Novel Denny Prabowo & Hafi Zha
Fajar melangkah gontai, menyusuri lorong sekolah. Senja, adiknya yang duduk di bangku kelas 4 sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Kedua kakak beradik itu memang menuntut ilmu di sekolah yang sama, SD Cahaya. Fajar tercatat sebagai siswa kelas 6 di sekolah itu.
“Mas Fajar kelihatannya lesu banget,” tegur Senja, “ada apa, sih? Dimarahin Bu Guru, ya?”
Fajar tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia berlalu begitu saja. Senja keheranan dengan sikap kakaknya. Biasanya Fajar selalu ceria. Ada apa, ya? Mata bulat Senja menyipit. Memandangi punggung Fajar yang kian menjauh.
“Mas Fajar, tunggu!” Senja berlari menyusul Fajar. Ujung kerudung putihnya bergoyang-goyang. Dia berusaha menjajari langkah Fajar. Memandangi wajah kakaknya yang tertunduk lesu.
Fajar tak memperhatikan Senja. Dia terus saja berjalan. Kakak beradik itu memang selalu pulang bersama. Rumah mereka tidak jauh dari sekolahan. Letaknya di sebuah perkampungan yang masih banyak ditumbuhi pepohonan, di belakang sebuah perumahan real estate.
“Mas Fajar nggak bisa menyelesaikan soal ujian, ya?” tanya Senja, penasaran dengan sikap diam kakaknya.
Pada tepi sebuah danau, di bawah sebatang pohon rindang, Fajar menghentikan langkahnya. Dia mengambil kerikil yang tergeletak di tanah. Mengayunkan tangannya ke belakang, sebelum melontarkan kerikil di genggamannya ke tengah danau. Suiiiing… plung! Kerikil itu jatuh di atas permukaan air danau, sebelum tenggelam. Permukaan air danau beriak membentuk lingkaran-lingkaran menuju ke tepian.
Fajar menghempaskan tubuhnya di tanah. Melempari danau dengan kerikil. Senja mengambil tempat duduk di sisinya. Dia semakin yakin kalau kakaknya itu sedang kesal. Karena begitu kebiasaan Fajar jika sedang kesal; melempar kerikil ke tengah danau. Dan Senja tak ingin mengganggu kakaknya. Dia malah ikut-ikutan melempar kerikil ke tengah danau.
“Ayah kapan pulang, ya?” Tiba-tiba saja Fajar bersuara.
“Mas Fajar kangen, ya, sama Ayah?”
Fajar menjawab dengan anggukan.
“Aku juga kangen sama Ayah…” Senja menjatuhkan kepalanya ke bahu Fajar. Fajar merangkul pundak adiknya.
“Aku sedih,” kata Fajar, ”tadi teman-teman di kelas menceritakan rencana liburan bersama keluarganya. Ada yang berlibur ke Puncak, pergi ke pantai, bahkan Rio dan keluarganya akan berlibur ke Disneyland! Sementara kita… kapan Ayah pulang saja kita nggak tahu.”
“Sudah lama juga ya, Mas, kita sekeluarga nggak pergi berlibur.”
Lalu keduanya mengambil kerikil. Mengayunkan tangan bersamaan. Melepaskan kerikil pada hitungan ketiga. Kerikil melayang di udara. Jatuh ke permukaan air danau.
Rumah mereka memang berada tak jauh dari danau buatan itu. Danau yang sering digunakan sebagai lokasi syuting film atau sinetron, karena memang bagian dari wilayah Studio Alam milik TVRI.
Lamat-lamat terdengar suara azan. Sudah masuk waktu Zuhur. Kedua kakak beradik itu beranjak dari tempatnya duduk. Melangkah pulang. Mereka takut kalau Bunda akan cemas. Karena lewat waktu Zuhur kedua anaknya belum kembali ke rumah.
Biasanya, Bunda selalu pulang dari mengajar bahasa Indonesia di SMU 3 sebelum kedua anaknya tiba di rumah. Bunda tak pernah terlambat.
Kalau ada jadwal mengajar siang hari, Bunda selalu menyempatkan pulang dulu, untuk makan siang dan salat Zuhur bersama Fajar dan Senja, juga Ayah kalau sedang ada di rumah. SMU tempat Bunda mengajar memang tak jauh juga dari rumah mereka.
Fajar dan Senja berjalan saling bergandengan. Meski kedua mulut mereka terdiam, sesungguhnya hati mereka tengah bernyanyi. Ya, hati mereka sedang menyanyikan lagu kerinduan. Kerinduan pada Ayah, yang sudah lama tidak pulang ke rumah karena pekerjaannya.
Tanpa disadari, kedua pasang mata mereka meneteskan air mata. Mengalir di kedua pipi mereka. Air mata kerinduan.
Cerita selanjutnya: Fajar Menulis Cerita
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini