Heboh Kasus Plagiasi

cerpen Renny di Majalah Story
Selasa, 26 Juli 2016, saya menemukan postingan mantan redaktur Majalah Story, Mbak Erin atau Reni TerataiAir di linimasa FB saya. Dalam postingannya itu, Mbak Erin menampilkan dua foto cerpen dari majalah Story dan lembaran koran. Cerpen di majalah Story berjudul "AL" karya Renny Chrisnawaty dan cerpen  berjudul "Black Hole" karya Nanda Dyani Amilla. Kedua cerpen itu memiliki kesamaan. Hanya judul dan nama penulisnya saja yang berbeda. Kamu bisa melihatnya di sini https://www.facebook.com/Lidyarennych/posts/557224571152408.

cerpen Nanda
Kasus ini menjadi heboh karena rupanya, pembaca majalah Story yang disebut Storylover cukup loyal. Meski majalah itu sudah wafat beberapa tahun yang lalu, mereka masih memiliki ingatan yang lumayan kuat terhadap cerpen-cerpen yang pernah muncul di sana.

Setelah saya share kasus ini di dinding FB saya, seorang teman dari FLP membagikan link ini di dindingnya https://www.facebook.com/notes/sian-hwa/menggugat-orisinalitas-cerpen-lilin-merah-di-belakang-meja-mahyong-karya-guntur-/608564539299404 sambil mempertanyakan, "Udah baca yg ini? Plagiat dr Guntur Alam dimuat di kompas Kok gk seheboh yg skrg ya?". Kemudian, seorang teman bernama Aveus Har men-tag saya di boks komentar link tersebut. Belakangan, Dae Akhi Dirman Al-Aminteman saya itu juga membagikan link itu di salah satu status saya. Dalam gugatannya, Sian Hwa menganggap Guntur Alam memplagiasi novel Amy Tan.

Saya tidak tahu apa maksud kedua teman saya itu membicarakan kasus lama yang saya sendiri sempat mengikutinya? Apakah mereka ingin saya menguggat Guntur Alam? Bukan kah sudah ada yang melakukannya? Untuk apa saya membicarakan kasus yang lama?

Pertanyaan lainnya, apakah benar kasus Guntur itu tidak seheboh kasus Nanda? Atau penilaian "tidak heboh" itu hanya prasangka saja? Sekarang kita coba menjawabnya dengan sebuah parameter yang lebih jelas. Sampai saya menulis catatan ini, postingan Mbak Erin sudah dibagikan sebanyak 111 kali, dikomentari 141 kali, dan disukai 391 orang. Sementara itu, postingan Sian Hwa dibagikan sebanyak 246 kali, dikomentari 43 kali, dan disukai 80 orang. Jika kita perhatikan angka-angka tersebut, kedua kasus itu sama hebohnya. 

Kasus yang menimpa Nanda menurut saya tidak sama dengan kasus Guntur. Apa yang dilakukan oleh Guntur masih diperdebatkan. Ada yang menganggapnya plagiasi dan ada yang menganggapnya terinspirasi. Saya sendiri, saat itu, tidak berani memberikan penilaian karena saya belum membaca novel Amy Tan dan belum membaca cerpen Guntur yang diduga hasil plagiasi. Sementara itu, apa yang dilakukan Nanda hanya copy-paste cerpen Renny dan mengganti judul serta nama penulisnya. Siapa pun bisa langsung menilai bahwa cerpen tersebut hasil plagiasi. Tidak ada perdebatan soal itu. Perbedaan lainnya, Guntur digugat oleh Sian Hwa, bukan Amy Tan. Sementara itu, Nanda langsung digugat oleh penulis cerpen aslinya dan redaktur mantan majalah Story yang memuat cerpen Renny.

Jauh sebelum Sian Hwa menggugat Guntur Alam, saya sendiri pernah menggugat cerpen Mahmudi Arif D. Cerpen itu berjudul "Dongeng Penunggu Surau". Saya membaca cerpen itu di buku Air Kaldera karya Joni Ariadinata. Kalau Nanda masih berusaha menyamarkan hasil plagiasinya dengan mengganti judul cerpen aslinya, Arif tidak mengubah judul cerpen itu sama sekali.

Saya sempat bertanya kepada Joni Ariadinata, apakah ia memiliki nama pena Mahmudi Arif D? Ia menjawab tidak. Saya mengabarkan plagiasi yang dilakukan Mahmudi itu kepada Mas Joni, tapi Mas Joni hanya menanggapinya sebagai hal yang biasa. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa cerpennya cukup berhasil sehingga ada yang memplagiasinya. Komentar semacam ini sempat saya baca juga di postingan Renny. Kemudian, saya mengirimkan link cerpen Arif yang berjudul "Dongeng Penunggu Surau" terbit di Batam Pos, 8 Juli 2007 kepada Mas Joni. Penulis asal Jogja itu sempat terkejut. Namun, tidak ada reaksi apa pun setelah keterkejutan itu.

Saya sempat juga mengirim pesan ke sriti.com (saya baca cerpen Arif di web tersebut). Saya menanyakan, apakah Arif nama lain Joni Admin sriti.com sempat menanggapi pesan saya tersebut sebagaimana screenshot di bawah ini. Sayangnya, setelah tanggapan itu, tidak ada klarifikasi lain. 



Waktu itu, FB dan Twiter belum ada. Jadi, saya menggunakan sarana mailinglist atau grup email. Posting saya tersebut masih bisa ditelusuri hingga sekarang. Sila klik link ini http://sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.com/sastra-pembebasan-Sebuah-PLAGIAT-Gila-gilaan-atau-td13909.html. Tak ada yang menanggapi posting saya kecuali Yonathan Rahardjo dengan tanggapan yang jujur saya tidak paham apa maksudnya.



Ketika saya posting di grup Komunitas Pasar Buku, ada tanggapan dari akun Buku Baru. Tanggapannya bisa kamu baca di screenshot di bawah ini atau link ini https://beta.groups.yahoo.com/neo/groups/pasarbuku/conversations/topics/43906.



Sampai hari ini, kasus cerpen "Dongeng Penunggu Surau" tidak pernah diketahui pasti. Apakah cerpen yang dimuat di Batam Pos 8 Juli 2007 itu merupakan kasus plagiasi yang dilakukan oleh Mahmud Arif D atau kesalahan pencantuman nama penulis oleh redaksi Batam Pos? Hanya Allah, redaktur Batam Pos (th. 2007), dan Arif saja yang mengetahuinya. Sampai hari ini, saya berusaha untuk berbaik sangka, pemunculan cerpen "Dongeng Penunggu Surau" di Batam Pos dengan nama penulis Mahmudi Arif D. hanyalah kesalahan teknis saja (semoga demikian).

Cerpen Mahmudi Arif D. bisa kamu lihat di bawah ini.

http://www.slideshare.net/andrigoodwood/dongeng-penunggu-surau-mahmudi-arif-d
Cerpen Joni Ariadinata bisa kamu lihat di sini.

http://simanuda.blogspot.co.id/2014/11/dongeng-penunggu-surau.html
Dari berbagai kasus plagiasi, saya menyimpulkan. Plagiasi akan terus terjadi, selama penulis tidak pernah mengambil tindakan hukum. Saya sendiri agak meragukan ada penulis yang mau melakukannya. Kebanyakan penulis malas bersentuhan dengan pengadilan. Selain itu, sebagai penulis, rasanya mereka tidak akan tega membawa penulis lainnya ke meja hijau. Jika saya dalam posisi penulis yang diplagiasi, boleh jadi, saya memilih untuk tidak membawanya ke meja hijau. Apa boleh buat, saya memang tidak tegaan orangnya.
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

5 ulasan:

  1. Tentang cerpen GA yang Lilin Merah itu murni MUTILASI karya bukan terinspirasi, Pak Denny. Banyak rekan penulis kawakan mengakui lewat pesan pribadi, tapi memilih bungkam karena merasa tidak enak (akibat kenal dan berteman). Teman-teman juga sudah memperingatkan saya kalau GA punya relasi yang cukup banyak. Saya berpikir, siapa sih saya, bukan penulis, hanya pembaca. Tapi, karena saya baca, saya harus bersuara. Dan, mata kuliah saya adalah Jurnalistik. Saya tidak mengincar jumlah likes atau dislike, karena saya blogger. Sampai duapuluh tahun ke depan, tulisan saya yang berisi gugatan itu akan tetap terekam dalam mesin pencari internet, jadi orang akan masih bisa menemukannya.

    Tapi, cerpen Lilin Merah tersebut, menurut saya memang memutilasi karya orang, dan sebagian rekan menganggap cerpen tersebut adalah miniatur kecil novel menjadi cerpen tanpa menyebutkan sumbernya. Itu sudah termasuk plagiasi. Dalam catatan saya sudah dijelaskan berikut referensi pendukung. Dan, saya menemui cerpen GA yang lolos ke dalam cerpen terbaik Kompas juga memutilasi artikel dari grup budaya Tionghoa. Jika anda gunakan copyscape atau software tertentu untuk cek cerpen tersebut, akan ditemui sumbernya. Lain ceritanya kalau cerpen tersebut hanya di media cetak.

    Saya disarankan membuat catatan di FB oleh rekan-rekan saya, terutama beberapa rekan yang saya kenal waktu masih rajin menyambangi grup PEDAS, satu-satunya grup yang saya ikuti secara aktif. Masalah plagiasi sudah terlalu sering. Banyak rekan yang bersikap tegas harus kenyang dituding sebagai penindas. Padahal sikap ini salah dimengerti. Saat sanksi hukum pidana dan perdata tidak bisa dilayangkan, maka sanksi sosial harus diberlakukan.

    Kasus GA hanya kebetulan saja. Saya pembaca setia karya fiksi bernuansa budaya China, terutama dari kaum keturunan yang berada di berbagai negara, termasuk Indonesia. Setiap orang di setiap negara melahirkan gaya bertutur dan berpikir yang berbeda dengan nenek moyangnya. Itu yang menarik. Jadi, 'suara' tulisan Amy Tan sebagai orang China-Amerika dan 'suara' tulisan Nio Joe Lan sebagai orang China-Indonesia tentu berbeda. Jelasnya, anda bisa lihat buku Claudia Salmon, lalu edisi KPG Sastra Melayu - Tionghoa. Itu sebabnya saya dukung sekali orang membaca novel Joy Luck Club milik Amy Tan dan bandingkan dengan cerpen milik GA.

    Saran saya, tulisan anda ini bisa dibagikan ke banyak grup blogger dan komunitas sastra. Pasti jumlah viewer blog anda akan jauh lebih banyak daripada jumlah like catatan saya.

    Salam.

    BalasPadam
    Balasan
    1. saya tidak sedang menilai tulisan Anda. saya juga tidak berani menilai tulisan Guntur karena saya sampai hari ini belum baca cerpennya dan novel Amy Tan. saya bilang, ada perbedaan pendapat saat itu. dan faktanya memang begitu.

      ada yg menganggap kasus Guntur kurang diblow up, dan menganggap kasus plagiasi cerpen2 story terlalu diblow up. wacanyanya berubah jadi senior-junior. seolah-olah para penulis senior enggan mengomentari kasus guntur sehingga kasusnya sepi. sementara nanda penulis junior, jadi para senior langsung berkomentar.

      tulisan saya ini ingin menunjukkan bahwa baik kasus guntur dan kausus nanda sama-sama heboh. itu bisa dilihat dari jumlah like, share, dan komen.

      selain itu, terlalu gegabah menyebut Guntur senior.

      kasus yg terjadi saat ini berbeda. anggaplah saya sepakat dg anda guntur melakukan plagiasi, tapi perlu usaha untuk menunjukkan hasil plagiasinya seperti yg anda lakukan. kalau saya sudah membaca karya guntur dan amy tan, tentu saya akan membuat analisis sastra banding.

      sedangkan kasus nanda terlalu mudah menyepakati karena yg ia lakukan hanya copy paste. tak perlu usaha keras untuk menilainya.

      tahun 2007, penulis junior melakukan copy paste cerpen penulis senior, dan tak ada yg bicara, selain saya sebagaimana anda bisa baca di sini.

      jadi, soal plagiasi bukan soal senior-junior, melainkan soal kejahatan intelektual yg akan terus terjadi.

      terima kasih sarannya, tapi saya tidak berminat :)

      Padam
    2. Terima kasih untuk balasannya. Justru menurut saya, sementara ini, kegunaan blog bisa dimaksimalkan supaya tindakan plagiasi tidak dilupakan. Jadi, daripada hanya berkomentar di akun sosmed, saya mendorong sekali banyak tulisan kritis tentang topik tersebut dimuat dalam berbagai blog.

      Optimalisasi ini akan berguna bagi kelangsungan pengarang dunia maya. Mulai dari software copyscape dan proteksi dari plagiasi. Bahkan artikel yang dibolak-balik kalimatnya bisa terdeteksi ada tidaknya artikel serupa.

      Kasus N lebih populer daripada GA, saya rasa itu pengaruh konten. Sama saja kalau misalnya saya bilang pengarang Kambing Jantan melakukan plagiasi. Responnya bisa heboh, juga bisa melempem. :) Yang penting tidak dilupakan.

      Salam dan sukses.

      Padam
  2. Jadi ingin memperdalam ilmu tentang plagiasi terlebih dahulu... Sepertinya, orang yang bicara ttg plagiasi tidak selalu memiliki definisi operasional dan kriteria yang sama tentang plagiasi

    BalasPadam
    Balasan
    1. apa yg dilakukan nanda tidak bisa diperdebatkan lagi. jelas, itu plagiasi. namun, yg dilakukan guntur masih terbuka pintu perdebatan. apakah guntur hanya terpengaruh karya amy tan, menyadur karya amy tan, atau menjiplak karya amy tan. kalau analisis shin hwa benar, saya cendrung menyebutnya saduran, seperti yg chairil lakukan. masalahnya, guntur tidak menyebutkan karyanya sebagai saduran. di situ letak persoalan hukumnya. ia sangat rentan dituding plagiator.

      Padam

Tinggalkan jejak sobat di sini