel… bangun, Del!” Fajar mengguncak-guncangkan tubuh Edel yang terkapar di atas karpet di depan televisi. Di layar kaca itu, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan acara Ekspedisi.
“Mas Fajar sudah pulang?”
Fajar mematikan televisi.
“Kalau ngantuk tiduran di kamar.”
“Aku belum mau tidur kok.”
“Nih,” Fajar memberikan kardus makanan kepada Edel.
“Apaan, nih?”
“Ayam goreng kesukaan kamu.”
Mata Edel membeliak lebar. Dia langsung membuka kardus berisi ayam goreng itu. Menyomotnya satu lalu menyantap makanan kesukaannya itu. Fajar hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya.
“Mas!” tegur Edel menghentikan langkah Fajar yang hendak masuk ke kamar mandi.
Fajar menoleh.
“Aku boleh Tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Apa Mas Fajar pernah di ajak Ayah naik gunung?”
Fajar tampak terkejut dengan pertanyaan itu.
“Kenapa kamu menayakan itu?”
“Ah, nggak. Hanya ingin tahu. Semasa hidupnya, apa Ayah suka naik gunung seperti Mas Fajar?”
“Aku nggak ingat,” jawab Fajar sambil menutup pintu kamar mandi.
Tentu saja Edel tidak puas dengan jawaban kakaknya itu. Dan jawaban kakaknya barusan seolah menyiratkan sesuatu. Edel merasa kakaknya tidak jujur. Seperti ada yang disembunyikannya. Entah apa, itu yang ingin dia cari tahu.
^^^
Edelweiss. Gadis tomboi jalan tujuhbelas yang memiliki rambut lurus hingga ke punggungnya itu, semakin gencar menanyai kakaknya. Dia berharap keterangan dari kakaknya bisa mengantarkannya pada jawaban dari misteri kemunculan pemuda itu dalam mimpinya. Edel merasa kalau pemuda itu memiliki kaitan erat dengan kehidupan keluarganya.
Namun kakaknya tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Dia selalu saja punya cara untuk mengalihkan pertanyaan-pertanyaannya. “Aku tahu kau sangat berharap bisa melihat wajah Ayah. Dan keinginan yang terpendam itu, akhirnya kau wujudkan dalam mimpi-mimpimu.” Begitu pendapat Fajar waktu Edel menceritakan perihal pemuda di dalam mimpi-mimpinya. Edel merasa pendapat kakaknya itu ada benarnya. Kalaupun pendapat kakaknya itu benar, lalu siapa bocah kecil yang berada di dalam gendongannya? Dirinyakah? Atau… pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.
Siang itu, sepulang dari sekolah, Edel menyelinap masuk ke dalam kamar kakaknya. Fajar baru akan kembali sekitar pukul sepuluh malam nanti. Itu pun kalau dia pulang. Belakangan ini, kakaknya itu sering tidak pulang ke rumah. Bukan karena ingin menghindar darinya. Tapi kesibukannya di kantor belakangan ini membuatnya sering menginap di tempat kerjanya. Kakaknya bekerja sebagai redaktur pada sebuah majalah remaja di Jakarta.
Itu berarti Edel punya banyak waktu menggeledah kamar kakaknya. Sebenarnya dia tidak suka melakukan itu. Tapi keinginannya untuk menemukan jawaban dari mimpi-mimpinya, membuatnya merasa perlu melakukan hal itu. Banyak pertanyaan yang sebenarnya mengendap di kepalanya. Salah satunya adalah, kematian ayahnya. Baik Bunda maupun kakaknya, tak pernah menjelaskan tentang penyebab kematian ayahnya. Yang dia tahu, ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kecelakaan apa, itu yang tak pernah dijelaskan oleh bunda dan kakaknya. Dia pernah mencoba menanyakan kepada famili-famili dekat ayah dan bundanya. Namun sikap mereka tak jauh beda dengan bunda dan kakaknya.
Ada lagi yang membuatnya bertanya-tanya. Dahulu, semasa kuliahnya di Universitas Nusantara, kakaknya sering bercerita kepadanya tentang pendakian-pendakiannya. Waktu itu Edel masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia sangat senang mendengar cerita-cerita dari kakaknya. Apalagi kalau melihat foto-foto pendakian kakaknya, dia jadi ingin seperti kakaknya kalau sudah besar nanti. Dua tahun setelah bunda mereka wafat karena kanker yang bersarang di hatinya, kakaknya tak pernah lagi menyandang keril, dan pergi menyinggahi puncak-puncak gunung. Dia bahkan tak pernah lagi bercerita kepada Edel tentang pendakian-pendakiannya. Dan sejak saat itu, Edel tak pernah lagi melihat foto-foto pendakian kakaknya. Padahal dulu, hampir semua dinding kamarnya dipajangi foto-foto itu. Tadinya Edel mengira kalau kakaknya sudah tak punya waktu untuk melakukan itu, karena waktunya banyak tersita oleh kesibukannya di kantor. Tapi belakangan ini, dia seperti merasa, ada sesuatu yang telah terjadi dengan kakaknya.
Tak ada! Edel tak menemukan apa-apa di dalam kamar kakaknya.
Aha! … Tiba-tiba gadis itu seperti teringat sesuatu. Gudang! Pasti di sana!
Edel membuka lemari pakaian kakaknya. Dia sering melihat kakaknya menyimpan kunci gudang di laci lemari pakaiannya. Ini dia!
Perlahan si tomboy memijaki anak tangga yang mengantarkannya ke sebuah gudang  di atap loteng rumahnya. Dia berdiri di depan pintu gudang itu. Ragu. Namun akhirnya, dibuka juga pintu itu dengan kunci yang diambil dari laci lemari pakaian kakaknya.
Edelweiss menyalakan lampu di dalam gudang. Neon 10 watt membuat debu-debu yang melekat di tiap sudut tempat itu tampak semakin jelas. Hatchiiii…! Debu-debu yang berterbangan di udara, menyelinap masuk ke dalam lubang hidungnya. Sudah lama juga dia tidak melihat kakaknya membersihkan tempat itu. Meski dia tahu kakaknya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi dia tak pernah mengijinkan Edel membersihkan tempat itu. “Biar aku saja yang membersihkannya. Debu-debu itu tak baik buat kulit halusmu.” Selalu kalimat itu yang meluncur dari mulutnya setiap kali Edel menawarkan jasa membersihkan gudang itu. Edel percaya kalau satu-satunya orang yang dimilikinya begitu memperhatikan dirinya.  Namun sikap kakaknya itu semakin menebalkan keyakinannya kalau ada yang berusaha dia sembunyikan di tempat itu.
Gudang itu sangat luas. Setidaknya setengah dari luas bangunan rumah mereka. Gudang itu berada di balik langit-langit rumahnya. Dulu Kakaknya sering menggunakan tempat itu untuk kongkow-kongkow dengan teman-temannya setiap sabtu malam. Karena terlalu lama tak dibersihkan, banyak laba-laba yang membuat sarangnya di tempat itu. Hatchiiii…!  Lagi-lagi debu-debu di ruangan itu membuatnya terbersin. Dia menutupi hidungnya dengan sapu tangan.
Mata Edel berkeliling ke sudut-sudut ruangan itu. Ada banyak barang yang menghuni tempat itu. Barang-barang yang sudah tak terpakai itu seperti menjadi saksi bisu sebuah masa. Masa di mana ketika mereka masih dianggap cukup layak untuk tidak di singkirkan ke ruangan berdebu itu. Gudang. Sebaik apa pun tempatnya, hanyalah merupakan tempat untuk menyimpan barang-barang yang sudah tak layak pakai. Hanya karena nilai sejarah yang melekat pada benda-benda itu, membuat pemiliknya merasa ingin tetap mempertahankannya. Walau pada akhirnya hanya menjadi peghuni ruangan berdebu bersama laba-laba.
Berada di dalam ruangan itu, membuatnya merasa berada di masa lalu. Benda-benda yang berada di tempat itu, membuatnya mengingat jauh ke belakang. Seperti boks bayi dari kayu jati di pojok ruangan itu. Dulu dia mewarisi boks itu dari kakaknya. Menurut cerita bundanya, boks bayi itu dibuat sendiri oleh ayahnya. Edel menyentuh boks itu. Matanya terpejam membayangkan dirinya ketika masih bayi mengelinjang-gelinjang di dalam boks bayi buatan ayahnya. Sudah lama dia tak melihat benda itu. Bahkan dia tak membayangkan kalau benda itu masih ada. Selain boks bayi buatan ayahnya, ada juga sepeda kecil dengan dua roda penyangga di bagian roda belakangnya. Dulu kakaknya mengajarinya mengendarai sepeda dengan sepeda kecil itu.
Masih banyak benda-benda lain yang menyimpan kenangan masa lalu seperti; televisi hitam putih, boneka panda hadiah dari Bunda, jam dinding peninggalan kakek yang pada waktu-waktu tertentu selalu mengeluarkan pipit mainan dari dalamnya, meja belajar, kursi tua, dan… Koper??? Edel tak ingat dengan koper itu.
Koper itu tampak usang di makan usia. Modelnya pun telah ketinggalan jaman. Warnanya merah tua. Terbuat dari bahan kulit. Edel tak pernah melihat koper itu sebelumnya. Mungkin koper itu sudah ada sebelum aku ada… begitu pikirnya. Kalau benar yang dipikirkannya, berarti koper itu telah menghuni tempat itu jauh sebelum ia dilahirkan. Kenangan apa yang tersimpan di dalam koper itu? Edel tertarik mencari tahu.
Edel mengambil linggis kecil. Menyelipkannya di bagian dalam yang melengkung dari gembok kecil yang menggantung pada bagian pengait yang membuat koper itu tertutup. Kemudian dengan sekuat tenaga, dia hentakkan linggis itu. Baru pada hentakan ketiga gembok itu terbuka.
Si tomboy membuka koper itu. Dia seperti sedang membuka pintu masa lalu. Perasaannya campur aduk saat itu. Dia menemukan tumpukan album foto di dalam koper itu. Jadi di sini Mas Fajar menyimpan foto-fotonya…
Edel mengaduk-aduk album foto yang ada di dalam koper itu. Keningnya berkerut saat dia menemukan album bertuliskan nama ayahnya pada sampul album itu. Dia segera membalik sampul album itu.
Pemuda itu?!
Dirinya sangat terkejut mendapati sosok pemuda yang selalu hadir di dalam mimpi-mimpinya ada di dalam foto berukuran 10 R yang menempel di lembar pertama album itu. Di dalam foto itu, pemuda itu berdiri di atas puncak gunung. Di balik punggungnya, asap yang berasal dari kawah membumbung tinggi ke udara. Mahameru, Agustus 1970. Begitu yang tertulis di bawah foto itu. Edel membalik lembar foto berikutnya. Segara Anakan, September 1972, tertulis di bawah sebuah foto lainnya. Di dalam foto itu, pemuda yang memiliki sorot mata elang itu berdiri di atas sebuah batu di tepian sebuah danau—di tengah-tengah danau itu tumbuh gundukan serupa kubah puncak gunung. Semuanya persis dengan yang ada di dalam mimpinya!
Si tomboy mengambil album yang lain. Di lembar pertama album itu, dia menemukan foto pemuda itu sedang menggendong bocah usia balita, di antara hamparan bunga-bunga edelweiss yang tumbuh di lembah yang terapit di antara dua puncak gunung. Ini dia! Batinnya. Mandalawangi, 27 Desember 1977.
“Siapa bocah laki-laki yang berada di dalam gendongannya?”
“Aku!”
Edel menoleh. Fajar, kakaknya telah berdiri di hadapannya.
“Mas Fajar?”
“Iya. Itu saat pertama Ayah mengajakku mendaki puncak gunung. Saat itu bertepatan dengan hari ulang tahun keduaku. Aku sendiri tidak terlalu ingat kecuali dari gambar di dalam foto itu. Dan kau tahu siapa yang mengambil gambar itu…?” diam sejenak. Lalu katanya lagi, “Bunda!”
“Bunda naik gunung?”
“Bunda bertemu dengan Ayah dalam pendakiannya ke Rinjani. Satu bulan setelah itu, Ayah datang melamarnya. Mereka menikah.”
“Jadi pemuda itu…” Matanya menatap pada Fajar.
“Ya.”
“Ayah…”
Kabut berpendaran di bolamatanya. Gadis yang sejak lahirnya tak pernah melihat wajah ayahnya kecuali dari foto keluarga yang menempel di dinding ruang tamu rumahnya, mendekap album foto itu. Kabut yang berpendaran telah menjelma kristal-kristal bening. Meretas. Menganaksungai di kedua belah pipi mulusnya. Terisak. Fajar merengkuh tubuh Edel, membenamkan kepala adiknya di dadanya.
“Maafkan aku karena telah menyembunyikan semua cerita itu darimu?” Fajar berbisik di telinga Edel.
“Ayah…!!!” lirih suaranya.***

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini