Love Messages #8

Oleh De Zha Voe
Diterbitkan oleh Aditera, 2007


GEMINI 22 Mei – 21 Jun
Cinta : Kabut itu mulai tersingkap, kamu akan segera mengetahui siapa yang diam-diam telah menaruh hati padamu.
Kehidupan : Jangan ragu kalo mau melakukan perubahan.Cepat ambil keputusan.
Surprise : Nggak usah kaget kalo tiba-tiba aja ada ajakan makan malam bareng dari seorang cowok.
Angka keberuntungan : 13.
Warna keberuntungan : Pink.

Argi meletakkan majalah Komo Girl Yang sedang dibacanya. Dia mengambil Hp-nya. Mencari nama Dini di phonebook-nya. Ini dia! Baru saja Argi mau menekan keypad Hp untuk menghubungi Dini, Hp digenggamannya berderak-derak, bergetar, disusul suara ringtone mengudara. Nama Dini terpampang di monitor Hp-nya.

Baru mau gue telepon nih anak…

“Halo,” sapa Argi, “baru mau gue telepon lo! Ada apa?”

“Udah baca majalah Komo Girl Belom?”

“Lagi baca, nih.”

“Udah liat ramalan bintang lo bulan ini, belom?”

“Udah.”

“Elo banget gitu lho!”

“Iya. Kok bisa persis gini, ya?”

“Eh, elo udah punya bocoran gak, kira-kira siapa cowok bernama Lelaki Terindah itu?”

“Seperti yang gue omongin sama elo waktu itu.”

“Si Bagas?”

“Kayaknya begitu.”

“Alasannya?”

“Ceritanya panjang, deh! Tar pulsa lo abis lagi.”

“Gue telepon ke nomer rumah lo aja, ya?”

“Oke deh.”

Dini memutuskan sambungan teleponnya. Tak lama berselang, terdengar suara telepon di ruang tengah rumahnya berdering. Argi segera berlari meninggalkan kamarnya, mengangkat gagang telepon.

“Ceritanya gini, Din... waktu itu kan gue janjian mau chating gitu sama Lelaki Terindah. Tapi sampe jam sembilan malem dia gak SMS-SMS gue! Ya, udah gue SMS aja dia,” cerocos Argi mirip kereta api, “Dua kali SMS gue gak dibales-bales. Nggak lama setelah SMS gue yang ketiga terkirim, gue denger suara motor berhenti di depan rumah. Lo tau gak siapa? Si Bagas sama Arga! Terus, gak lama setelah Bagas masuk rumahnya, gue dapet SMS dari nomernya Lelaki Terindah. Dia minta maaf gak bisa chating sama gue malam itu, karena dia baru pulang dan capek banget. Waktu gue tanya Arga dia sama Bagas dari mana, Arga bilang mereka baru aja latihan climbing sama teman-temannya Bagas, karena mau naek gunung Slamet! Menurut lo gimana, Din? Eh, elo kok diem aje, sih?”

“Maaf, Dik…” ucap suara wanita di seberang sana, “Ibunya ada?”

“Lho… oh, eh, i-ini…”

“Saya Bu Yuli,” jawab wanita di seberang telepon, “Tetangga depan rumah.”

“Bu Yuli... ibunya Bagas?”

“iya. Anak saya masih Bagas, belum ganti.”

“Hehehe... ibu bisa aja.” Wajahnya berubah merah dadu. Malu. “Sebentar Argi panggilin Bunda ya...”

***

“Elo gimana sih, Gi?” Dini misuh-misuh, tangannya sibuk menyuap somai made in Bu kantin, “Gue telponin ke rumah lo kok sibuk terus?!”

“Sori, Din?” mohon Argi, sambil gerecokin somainya si Dini, “Semalam gue tengsin sama nyokapnya Bagas!”

“Tengsin gimana?”

“Gue pikir telepon dari elo. Ya udah gue cerita banyak di telepon soal Bagas. Dan elo tau siapa yang telepon?”

“Mana gue tau, yang terima telepon kan elo, bukan gue!”

“Yee! Maksud gue tebak, gitu!”

“Nyerah ah.”

“Belom mikir udah bilang nyerah.”

“Udah deh, elo cerita aja!”

“Yang terima telepon itu…” Argi menggantung ucapannya.

“Jreng… jreng… jreng…” sambar Dini kesal.

“Hehehe…”

“Buruan dong! Udah penasaran, nih! Siapa, sih?”

“Yang telepon itu nyokapnya Bagas!”

“Hah?!?” mata Dini mencelat, nyaris keluar dari ceruk matanya, “Sumpe lo?!”

“Suer!”

“Terus?”

“Terus ya… gue malu!”

“Hihihihi…”

“Lo kok malah ketawa?!” Argi misuh-misuh, tangannya menyendok semua somai yang tersisa di piringnya Dini. “Hap! Nyam, nyam, nyam…”

“Yah, kok somai gue lo habisin!”

“Hehehehe…”

***

Bel tanda usai jam sekolah mengudara. Gemuruh lega menggema dari tiap-tiap kelas. Langkah-langkah tergesa. Menghambur keluar dari kelas masing-masing. Ingin selekas mungkin meninggalkan halaman sekolah. Tapi tidak dengan pengurus majalah SUKA. Mereka berkumpul di ruang redaksi. Argi, Dini, Fifi, Fadil, juga Arga, tekun mendengarkan pengarahan dari Ela. Mereka sedang membicarakan materi yang akan mereka suguhkan pada edisi mendatang.

“Kapan elo mau jalan ke Gunung Slamet, Ga?” tanya Ela, setelah mendengarkan keterangan dari Arga, soal rencananya membuat artikel pendakian ke Gunung Slamet.

“Insya Allah minggu depan,” terang Arga, “kenapa? Mau diongkosin, ya?”

“Berapa butuhnya?”

“Gak banyak, sih. Paling cuma 200 ribuan.”

“Gue kasih setengahnya aja, ya? Setengahnya lagi pake uang sendiri.”

Arga mengangguk setuju.

“Nanti minta uangnya sama Fifi,” pesan Ela.

“Sip!”

“Elo Din, udah ada rencana mau bikin liputan di mana?”

“Belom tau, Mbak…”

“Eh, SMU Cakra mau ngadain turnamen basket tuh!” ujar Fadil, lay outer dan penanggung jawab distribusi yang juga anggota tim basket SMU Merah Jambu.

“Wah, bisa jadi bahan berita yang bagus, tuh!” seru Ela. “Kapan?”

“Mulai minggu depan,” terang Fadil, “selama seminggu penuh.”

“Untuk profil minggu depan siapa Mbak?” tanya Dini. Dia memang kebagian mengasuh rubrik Profil.

“Ehm… siapa, ya?”

“Karena bulan depan tema kita sport, gimana kalo gue wawancarain bintang basket yang paling bersinar di turnamen itu?” usul Dini.

“Ide bagus!”

“Elo gimana, Gi?” tanya Ela, “ada usul?”

“Gimana kalo mulai edisi depan kita adain rubrik zodiak?”

“Usul bagus tuh!” dukung Dini.

“Gue gak setuju!” timpal Arga.

“Kenapa?”

“Kita kan nggak perlu ikut-ikutan majalah yang udah ada. Kayak udah nggak ada yang bisa ditulis aja! Lagian, emangnya elo pada bisa ngeramal apa?” tanya Arga.

“Kita kan cuma iseng-iseng aja, Ga,” bantah Argi.

“Apalagi sekedar iseng-iseng. Coba elo bayangin, kalo keisengan lo itu, dianggap serius sama pembaca, terus dia percaya betul sama ramalan bintang yang lo tulis, dan dia mengikuti semua nasihat yang elo tulis di rubrik itu, padahal, yang lo tulis asal-asalan?”

“Yah, kita bisa minta bantuan sama pakarnya,” ujar Dini.

“Pokoknya gue gak setuju!” tegas Arga, “yang kreatif dikit dong!.”

“Tapi rubrik zodiak sangat digemari sama pembaca-pembaca, terutama anak-anak remaja!”

“Jangan cuma sekedar mentingin pasar dong! Kita juga harus punya misi yang jelas, yang bisa ngasih dampak positif buat pembaca!”

“Cukup! Cukup!” Ela memotong perdebatan. “Gue rasa, persoalan ini bisa kita omongin kapan-kapan. Mungkin, kita perlu minta penjelasan sama yang lebih paham lagi soal perkara ini. Mending sekarang elo jelasin soal cerpen-cerpen sama puisi-puisi buat edisi depan, Gi.”

“Belum banyak yang ngirim. Baru ada beberapa judul. Kayaknya sih kurang oke semua. Mudah-mudahan ada yang sesuai sama tema yang mau kita usung buat edisi depan.”

“Eh, iya, Gi…” sambung Arga, “Si Dava udah ngirimin naskah belom ke elo?”

“Dava? Yang ketua OSIS SMU Cakra itu, ya?”

“Iya. Waktu gue ngeliput pensi, dia nanya alamat e-mail kalo mau ngirimin naskah. Yah, gue kasih e-mail majalah, sama e-mail punya lo.”

“Belom ada tuh cerpennya Dava.”

“Kiriman puisi juga belum ada?”

“Kayaknya belum juga… emang si Dava bisa bikin puisi, ya?”

“Nggak tau juga deh. Katanya sih, puisinya suka dimuat di majalah remaja ibukota gitu deh…” terang Arga, “Waktu pensi lalu dia kan bacain puisi karyanya.”

“Gue kok gak liat ya?”

“Emang elo bisa?”

“Bisa apa?”

“Ngeliat!”

“Lo pikir gue si buta dari majalah SUKA!”

“Hehehehe…”

Dan rapat siang itu pun ditutup dengan laporan keuangan dari Fifi. Evaluasi distribusi dari Fadil.

<<< Cerita Sebelumnya - Cerita Selanjutnya >>>
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini