“Anak tukang sampah! Anak tukang sampah!”
Arin berlari menjauhi kerumunan kawan-kawan sekolah. Ia tidak tahan dengan cemoohan mereka. Arin berlari sambil sesekali mengusap airmatanya. Langkahnya diayun secepat mungkin. Ia ingin segera menghilang dari pandangan kawan-kawannya. Kalau perlu menghilang untuk selamanya.
Bruk!
“Aduh!” Arin terjatuh. Ia menabrak seorang penarik gerobak.
“Kalau lari hati-hati, Nak,” nasihat penarik gerobak yang tak lain ayahnya sendiri.
Arin menatap wajah ayahnya sambil menangis sesenggukan. Matanya yang merah terlihat memendam marah.
Ayah mengulurkan tangannya, bermaksud membantu Arin berdiri. Namun Arin segera menepisnya. Ia kemudian bangkit lalu berlari sambil terus menangis. Ayah tentu saja bingung melihat sikap Arin. Ia hanya bisa mengelang-gelangkan kepala.
“Ada apa dengan Arin?” bisik hati Ayah, “tidak biasanya ia begitu.”
Sesampai di rumah, Arin langsung masuk ke dalam kamarnya. Tidak berapa lama terdengar suara tangisan dari dalam kamar itu.
Ibu beranjak dari depan mesin jahit. Ia menyusul Arin ke kamarnya. Tapi pintu kamar Arin terkunci dari dalam. Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar Arin. Putri semata wayangnya itu tidak menyahut.
“Arin,” panggil Ibu dari balik pintu, “ada apa, Nak? Buka pintu kamarnya.”
Arin tidak menyahut. Dia menutupi kepalanya dengan bantal sambil terus menangis. Tentu saja Ibu semakin khawatir. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Arin terus menangis sampai ia tertidur dan terbangun di dunia mimpi.
Arin beranjak dari tempat tidurnya, lalu keluar kamar. Perutnya terasa lapar. Ia segera menghampiri meja makan. Tidak ada makanan. Ke mana Ayah dan Ibu?
Hidung Arin mengendus bau busuk dari luar rumah. Seperti bau tumpukan sampah yang berhari-hari tidak diangkat. Bahkan tercium juga bau bangkai. Arin menutup hidungnya dengan sapu tangan.
“Hueeekkk! Kenapa bau banget?”
Arin berlari keluar rumah, bermaksud menghirup udara segar. Namun, bau busuk itu kian menjadi. Sepertinya udara sudah tercemar bau sampah. Lalat-lalat bebas beterbangan kian kemari. Ia menyaksikan tumpukan sampah menggunung di sana sini. Hampir tak ada sudut yang bebas dari tumpukan sampah.
“Arin!” panggil Rina, tetangga sebelah rumahnya, “cepat bersembunyi!”
Arin tidak dapat mendengar peringatan Rina. Suara Rina hilang ditelan suara dengungan lalat yang semakin bising.
“Arin! Lari!” teriak Rina sambil menunjuk ke angkasa.
Arin masih tak dapat mendengar suara Rina. Suara dengung itu bertambah keras dan dekat. Tapi Arin dapat mengerti maksud Rina. Arin menoleh ke angkasa. Lalat-lalat berkerumun membentuk awan hitam. Ada seekor yang berukuran sangat besar. Arin segera berlari menuju rumah Rina. Lalat-lalat itu mengejar!
Rina cepat membuka pintu rumahnya. Ia segera mengunci kembali pintu begitu Arin berhasil masuk ke dalam. Bapak Rina sibuk memukul lalat-lalat yang berhasil masuk ke dalam rumah dengan raket listrik. Ibu Rina menyemprotkan pembasmi serangga ke arah lalat-lalat itu.
“Kampung kita sudah dikuasai lalat!” tukas Rina.
“Dari mana lalat-lalat itu datang?” tanya Arin. Rina menggelengkan kepala.
“Yang pasti sejak sampah-sampah menggunung di kampung kita,” terang Pak Sidik, bapaknya Rina.
“Ayahmu mogok tak mau mengangkut sampah-sampah di kampung kita lagi,” terang Bu Sidik, “sejak itu sampah berserakan di mana-mana.”
“Mengapa Ayah tak mau menarik sampah?” tanya Arin masih dengan dada yang bedegup kencang karena ketakutan.
“Bukannya kamu yang minta ayahmu nggak lagi menarik sampah?” Rina malah balik bertanya.
“Aku?” Arin jadi bingung.
“Ya,” kata Rina, “soalnya kamu malu punya ayah tukang sampah.”
Arin menunduk. Ia merasa bersalah. Gara-gara dia, kampungnya jadi lautan sampah. Akibatnya, lalat-lalat berdatangan. Tubuh lalat-lalat itu pun jadi kian besar karena banyak makanan.
“Di mana ayahku?” tanya Arin.
“Mungkin sudah ikut mengungsi bersama yang lain,” jawab Pak Sidik.
“Mengungsi ke mana? Kenapa Arin nggak diajak?” suara Arin terdengar sedih.
“Kami tidak tahu, Arin...,” ujar Rina, lirih.
Arin menunduk sedih. Air matanya jatuh ke kedua pipi bulatnya. Rini beserta kedua orang tuanya memeluk Arin. Tapi tiba-tiba....
Brrrraaakkkkk...!!!
Mereka semua menoleh ke asal suara. Pintu rumah Arin sudah hancur. Lalat-lalat itu menyerbu masuk ke dalam rumah, menyerang Arin beserta Rini dan keluarganya.
“Tolong! Tolong! Tolong!” Arin berusaha berlari, tapi kakinya terasa berat. Ia sulit melangkah, ia hanya bisa berteriak keras, “Ayaaaaaah!”
Duk!
“Aduuuuhhh...!” Arin terjatuh dari atas tempat tidur. Waktu ia membuka mata, Ayah sudah berdiri di hadapannya. Rupanya, Ayah mendobrak pintu kamar Arin saat mendengar anaknya itu berteriak ketakutan.
“Arin kenapa?” Ayah membantu Arin yang tergeletak di lantai untuk berdiri.
“Ayaaaah!” Arin memeluk tubuh ayahnya, erat, “Lalat, Yah! Lalat-lalat menyerang kampung kita! Lalatnya besar-besar!”
“Lalat?” Kening Ayah berkerut.
“Makanya, kalau pulang sekolah bersihkan dulu badan Arin, biar nggak mimpi diserbu lalat,” nasihat Ibu.
Arin tersipu malu. Ia baru menyadari kalau ternyata ia hanya bermimpi. Arin kemudian memeluk tubuh ayah dan ibunyanya, tanpa kata-kata. Setelah itu berlari ke kamar mandi. Ayah dan Ibu tentu saja keheranan.
“Arin,” panggil Ayah, “kamu belum menjelaskan soal lalat tadi.”
Tapi Arin tak mendengarnya, ia sudah keburu asyik membasuh tubuhnya di kamar mandi.
Keesokan pagi di sekolah, teman-temannya kembali mengolok-olok Arin.
“Anak tukang sampah! Anak tukang sampah! Anak tukang sampah!”
Tapi Arin tidak marah, ia malah tersenyum. Arin teringat dengan mimpinya kemarin. Ah, kalau tak ada ayahku, rumah kalian pasti diserbu pasukan lalat, bisik hati Arin. Sayang, teman-temannya tidak ada yang tahu mimpi Arin.
“Ayahku pahlawanku!” teriak Arin ke arah teman-temannya. Mereka terdiam dan hanya bisa saling berpandangan, heran.
Selesai
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini