Diterbitkan oleh Lingkar Pena Publishing House, 2005
Pemuda
itu datang lagi!
Dalam
samar dia masih dapat melihat rambutnya yang ikal sebahu, rahangnya yang kokoh,
kumis dan jenggotnya yang membayang dan alisnya yang tebal menyatu. Kali ini
dia berdiri di atas puncak gunung. Di balik punggungnya, gumpalan asap
membumbung tinggi ke udara. Di raut belianya terbit segaris senyum. Ada
kerinduan terperam di sorot mata elangnya. Entah pada siapa… dia hanya berdiri
saja di sana memandanginya.
Edelweiss
membuka mata. Mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Siapa pemuda itu? Edel
merasa mengenali wajah serupa itu. Tapi dia tidak terlalu yakin dengan
ingatannya.
Kedatangannya
dalam mimpi Edel bukan yang pertama. Entah yang ke berapa, terlalu sering dia
mendatanginya. Gadis tomboy itu coba mengingat-ingat. Kalau tak salah…
Beberapa hari setelah berziarah ke makam ayahnya dia mulai mendapatkan
mimpi-mimpi itu.
Kemarin
dia mendapati mimpi serupa itu kembali. Saat dia sedang lelap dalam tidur
siangnya. Pemuda di dalam mimpi itu menyapanya. Seperti yang sudah-sudah,
pemuda itu hanya memandanginya dari balik halimun tipis. Ketika itu dia berdiri
di atas sebuah batu besar di tepian sebuah danau entah di mana. Di
tengah-tengah danau itu tumbuh semacam gundukan serupa kubah puncak gunung. Dia
seperti pernah melihat tempat-tempat itu. Mungkin dari foto-foto pendakian Mas
Fajar. Dahulu, kakak sematawayangnya itu memiliki kegemaran mendaki.
Genta
adzan mengumandang di angkasa. Bersahut-sahutan. Memecah kesunyian. Subuh masih
merah. Edel bangkit dari ranjang tidurnya. Beranjak ke kamar mandi untuk
bersuci. Tak berapa lama, dia sudah kembali lagi, mengenakan mukena putih.
Digelarnya tikar sajadah. Beberapa saat kemudian, gadis jalan tujuhbelas itu
tampak luruh dalam sunyi belantara jiwa, bersujud di bawah singgasana
keangungan-Nya.
Gadis
bernama lengkap Edelweiss Alya Putri Andjani itu berdiri mematung, memandangi
foto ayah dan bundanya yang menempel di dinding ruang tamu rumahnya. Di antara
mereka ada bocah lelaki sepuluh tahun bernama Fajar Gemilang, kakaknya. Tak ada
foto dirinya di sana. Edel meneliti tiap lekuk wajah ayahnya di dalam foto itu.
Gurat-gurat usia lekat di wajah tampan ayahnya. Di dalam foto itu rambut
ayahnya dipangkas laiknya rambut seorang tentara. Mata Ayah…
“Sedang
apa di depan foto itu?” tegur Mas Fajar. Lelaki menjelang tigapuluh itu tampak
rapi dengan kemeja coklat muda yang dibalut dengan jaket cokelat tua.
Edel
berpaling memandangi wajah kakaknya.
“Hei!
Kenapa memandangiku seperti itu?”
“Wajah
Mas Fajar tidak mirip dengan wajah Ayah…”
“Menurut
Bunda, wajahmu merupakan penjelmaan wajah Ayah dalam bentuk perempuan.”
“Menurut
Mas?”
“Aku
pikir Bunda ada benarnya. Hanya saja rambutmu lurus seperti rambut Bunda,
sedang Ayah berambut ikal.”
“Jadi
rambut Ayah ikal?!”
“Hanya
jika dipanjangkan rambut Ayah baru kelihatan ikal.”
“Jadi,
rambut Ayah pernah panjang?!”
“Ya.
Ketika masih remaja.”
“Jangan-jangan…”
“Apa?”
“Ah,
nggak. Apa Mas Fajar masih menyimpan foto Ayah waktu masih remaja?”
“Aku
pernah melihatnya. Tapi aku tidak tahu ke mana foto-foto itu sekarang.”
“Kalau
foto-foto Mas Fajar waktu naik gunung?”
“Oh,
eh, itu…,” tampak gugup, “ke mana ya? Ah, aku tidak ingat di mana menyimpannya.
Sudah hilang, barangkali…”
“Hilang?”
“Iya.”
“Semuanya?”
“Sepertinya
begitu. Sudah ah, aku mau berangkat kerja. Kamu mau aku antar ke sekolah?”
Fajar berusaha mengalihkan perhatian dengan pertanyaan itu. Edel menyadari
perubahan sikap kakaknya itu.
Lho…
bukannya tiap hari Mas Fajar memang selalu mengantar aku ke sekolah?
Gadis
dua SMU itu mengangguk.
^^^
Pemuda
itu datang lagi!
Pemunculanya kali
ini tampak agak sedikit berbeda. Rambutnya masih ikal sebahu. Rahangnya masih tampak kokoh. Alisnya masih
tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya masih tipis membayang. Tatapannya pun masih
setajam tatapan seekor elang. Tapi ada yang berbeda. Kali ini dia datang
bersama seorang bocah lelaki di dalam gendongannya! Edel tak yakin dengan wajah
bocah itu. Mereka berdiri di antara hamparan bunga-bungan edelweiss yang
bermekaran di sebuah lembah yang terapit oleh dua puncak gunung. Sunyi. Bahkan
matahari tak mampu menjamah secara langsung tempat itu karena terhalang oleh
puncak gunung yang mengapitnya.
Edel
berjalan mendekatinya. Halimun yang turun di lembah itu, membuat segalanya
terlihat menjadi samar. Dia terus mendekat. Sampai…
“Del,
Edel… bangun, Del!” Fajar mengguncak-guncangkan tubuh Edel yang terkapar di
atas karpet di depan televisi. Di layar kaca itu, sebuah stasiun televisi
swasta menayangkan acara Ekspedisi.
“Mas
Fajar sudah pulang?”
Fajar
mematikan televisi.
“Kalau
ngantuk tiduran di kamar.”
“Aku
belum mau tidur kok.”
“Nih,”
Fajar memberikan kardus makanan kepada Edel.
“Apaan,
nih?”
“Ayam
goreng kesukaan kamu.”
Mata
Edel membeliak lebar. Dia langsung membuka kardus berisi ayam goreng itu.
Menyomotnya satu lalu menyantap makanan kesukaannya itu. Fajar hanya
geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya.
“Mas!”
tegur Edel menghentikan langkah Fajar yang hendak masuk ke kamar mandi.
Fajar
menoleh.
“Aku
boleh Tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Apa
Mas Fajar pernah di ajak Ayah naik gunung?”
Fajar
tampak terkejut dengan pertanyaan itu.
“Kenapa
kamu menayakan itu?”
“Ah,
nggak. Hanya ingin tahu. Semasa hidupnya, apa Ayah suka naik gunung seperti Mas
Fajar?”
“Aku
nggak ingat,” jawab Fajar sambil menutup pintu kamar mandi.
Tentu
saja Edel tidak puas dengan jawaban kakaknya itu. Dan jawaban kakaknya barusan
seolah menyiratkan sesuatu. Edel merasa kakaknya tidak jujur. Seperti ada yang
disembunyikannya. Entah apa, itu yang ingin dia cari tahu.
^^^
Edelweiss.
Gadis tomboi jalan tujuhbelas yang memiliki rambut lurus hingga ke punggungnya
itu, semakin gencar menanyai kakaknya. Dia berharap keterangan dari kakaknya
bisa mengantarkannya pada jawaban dari misteri kemunculan pemuda itu dalam mimpinya.
Edel merasa kalau pemuda itu memiliki kaitan erat dengan kehidupan keluarganya.
Namun
kakaknya tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Dia selalu saja punya
cara untuk mengalihkan pertanyaan-pertanyaannya. “Aku tahu kau sangat berharap
bisa melihat wajah Ayah. Dan keinginan yang terpendam itu, akhirnya kau
wujudkan dalam mimpi-mimpimu.” Begitu pendapat Fajar waktu Edel menceritakan
perihal pemuda di dalam mimpi-mimpinya. Edel merasa pendapat kakaknya itu ada
benarnya. Kalaupun pendapat kakaknya itu benar, lalu siapa bocah kecil yang
berada di dalam gendongannya? Dirinyakah? Atau… pertanyaan-pertanyaan itu terus
berputar-putar di kepalanya.
Siang
itu, sepulang dari sekolah, Edel menyelinap masuk ke dalam kamar kakaknya.
Fajar baru akan kembali sekitar pukul sepuluh malam nanti. Itu pun kalau dia
pulang. Belakangan ini, kakaknya itu sering tidak pulang ke rumah. Bukan karena
ingin menghindar darinya. Tapi kesibukannya di kantor belakangan ini membuatnya
sering menginap di tempat kerjanya. Kakaknya bekerja sebagai redaktur pada
sebuah majalah remaja di Jakarta.
Itu
berarti Edel punya banyak waktu menggeledah kamar kakaknya. Sebenarnya dia
tidak suka melakukan itu. Tapi keinginannya untuk menemukan jawaban dari
mimpi-mimpinya, membuatnya merasa perlu melakukan hal itu. Banyak pertanyaan
yang sebenarnya mengendap di kepalanya. Salah satunya adalah, kematian ayahnya.
Baik Bunda maupun kakaknya, tak pernah menjelaskan tentang penyebab kematian
ayahnya. Yang dia tahu, ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kecelakaan
apa, itu yang tak pernah dijelaskan oleh bunda dan kakaknya. Dia pernah mencoba
menanyakan kepada famili-famili dekat ayah dan bundanya. Namun sikap mereka tak
jauh beda dengan bunda dan kakaknya.
Ada
lagi yang membuatnya bertanya-tanya. Dahulu, semasa kuliahnya di Universitas
Nusantara, kakaknya sering bercerita kepadanya tentang pendakian-pendakiannya.
Waktu itu Edel masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia sangat senang mendengar
cerita-cerita dari kakaknya. Apalagi kalau melihat foto-foto pendakian
kakaknya, dia jadi ingin seperti kakaknya kalau sudah besar nanti. Dua tahun
setelah bunda mereka wafat karena kanker yang bersarang di hatinya, kakaknya
tak pernah lagi menyandang keril, dan pergi menyinggahi puncak-puncak gunung.
Dia bahkan tak pernah lagi bercerita kepada Edel tentang
pendakian-pendakiannya. Dan sejak saat itu, Edel tak pernah lagi melihat
foto-foto pendakian kakaknya. Padahal dulu, hampir semua dinding kamarnya
dipajangi foto-foto itu. Tadinya Edel mengira kalau kakaknya sudah tak punya
waktu untuk melakukan itu, karena waktunya banyak tersita oleh kesibukannya di
kantor. Tapi belakangan ini, dia seperti merasa, ada sesuatu yang telah terjadi
dengan kakaknya.
Tak
ada! Edel tak menemukan apa-apa di dalam kamar kakaknya.
Aha! … Tiba-tiba gadis itu seperti
teringat sesuatu. Gudang! Pasti di sana!
Edel
membuka lemari pakaian kakaknya. Dia sering melihat kakaknya menyimpan kunci
gudang di laci lemari pakaiannya. Ini dia!
Perlahan si tomboy memijaki anak tangga yang mengantarkannya
ke sebuah gudang di atap loteng
rumahnya. Dia berdiri di depan pintu gudang itu. Ragu. Namun akhirnya, dibuka
juga pintu itu dengan kunci yang diambil dari laci lemari pakaian kakaknya.
Edelweiss
menyalakan lampu di dalam gudang. Neon 10 watt membuat debu-debu yang melekat
di tiap sudut tempat itu tampak semakin jelas. Hatchiiii…! Debu-debu
yang berterbangan di udara, menyelinap masuk ke dalam lubang hidungnya. Sudah
lama juga dia tidak melihat kakaknya membersihkan tempat itu. Meski dia tahu
kakaknya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi dia tak pernah mengijinkan
Edel membersihkan tempat itu. “Biar aku saja yang membersihkannya. Debu-debu
itu tak baik buat kulit halusmu.” Selalu kalimat itu yang meluncur dari
mulutnya setiap kali Edel menawarkan jasa membersihkan gudang itu. Edel percaya
kalau satu-satunya orang yang dimilikinya begitu memperhatikan dirinya. Namun sikap kakaknya itu semakin menebalkan
keyakinannya kalau ada yang berusaha dia sembunyikan di tempat itu.
Gudang
itu sangat luas. Setidaknya setengah dari luas bangunan rumah mereka. Gudang
itu berada di balik langit-langit rumahnya. Dulu Kakaknya sering menggunakan
tempat itu untuk kongkow-kongkow dengan teman-temannya setiap sabtu malam.
Karena terlalu lama tak dibersihkan, banyak laba-laba yang membuat sarangnya di
tempat itu. Hatchiiii…! Lagi-lagi
debu-debu di ruangan itu membuatnya terbersin. Dia menutupi hidungnya dengan
sapu tangan.
Mata
Edel berkeliling ke sudut-sudut ruangan itu. Ada banyak barang yang menghuni
tempat itu. Barang-barang yang sudah tak terpakai itu seperti menjadi saksi
bisu sebuah masa. Masa di mana ketika mereka masih dianggap cukup layak untuk
tidak di singkirkan ke ruangan berdebu itu. Gudang. Sebaik apa pun tempatnya,
hanyalah merupakan tempat untuk menyimpan barang-barang yang sudah tak layak
pakai. Hanya karena nilai sejarah yang melekat pada benda-benda itu, membuat
pemiliknya merasa ingin tetap mempertahankannya. Walau pada akhirnya hanya
menjadi peghuni ruangan berdebu bersama laba-laba.
Berada
di dalam ruangan itu, membuatnya merasa berada di masa lalu. Benda-benda yang
berada di tempat itu, membuatnya mengingat jauh ke belakang. Seperti boks bayi
dari kayu jati di pojok ruangan itu. Dulu dia mewarisi boks itu dari
kakaknya. Menurut cerita bundanya, boks bayi itu dibuat sendiri oleh ayahnya.
Edel menyentuh boks itu. Matanya terpejam membayangkan dirinya ketika masih
bayi mengelinjang-gelinjang di dalam boks bayi buatan ayahnya. Sudah lama dia
tak melihat benda itu. Bahkan dia tak membayangkan kalau benda itu masih ada.
Selain boks bayi buatan ayahnya, ada juga sepeda kecil dengan dua roda
penyangga di bagian roda belakangnya. Dulu kakaknya mengajarinya mengendarai
sepeda dengan sepeda kecil itu.
Masih
banyak benda-benda lain yang menyimpan kenangan masa lalu seperti; televisi
hitam putih, boneka panda hadiah dari Bunda, jam dinding peninggalan kakek yang
pada waktu-waktu tertentu selalu mengeluarkan pipit mainan dari dalamnya, meja
belajar, kursi tua, dan… Koper??? Edel tak ingat dengan koper itu.
Koper itu tampak usang di makan usia. Modelnya pun telah
ketinggalan jaman. Warnanya merah tua. Terbuat dari bahan kulit. Edel tak
pernah melihat koper itu sebelumnya. Mungkin koper itu sudah ada sebelum aku
ada… begitu pikirnya. Kalau benar yang dipikirkannya, berarti koper itu telah
menghuni tempat itu jauh sebelum ia dilahirkan. Kenangan apa yang tersimpan di
dalam koper itu? Edel tertarik mencari tahu.
Edel
mengambil linggis kecil. Menyelipkannya di bagian dalam yang melengkung dari
gembok kecil yang menggantung pada bagian pengait yang membuat koper itu
tertutup. Kemudian dengan sekuat tenaga, dia hentakkan linggis itu. Baru pada
hentakan ketiga gembok itu terbuka.
Si
tomboy membuka koper itu. Dia seperti sedang membuka pintu masa lalu.
Perasaannya campur aduk saat itu. Dia menemukan tumpukan album foto di dalam
koper itu. Jadi di sini Mas Fajar menyimpan foto-fotonya…
Edel
mengaduk-aduk album foto yang ada di dalam koper itu. Keningnya berkerut saat
dia menemukan album bertuliskan nama ayahnya pada sampul album itu. Dia segera
membalik sampul album itu.
Pemuda
itu?!
Dirinya
sangat terkejut mendapati sosok pemuda yang selalu hadir di dalam
mimpi-mimpinya ada di dalam foto berukuran 10 R yang menempel di lembar pertama
album itu. Di dalam foto itu, pemuda itu berdiri di atas puncak gunung. Di
balik punggungnya, asap yang berasal dari kawah membumbung tinggi ke udara.
Mahameru, Agustus 1970. Begitu yang tertulis di bawah foto itu. Edel membalik
lembar foto berikutnya. Segara Anakan, September 1972, tertulis di bawah sebuah
foto lainnya. Di dalam foto itu, pemuda yang memiliki sorot mata elang itu
berdiri di atas sebuah batu di tepian sebuah danau—di tengah-tengah danau itu
tumbuh gundukan serupa kubah puncak gunung. Semuanya persis dengan yang ada di
dalam mimpinya!
Si
tomboy mengambil album yang lain. Di lembar pertama album itu, dia menemukan
foto pemuda itu sedang menggendong bocah usia balita, di antara hamparan
bunga-bunga edelweiss yang tumbuh di lembah yang terapit di antara dua puncak
gunung. Ini dia! Batinnya. Mandalawangi, 27 Desember 1977.
“Siapa
bocah laki-laki yang berada di dalam gendongannya?”
“Aku!”
Edel
menoleh. Fajar, kakaknya telah berdiri di hadapannya.
“Mas
Fajar?”
“Iya.
Itu saat pertama Ayah mengajakku mendaki puncak gunung. Saat itu bertepatan dengan
hari ulang tahun keduaku. Aku sendiri tidak terlalu ingat kecuali dari gambar
di dalam foto itu. Dan kau tahu siapa yang mengambil gambar itu…?” diam
sejenak. Lalu katanya lagi, “Bunda!”
“Bunda
naik gunung?”
“Bunda
bertemu dengan Ayah dalam pendakiannya ke Rinjani. Satu bulan setelah itu, Ayah
datang melamarnya. Mereka menikah.”
“Jadi
pemuda itu…” Matanya menatap pada Fajar.
“Ya.”
“Ayah…”
Kabut
berpendaran di bolamatanya. Gadis yang sejak lahirnya tak pernah melihat wajah
ayahnya kecuali dari foto keluarga yang menempel di dinding ruang tamu
rumahnya, mendekap album foto itu. Kabut yang berpendaran telah menjelma
kristal-kristal bening. Meretas. Menganaksungai di kedua belah pipi mulusnya.
Terisak. Fajar merengkuh tubuh Edel, membenamkan kepala adiknya di dadanya.
“Maafkan
aku karena telah menyembunyikan semua cerita itu darimu?” Fajar berbisik di
telinga Edel.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini