Memoar Seorang Pecandu

Cerpen Denny Prabowo


ilustrasi (dokumentasi pribadi)


3 April 2005
Ombak berkejaran ke tepian pantai. Sebagian pecah menghantam karang. Menimbulkan gemuruh. Senja baru saja mementaskan tarian perpisahannya, mengubah langit menjadi keemasan. Berdenyar­-denyar. Bagai selembar kain sutra raksasa yang bergetar diembus angin.
Aku duduk di tepian pantai melepas pandang jauh ke tengah lautan.
Aku tahu dia masih saja mengintaiku.
Ah, kematian ... kematian adalah anugerah yang tak dikehendaki. Sebuah akhir yang mula. Sebuah mula segala.

16 Januari 2005
Malam yang jernih. Gemintang bagai berlian yang ditebarkan di atas selembar kain hitam. Berkilau. Bulan benderang, sempurna memantulkan cahaya mentari. Tak sejumput awan pun yang menyelimutinya. 00:00:00 WIB. Di salah satu sudut kota Depok yang mulai terlelap. Keheningan pecah. Suara knalpot menyulut bising. Serupa mulut rombeng perempuan­-perempuan malam yang berteriak-teriak di pinggiran jalan menawarkan kehormata.
Aku duduk di atas RX King hitam. JL Ir H Juanda sangat lengang. Hanya satu dua mobil yang melintas. Selebihnya motor-motor berknalpot rombeng. Melesat bagai anak panah yang dilepaskan Arjuna. Satu dua pasang aksi dengan mengangkat roda depan motornya. Aku tak mau kalah aksi. Kukemudikan stang motorku dengan kedua kakiku. Kedua tanganku merentang bagai sayap penyeimbang. Pada saat seperti itu, aku bisa mencium aroma napasnya.
Marlend. Joki dari genk Ronksokan itu menyejajarkan Suzuki Satria-nya di sebelahku. Di belakang kami motor-motor berjajar rapi. Meraung-raung. Pengemudinya berteriak-teriak memberi semangat. Membakar adrenalin. Motorku dan Marlend yang berada paling depan meloncat-loncat tak sabar. Bagai kuda pacu yang tak sabar menunggu pintu dibuka.
Seorang gadis berjalan ke muka. Rambutnya yang panjang berterbangan diembus angin malam. Sebelah tangannya mengacung ke atas, menggenggam sapu tangan warna merah darah.
“Siapa lebih dulu menyentuh zebra cross di lampu merah ujung jalan, dia yang menjadi pemenangnya!”Gadis itu menjelaskan peraturan perlombaan.
Pemuda kurus di sebelahku melirik sinis ke arahku. Aku hanya tertawa. Detik-detik mendebarkan. Gadis yang menggenggam sapu tangan warna merah darah mulai menghitung mundur.
“Tiga ... dua ... satu!”dia melepas sapu tangannya.
Aku melepas kopling motorku. Mengentak. Roda depannya terangkat ke udara sebelum melesat cepat meninggalkan Marlend beberapa meter di belakang. Dari spion motorku, kulihat pemuda kurus itu berusaha mencari celah untuk mendahuluiku. Kugeber kecepatan motorku. Marlen berusaha mengambil dari kiri. Segera kututup. Tak kuberi celah baginya. Di belakang kami, puluhan motor berkecepatan tinggi membuntuti. Marlend menemukan celah. Dia berhasil mendahuluiku yang sedikit lengah. Tapi di jembatan kedua, aku berhasil menyusulnya kembali. Terjadi susul-susulan. Di tanjakan menjelang lampu merah kami sempat sejajar, sebelum aku mendahuluinya dan berhasil jadi yang pertama menyentuh zebra cross.
“Aku menang!”
Suara sirene.
“Sial!”
“Polisi!!!”

17 Januari 2005
Sepi. Rumah berlantai dua ini selalu sepi. Serupa sebuah hotel saja bagi penghuninya. Mereka baru akan pulang ke rumah hanya kalau mata mereka sudah lelah terjaga. Tidur. Hanya untuk itu penghuni di rumah ini pulang ke rumah. ltu pun tidak setiap malam mereka lakukan. Terkadang, dalam sepekan, bisa dihitung dengan sebelah jari tangan, berapa kali mereka kembali ke rumah. Selebihnya? Entah. Kami sudah tak saling peduli.
Ah, kuempaskan tubuhku di atas ranjang busa. Memandang ke langit-langit kamar. Aku tersenyum mengingat kemenanganku malam ini. Aku tertawa membayangkan wajah kecewa para polisi yang sepeda motornya terengah-­engah mengejar kami. Tak satu motor pun yang berhasil mereka kandangkan malam ini. Semuanya berhasil melarikan diri.
Telepon di ruang tengah berdering. Aku beranjak dari kamar. Bik Ani, pembantu di rumahku memberikan gagang telepon kepadaku.
“Siapa, Bik?”
“Dari rumah sakit, Den!”
Rumah sakit? Aku menerima gagang telepon dari tangannya. Bik Ani segera beringsut kembali ke kamarnya.
“Halo!”sapaku.
“Apa betul di situ rumahnya Fani?” suara berat seseorang di seberang sana.
“Betul. Saya kakaknya. Ada apa dengan adik saya, Pak?” Segenggam cemas menyelinap dalam dada.
“Adik saudara dalam keadaan kritis!”
“Ke ... kenapa adik saya, Pak?!”
“Ah, sebaiknya Anda segera kemari!”
Aku memacu sepeda motorku seperti orang yang kesetanan. Kulibas semua tikungan dengan kecepatan tinggi. Kuterobos lampu merah. Nyaris! Seorang pengendara sedan mengeluarkan kepalanya di jendela, memaki-maki.
Entah apa yang diucapkannya. Aku sudah terlalu jauh untuk mendengar semua itu.
Tepat ketika aku tiba di depan pintu UGD, tempat Fani dirawat, seorang perawat menutup wajahnya dengan selimut putih. Terlambat! Aku menyerbu masuk ke dalam. Dadaku berguncang. Kusibak kain putih yang menutup wajah adik semata wayangku yang masih duduk di bangku kelas dua SMU itu. Ah, wajah mungil itu ....
Dokter menepuk pundakku, “Maaf .... Kami sudah berusaha keras. Kondisinya sudah terlalu perah ketika dibawa ke sini. Dia mengalami pendarahan hebat akibat mencoba menggugurkan kandungannya pada seorang dukun beranak.”
“Mengandung?!”
Dokter itu mengangguk, menepuk-nepuk pundakku sebelum berlalu meninggalkanku.
Kabut berpenderan di bola mataku. Mengabur pandang. Menjelma kristal-kristal bening. Meretas. Menguntai di kedua belah pipiku. Dadaku sesak. Setangkup sesal merajam. Aku terlalu asyik dengan diriku selama ini. Aku lupa kalau aku memiliki seorang adik. Fani. Ah, dia terlalu muda untuk mengalami ini semua.
“Kenapa dia?! Kenapa bukan aku?! Kenapa bukan aku saja?!” gugatku padanya. Tak ada jawaban. Tak ada jawaban. Hanya kesunyian.

18 Januari 2005
Aku meremas gundukan tanah merah di depanku. Di dalam gundukan itu tertanam jasad adikku. Ah, kalau saja aku mau membagi sedikit waktuku untuk memerhatikannya ... Aku teringat dua malam yang lalu. Fani mencegatku di muka pintu saat aku hendak keluar rumah.
“Mas, gue mau ngomong sebentar.”
“Besok aja, ya. Gue udah telat, nih. Dari tadi teman-teman udah neleponin gue terus.”
“Tapi gue perlu ngomong sama elo, Mas. Penting!”
“Iya. Tapi gue udah nggak ada waktu lagi. Besok aja, ya. Atau ... elo ngomong aja sama Mama.”
“Mama? Dia kan lagi di Singapura, belanja untuk keperluan butiknya.”
Ponselku bergetar. “Tuh, gue udah ditelepon, nih. Elo telepon aja ke ponselnya Mama. Besok pagi baru kita bicara.”
“Tapi, Mas ...”
“Udah ya, gue cabut dulu!”
Ah, aku masih ingat bagaimana kecewanya gadis itu ... Kalau saja aku mau mendengarnya malam itu, mungkin ....
“Fani ...!!!”Seorang wanita parobaya berlari menghambur ke atas gundukan tanah basah. Meratap. Menangis. Histeris. Wanita itu ... Mama. Dia baru saja tiba dari Singapura.
Tak lama berselang, Papa tiba di tempat itu bersama asisten pribadi merangkap pacar gelapnya. Aku pernah memergoki mereka sedang bermesraan di vila kami yang ada di daerah Puncak. Aku sudah coba menceritakan hal itu pada Mama.Tapi Mama tidak terlalu menanggapinya. Atau jangan-­jangan Mama juga ... Ah, aku tak peduli!
Aku berdiri. Kupandangi satu per satu wajah kedua orang tuaku. Biar mereka merasakan api di dalam dadaku. Mega menghitam. Rinai hujan meretas dari angkasa.
“Inikah yang kalian inginkan?!” Sorot mataku tajam menghujam.
Sebelum aku membalikkan tubuh untuk meninggalkan tempat itu, sebuah suara berucap, “Yudha ....” Suara Mama getir memanggil. Aku terus melangkah di antara gundukan tanah.
“Yudha!” Kali ini suara Papa. Keras. Aku tak peduli.
Kilat menyambar dinding udara, membentuk rengkahan cahaya di angkasa yang mulai kelam. Langit bergemuruh.
Sebentar lagi hujan akan turun. Kutinggalkan pemakaman dengan perasaan hampa. Seribu sesal menggodam. Membenamkan aku ke liang kesedihan mendaaam. Kupacu RX King-ku secepat angin berembus. Tak kupedulikan aspal basah jalanan. Hujan semakin deras tercurah. Sederas airmataku yang tak hentinya mengalir. Pandanganku mengabut. Aku tak lagi peduli jalan di depanku. Aku kehilangan diriku.
“Tiiiiinnnnnn!” Suara klakson kendaraan mengembalikan kesadaranku. Lampu merah? Terlambat! Aku melibasnya. Sial!
“Ciiiittttttttttt!” Sebuah mini bus tiba-tiba saja sudah berada di depanku. Entah dari mana datangnya. Kujatuhkan motorku untuk menghindarinya. Aku terseret menyusur aspal jalan bersama motorku hingga beberapa meter. Sampai ...
“Braaaaakkkk!”
“Crrraaaassss!”
“AAAaaarrrrggghhh!”
Gelap. Pandanganku menggelap.

22 Januari 2005
Saat aku membuka mata, aku menemukan diriku berbaring di atas ranjang tidur sebuah ruangan serba putih, dengan sebelah kaki teramputasi hingga ke batas lutut!
“Tidaaaaakkkkkk!!!”
Tak kutemukan wajah kedua orang tuaku di tempat itu. Ke mana mereka?
“Mereka sedang keluar. Ada urusan pekerjaan. Sebentar pasti mereka kembali,” jawab seorang suster, berusaha menghiburku.
Kini, bukan hanya Fani milikku yang terpendam di liang kubur. Aku harus pula mengubur mimpiku menjadi seorang jawara di lintasan balap seperti Valentino Rossi. Papa dan Mama tetap saja sibuk dengan bisnisnya masing-masing. Dan lupa kalau hanya tinggal aku saja yang mereka punya. Atau ... mereka tak pernah menganggap anak-anaknya sebagai harta yang patut mereka jaga? Atau jangan-jangan malah tak pernah menganggap kami—aku dan Fani—ada?

26 Februari 2005
Aku melangkah tergesa memasuki sebuah gang yang tak dapat dilalui kendaraan di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Seorang perempuan keluar dari dalam sebuah rumah, menghampiriku.
“Jangan di sini,” bisiknya di telingaku. Melangkah menjauhi pintu rumahnya. Aku mengikuti perempuan itu hingga ke halaman belakang rumahnya.
“Berapa?”
Aku merogoh saku celanaku, menyerahkan beberapa lembar rupiah kepadanya.
“Ehm, tunggu di sana!” Perempuan itu menunjuk sebuah warung yang berdiri di depan rumah perempuan itu.
Mataku terus mengawasi ke mana perempuan kurus yang di lengannya banyak bekas luka siletan itu pergi. Marlend yang memperkenalkan aku dengan perempuan itu. Dia ‘pasien’ tetap perempuan itu. Kulihat perempuan itu masuk ke dalam sebuah rumah di ujung gang. Aku mulai gelisah. Berkali-kali aku mengusap hidungku yang basah. Pemilik warung menatapku penuh curiga. Aku membuang muka.
Tak Berapa lama perempuan kurus dengan bekas luka siletan di kedua lengannya itu kembali kepadaku. Sikapnya begitu wajar ketika menyerahkan bungkus korek api kepadaku. Aku segera menyelipkan bungkus korek api itu ke saku celanaku. Berjalan tertatih meninggalkan tempat itu.
Di dalam kamarku. Aku mengeluarkanjarum suntik dari dalam laci meja belajarku. Tubuhku mulai menggigil. Linu. Seperti ada ribuan jarum menusuk-nusuk tulangku. Segera kusuntikkan bubuk putau ke dalam aortaku, sebelum aku merasa lebih tersiksa lagi.
Ya. Beginilah aku setelah kecelakaan itu. Aku terpaksa meninggalkan kesenanganku memacu sepeda motor di arena balap liar. Dan menemukan kesenangan yang lain. Aku tak ingat bagaimana mulanya aku mulai menggunakan bubuk itu. Mungkin, sejak seorang teman di gank motorku menjengukku di rumah sakit waktu itu. Dia membakar lintingan berisi mariyuana dan menyerahkannya kepadaku. “Coba ini!”
Aku mengisap lintingan itu dalam-dalam. Semakin dalam aku mengusap, semakin dalam aku terisap ke dalam imaji semu yang ditawarkan daun-daun kering di dalam lintingan itu. Dan aku menikmatinya!
Ah, tubuhku masih saja terasa ngilu. Kembali kusuntikkan diacentil morfin ke dalam pembuluh darahku. Suntikan kedua itu segera saja menyuguhkan bayangan wajah Fani, adikku. Tapi ... siapa yang berdiri di sebelahnya itu? Kutambah dosis suntikanku. Tapi sosok itu masih saja samar. Aku penasaran. Kutambah. Dan kutambah. Terus kutambah. Sampai ... hei, dia menghampiriku!
“Kau?!?”
Tubuhku menggigil mengetahui siapa yang telah berdiri di hadapanku. Tiba-­tiba saja aku merasa begitu ketakutan. Padahal, selama ini kami begitu akrab. Aku sering merasakannya saat sedang memacu sepeda motorku di lintasan balap liar.
Kulihat Fani yang berdiri di sebelahnya melambai-lambaikan tangannya, mengajak aku serta bersama.
“Tidak, tidak, tidaaaakkkk!!!”

3 April 2005
Senja kian menua. Burung­-burung camar tergesa kembali ke sarangnya. Alhamdulillah. Kalau saja Bik Anik tidak mesuk ke dalam kamarku, dan menemukan aku menggelepar-gelapar di atas ranjang tidur dengan busa memenuhi mulutku, mungkin aku tak akan pernah bisa menikmati senja hari ini. Belum terlambat bagi dokter untuk menetralisir opioda semi seintetik yang meracuni pembuluh tubuhku. Butuh waktu berbulan-­bulan untuk melepaskan diri dari ketergantunganku akan bubuk haram itu.
Aku merasakan sentuhan ringan di pundakku. Mama. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang sudah parobaya itu mendekap hangat tubuhku.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Alhamdulillah baik, Ma.”
Mama melepaskan semua kesibukannya demi merawatku selama aku berada di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat). Dan Papa? Setelah bercerai dari Mama, dia akhirnya menikah dengan asisten pribadinya. Anehnya, setelah Mama dan Papa bercerai, kami jadi sering berkumpul bersama!
Dan dia? Ah, dia masih saja setia mengintai ke mana saja langkah kubawa. Tak perlu terburu-buru. Kita pasti akan segera bertemu. Bukankah dokter telah menyatakan aku positif mengidap HIV? Ya. Jarum-­jarum suntik itu yang telah berjasa menyusupkan virus-virus penyebab AIDS itu ke dalam pembuluh darahku.
Tapi aku masih bersyukur karena masih diberi waktu. Kelak kalau sudah sampai waktuku bertemu dengan dia,aku tak akan menggigil ketakutan. Aku akan menyambutnya dengan senyuman.
Angin menerbangkan gema azan dari menara-menara masjid. Magrib. Kami beranjak kembali ke bungalow.
“Kita berjamaah ya, Ma?” Mama mengangguk. []



Sumber: Majalah Annida No.15/XIV/16-31 Mei 2005
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini