Kisah Pohon Sagu: Miripu dan Ikan Parako

Oleh Denny Prabowo 
Diterbitkan Balai Pustaka, 2011



Dahulu, penduduk Kipya yang hidup di tepi pantai suka memakan ti atau lem dari getah pohon. Mereka biasa menjemur lem itu di bawah terik matahari hingga menjadi kering.

Setelah mengering, mereka akan memanggangnya dengan api. Orang Kipya biasa memakannya bersama ikan hasil tangkapan mereka. Begitulah kebiasaan makan orang-orang kipya.

Sampai suatu hari, datang dua orang kakak beradik yang berasal dari Nariki. Suatu daerah yang terletak di kaki pegunungan Charles Louis. Letaknya dekat dengan pantai.

Orang Nariki mendiami tempat yang membatasi dunia .atas dan dunia bawah. Maksudnya antara daerah pegunungan dan daerah pantai. Di sanalah bagian bawah dari pegunungan Charles Louis masuk ke dalam laut.

Mereka sudah lama mengenal sagu. Mereka menjadikan sagu sebagai makanan pokok mereka.

“Kakak, aku akan pergi ke arah timur,” kata Miripu kepada kakaknya.

“Baiklah, adikku,” jawab Tipa, kakaknya, “aku akan melanjutkan perjalanan ke arah barat.”

“Hati-hati, Kakak,” ucap Miripu.

“Begitu juga dengan kamu, Miripu,” sahut Kakaknya. Kemudian keduanya saling berpelukan.

Miripu dan Tipa berasal dari keluarga Amota-we atau orang sagu. Keluarga mereka dikenal sebagai orang-orang pertama yang mengenal sagu sebagai makanan.

Miripu berjalan sendirian ke arah timur. Setelah berjalan cukup lama, Miripu merasa lelah. Apalagi matahari pada waktu itu memancarkan sinar teriknya.

“Sebaiknya aku beristirahat di sini,” kata Miripu ketika melihat batang kayu yang menjuntai ke sungai. “Sepertinya tempat ini cukup teduh….”

Miripu merebahkan tubuhnya di batang kayu yang rindang itu. Angin yang menerpa wajahnya, membuat matanya terasa berat. Kakinya ia masukkan ke dalam air yang jernih.

“Oh, sejuknya…,” ucap Miripu menikmati aliran sungai dan angin yang berhembus. Tanpa disadari olehnya, ia pun tertidur lelap.

Tempat ia berhenti itu kini terletak di sebelah Barat Potaway, sebelah Timur Tanjung Napuku.

Seekor ikan parako berenang-renang mengikuti air pasang. Ikan itu masuk ke dalam muara. Ia melihat melihat sebuah benda terjurai di atas air.

“Hai, ikan mona,” panggil ikan Parako kepada temannya yang tengah asik mencari makan “Lihat itu!” ikan Parako menunjuk pada sebuah benda yang menjuntai ke dalam air sungai.

“Hmm… apakah benda itu bisa dimakan?” Tanya ikan Mona sambil mendekati benda menjuntai itu.

“Bagaimana kalau kita coba saja?” usul ikan Parako.

Ikan Parako dan ikan Mona mulai menyantap benda yang menjuntai ke dalam air itu.

“Rasanya cukup aneh,” kata ikan Parako.

“Tapi lumayan enak,” jawab ikan Mona.

“Hmm… nyam… nyam… nyam, kamu betul, Kawan!” kata ikan parako sambil mengunyah benda yang tak lain rambut Miripu itu.

Mereka terus menyantap rambut Miripu itu. Rupanya Miripu mulai tersadar. Ia merasa ada yang menarik-narik kepalanya.

“Aduh!” teriak Miripu ketika ikan Mona dan ikan Parako menggigit rambutnya, “Ada apa ini?”

Miripu berdiri. Betapa terkejutnya ia mendapati rambutnya tinggal sedikit. Ia meraba-raba rambutnya yang tinggal sedikit itu.

Kalau saja ia tak segera terbangun, barangkali sudah habis rambutnya disantap ikan Parako dan ikan Mona. Konon, karena peristiwa inilah, maka orang-orang setempat saat ini tak ada yang berambut panjang.

“Kurang ajar kalian!” kata Miripu kepada kedua ikan yang mulai menyadari bahaya.

“Kita lari!” seru ikan Parako. Ikan Mona segera berenang secepatnya, meninggalkan ikan parako di belakang.

Miripu mengambil anak panahnya. Ia membidik ikan Parako yang belum berenang jauh.

Melihat hal itu, ikan Parako berusaha untuk berenang lebih cepat. Ia meliuk-liukkan tubuhnya agar sulit dipanah. Sementara Miripu mulai mendapatkan posisi tembak yang bagus. Lalu… suuuiiiiinnng! Anak panah melesat dengan cepat.

“Auw!” jerit ikan Parako, ketika anak panah itu mengenai sisi kiri tubuhnya. Beruntung bagi dirinya, anak panah itu tidak menancap di tubuhnya.

Ikan Parako makin mempercepat renangnya. Apalagi saat dilihatnya, Miripu telah mengambil anak panah lainnya. “Aku harus segera lari!”

Suuuuuuiiiing! Anak panah kembali melesat ke arah ikan Parako. Lagi-lagi ikan itu mampu menghidar. Namun, anak panah itu sempat mengenai sisi kanan tubuhnya. Konon, sejak peristiwa itu, ikan-ikan Parako memiliki kedua titik hitam di kedua belah tubuhnya.

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini