(deesouvenirs.blogspot.co.id) |
Suatu hari, Ayah mematung di depan celengan itu. Saat aku tanya, ada apa? Ayah menjawab, "Sudah penuh." Wajahnya begitu murung ketika mengatakan hal itu. Aku pikir, Ayah butuh celengan baru, celengan yang sama dengan miliknya itu. Namun, ia tak mau mengatakannya kepadaku. Ayah memang tidak pernah meminta sesuatu secara terbuka.
Setelah seharian keliling di pasar gerabah, aku menemukan celengan dari tanah merah yang serupa dengan milik ayahku. Harganya murah. Jadi, aku beli beberapa celengan untuk cadangan. Ayah bisa menabung dalam celengan-celengan itu sepuasnya.
Begitu sampai di rumah, aku langsung menemui Ayah di kamarnya untuk memberikan celengan-celengan itu. Ayah terbaring di ranjang dan ibu tersedi di sisinya. Mengapa Ibu menangis? "Ayahmu telah menabungkan selurus usianya ke dalam celengannya," kata ibuku. Aku segera mencari celengan Ayah. "Percuma," kata Ibu, "kau tak akan menemukannya."
Ibu berdiri, lalu berjalan ke lemari. Ia membuka lemari perlahan, mengambil sebuah celengang yang sama dengan celengan Ayah, tapi terlihat lebih baru. "Ini celenganmu," kata Ibu seraya menyerahkan celengan itu kepadaku. "Celengan itu tiba-tiba saja ada di rumah kita, saat Ibu melahirkanmu." Tanganku gemetar. Celengan itu terjatuh. Prang!
Bunga, 24/03/2014
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini