Nonton Konser

Oleh Depo


Kelopak mata Lova membuka. Terjaga dari tidurnya. Ngulet sebentar. Lalu senyum-senyum sendiri. Cewek hitam manis itu baru aja ngimpiin Dylon, artis pujaannya, datang memberikan sekuntum mawar putih kepadanya. Sampai kemudian...

“Hah?!” Matanya yang bulat telur membelalak, saat mendapati jarum jam yang lekat di dinding kamarnya telah menyentuh angka tiga, sore hari!

“Aduhhhhhh! Terlambat!”

Lova gegas beranjak dari ranjang busanya. Secepat kilat mengayun langkah mungilnya ke kamar kecil.

Konser Dylon bakal digelar selepas magrib nanti, di Parkir Timur Senayan. Padahal, Lova belum punya tiket masuknya. Sebenarnya kemarin dia sudah berencana memesan tiket konser Dylon ke agen yang ditunjuk penyelenggara.

Sudah lama Lova merencanakan datang ke konser perdana penyanyi yang baru aja merampungkan albumnya, selepas menggondol predikat pertama dalam pemilihan penyanyi idola di sebuah televisi swasta.

Tapi acara pindah rumah, membuat semuanya terpaksa harus berjalan nggak sesuai dengan rencana!

“Kamu kan bisa beli tiketnya besok pagi di ticket box,” ujar Bunda, waktu Lova minta ijin gak ikut bantuin pindah rumah.

“Tau, nih... kita kan lagi butuh banyak tenaga!” sambung Ceva, kakak perempuannya.

“Jangan mikirin diri sendiri dong, egois tuh namanya!” timpal Seva, kakak cowok Lova, anak pertama di keluarganya.

Akhirnya Lova nyerah. Dia gak mau dituduh durhaka, hanya gara-gara lebih mentingin beli tiket konser, ketimbang membantu keluarganya pindah rumah.

“Kenapa sih kita harus pindah rumah segala?” rajuk Lova. Cemberut. Bunda dan Ayah Cuma tersenyum melihat bibir putri bontotnya maju sampai tiga senti.

Sebenarnya Lova sudah nyetel alarm di Hp-nya, biar bisa terjaga sebelum pukul dua tadi. Tapi, lelah yang mendera tubuhnya karena harus membereskan barang-barang di rumah barunya, sejak kemarin sampai baru selesai Zuhur tadi, membuat usahanya jadi sia-sia. Berkali-kali alarm mengudara, gak satu pun yang bisa memaksa Lova membuka mata!

Pintu kamar mandi terkunci.

“Aduh... siapa sih yang di kamar mandi?” sungut Lova, sambil mengedor-gedor daun pintu. Matanya bolak-balik melirik jam dinding di ruang makan yang masih keliatan berantakan.

“Sebentar!” sahut Ceva dari dalam kamar mandi.

Dug! Dug! Dug! kembali dia mengedor-gedor pintu kamar mandi. Gak sabar.

“Buruan dong, Kak! Lova udah telat nih!”

Gak berapa lama pintu kamar mandi dikuak. Ceva mencul dari dalamnya dengan wajah kesal.

“Gangguin kenikmatan orang aja!”

Lova gak menggubris kata-kata kakaknya. Dia segera menyelinap ke dalam kamar mandi sebelum ceramah panjang lebar keluar dari mulut mungil kakaknya.

Byyyuuurrrr...!!!

“Lovaaa...!” pekik Ceva yang masih berdiri di depan kamar mandi, “kalo mandi dipake gayungnya! Jangan langsung nyemplung ke bak! Baru gue bersihin tuh!”

Lova cuek aja. Gak peduli. Dia sudah terbiasa dengerin teriakan kakaknya. Pokoknya, semua hal yang Lova kerjain selalu menuai komentar miring. Seolah-olah dia makhluk yang paling gak becus se-dunia.

Pintu kamar mandi dibuka sedikit dari dalam. Lova udah selesai mandi. Dia mengintip ke luar dari celah pintu, takut-takut kalo Ceva masih berdiri di depan kamar mandi, siap memberikan ceramah gratis buat dirinya. Lova lagi males dengerin kultum alias kuliah tujuh minggu, soal gimana cara gunain gayung saat mandi, dari kakak keduanya itu.

“Aman...” Lova berjingkat-jingkat ke kamarnya.

Niat Lova yang semula mau buru-buru, jadi molor sampai beberap waktu. Cewek jangkung yang di sekolah lamanya sering dikira tiang bendera, lagi bingung sendiri milih-milih baju. Semua isi lemari dia keluarkan. Tapi gak satu pakaian pun yang bikin dia jadi merasa percaya diri.

“Aduh... pake baju yang mana nih?”

Lova desperate. Belum juga nemu baju yang dia mau. Sementara waktu gak mau menunggu. Melesat bagai anak panah yang dilepaskan arjuna. 30 menit berlalu sia-sia, sejak dia keluar dari kamar mandi tadi.

“Ah, pake yang ini aja deh.” Lova memungut t-shirt biru yang ada gambar Dylonnya. Mengenakannya. Membalutnya dengan jaket jeans warna coklat muda. Untuk bawahannya, dia mengenakan rok jeans panjang warna senada dengan t-shirt yang dikenakannya.

Lova keluar dari kamarnya. Menghampiri Bunda yang masih sibuk bebenah, Bunda lagi nempel-nempelin foto-foto keluarga di dinding ruang tamu.

“Bunda Lova pergi dulu ya?”

“Mau ke mana?”

“Mau nonton konsernya Dylon di Parkir Timur Senayan.”

“Lova pulangnya gak malam-malam kan?” tanya Bunda waktu dia minta ijin pergi.

“Gak sampai jam duabelas malam kok.”

“Hah?” Bunda kaget, “itu mah malam banget!”

Lova buru-buru menggamit telapak tangan Bunda, menciup punggung telapak tangannya. Dia juga gak lupa cium tangan ayahnya. Sebelum kedua orangtuanya itu berubah pikiran dan gak mengijinkannya pergi.

“Assalamu’alaikum!” ucap Lova buru-buru meninggalkan rumah, tanpa menunggu jawaban salam dari Bunda yang sepertinya masih cemas, karena anak bontotnya mau pulang malam. Sedang Ayah hanya tersenyum saja, dan berpesan agar dia hati-hati.

Lova berdiri di tepi jalan raya. Depok Timur, kota tempat tinggal Lova yang baru. Angkot-angkot berseliweran bikin kepala Lova jadi pening. Dia masih asing dengan jalan-jalan di kota ini.

Walhasil, semakin banyak menit yang terbuang sia-sia, sebab sejak tadi Lova hanya berdiri saja, tanpa tau mau naik mobil yang mana. Bertanya? Kayak gak tau aja sifat Lova. Dia itu pemalu abis deh. Apalagi sama orang baru. Jadi...

“Ojek, Neng?”

Seekor bebek 4 tag, warna merah burem, keluaran tahun 70’an berhenti tepat di depannya. Pengendaranya gak kalah antik sama motor yang ditungganginya. Badannya pendek kurus, rambutnya agak sedikit ikal disisir ke belakang, kacamata segede kaca nako nyaris menutupi separuh wajahnya.

Wajah Lova sumringah.

“Ke Senayan mau gak, Bang?”

“Wah, jauh be’eng, Neng.”

Lova kembali murung. Bingung. Langit mulai keabu-abuan. Sebentar lagi malam segera akan datang. beberapa jam lagi konser Dylon sudah akan dimulai.

“Emangnya mau ngapain ke Senayan, Neng?”

“Mau nonton konsernya Dylon, Bang...”

“Wah, anak saya juga suka tuh sama Dyl... Dyl... siapa, Neng?”

“Dylon.”

“Iya, Dylon,” kata tukang ojek itu, “Ayo dah, saya anter ke Senayan, Neng!”

“Bener nih, Bang?”

Tukang ojek itu mengangguk.

“Ongkosnya berapa, Bang?”

“Ah, ongkos mah gampang dah, yang penting naik aja dulu.” Tukang ojek itu menyerahkan helm cadangannya kepada Lova.

Lova naik ke atas sadel motor.

“Nama saya Zaenal, Neng,” kata tukang ojek itu, “Neng boleh panggil saya Bang Zae.”

“Saya Lova, Bang.”

“Wah, namanya cakep banget, Neng!”

Lova hanya mesem-mesem dipuji begitu. Jarang-jarang dia dipuji sama orang.

Dan motor pun bergerak menyusur aspal jalanan.

“Kira-kira satu jam bisa gak sampe ke Senayan, Bang?”

“Yeah, bisa aja sih. Asal...”

“Asal kenapa, Bang?”

“Asal gak mogok aja. Kalo macet masih bisa selap-selip.”

“Emangnya suka mogok ya, Bang?”

“Yeah, namanya juga motor tua, Neng. Tapi gak usah khawatir. Baru saya servis kemarin lusa kok. Jadi dijamin tokcer.”

“Usahain nyampe sebelum magrib ya, Bang.”

“Sip!” Tukang ojek bernama Bang Zae itu langsung tancap gas. Motor tua itu meraung terbatuk-batuk, meninggalkan kepulan asap tebal di belakangnya.

Semoga aja gak mogok... Batin Lova, mendengar suara mesin motor Bang Zae persis orang yang lari maraton muterin seluruh pulau di Indonesia!

***

Fuih... Lova membuang napas berat saat melihat antrian di depan gerbang masuk Parkir Timur Senayan, tempat konser Dylon bakalan digelar. Puanjang buangeeet deh!

“Perlu Bang Zae tungguin gak, Neng?”

“Tungguin deh, Bang.”

Lova segera mengambil tempat tepat di belakang seorang cowok bertubuh kerempeng yang nyangking macem-macem snack. Dari tadi mulut si kerempeng gak berhenti-hentinya mengunyah. Tukang makan kok kerempeng... jangan-jangan cacingan tuh anak! Lova cekikikan dalam hati.

Hanya beberapa menit saja, di belakang Lova sudah banyak orang yang mengantri.

Tigapuluh menit berlalu sudah. Lova hanya tinggal beberapa langkah saja dari ticket box sebelum...

Duuuuutttt!

“Mhp... siape nih yang ngentut?!” teriak seseorang. Cowok kerempeng itu cuma nyengir-nyengir kuda sambil cueknya terus mengunyah snack di tangannya.

Antrian yang tadinya rapi, langsung berantakan. Kocar-kacir gak karuan. Lova yang sempat bertahan untuk tetap berdiri di tempatnya, harus menyerah karena rasa mual di perutnya akibat kentut yang baunya melebihi gabungan sepuluh tengki mobil penyedot tinja, membuatnya muntah-muntah!

Dan ketika Lova kembali lagi, antrian itu sudah semakin bertambah panjang. Lova mencari cowok kurus yang tadi berdiri di depannya. Itu dia! Seru Lova dalam hati, melihat cowok yang tadi mengeluarkan gas beracun sampai membuatnya muntah-muntah, berada di barisan terdepan antrian panjang itu.

Lova segera beranjak menghampirinya. Tanpa basa-basi, Lova langsung mengambil tempat di belakang cowok kurus itu.

“Heh!” bentak seorang cewek yang rambut ikalnya dipirangin, “antri, dong!”

“Saya tadi berdiri di belakang dia!” Lova menunjuk ke arah cowok kurus di depannya.

“Yang mana?”

“Yang...” Lova menoleh, “Lho, ke mana cowok itu?” Lova celingukan, mencari-cari cowok kurus yang tadi berdiri di depannya. Cowok itu sudah menghilang entah ke mana.

“Ala gak usah pura-pura deh!” semprot cewek pirang itu, “Lagian ini antrian baru lagi, gak ada hubungannya sama yang tadi!”

“Hoi jangan ngobrol dong! Keburu konsernya abis, nih!” teriak seseorang.

“Antri dong!” teriak yang lainnya.

“Bebek aja ngarti antri!” yang lainnya menambahi.

“Huh!” cewek pirang itu mendorong tubuh Lova hingga keluar dari antrian.

Lova pasrah. Gak berani melawan. Dia berjalan ke antrian paling belakang.

Setelah satu jam berdiri, akhirnya Lova sampai juga di depan ticket box. Dia mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompetnya, tapi waktu Lova mau menyerahkan pada penjaga tiket, penjaga tiket itu menunjuk papan kecil yang tergantung di kaca bertuliskan: TIKET HABIS.

“Hah? Habis sama sekali, Mbak?”

Penjaga tiket itu menganggukkan kepala.

“Yaaahhh...” terdengar koor panjang di belakang tubuh Lova. Mereka tampak sangat kecewa karena gak bisa nonton konser perdana bintang pujaannya. Sayaup-sayup terdengar suara musik mulai mengalun.

Lova lemas. Melangkah lunglai meninggalkan ticket box. Padahal, sudah lama dia merencanakan semuanya

“Gimana, Neng?” tanya Bang Zae waktu melihat Lova menghapirinya di parkiran. “Gak jadi nonton konser?”

Kabut memendar di bola mata Lova. Sesaat kemudian retas, meninggalkan jejak-jejak kristal di kedua belah pipinya.

“Kenapa, Neng?”

“Hik... hik... hik...”

“Yah, kok jadi nangis sih?”

“Lova gak kebagian tiket, Bang...”

“Ya udah deh, Neng. Emang belum rejeki, kali,” hibur Bang Zae, “Kita pulang aja, yuk!”

Lova meninggalkan pelataran Parkir Timur Senayan dengan perasaan kecewa. Tak berbilang air mata yang mebasahi kedua belah pipinya.

Dan penderitaannya semakin lengkap saat di tengah jalan, motor antiknya Bang Zae tiba-tiba terbatuk-batuk, berjalan endut-endutan, sebelum berhenti sama sekali, dan gak mau jalan lagi!

“Yah...”

“Kenapa, Bang?” tanya Lova di sela isak tangisnya.

“Mogok, Neng...”

“Huuuaaaaaaa...!!!”



Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini