Sepatu Basket


Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Aneka Yess!


Har mondar-mandir di depan meja tamu. Di atas meja itu tergolek selembar amplop warna cokelat. Selepas ashar tadi seorang pria bersafari menitipkannya pada Har. Ibunya sedang tidak ada di rumah. Sejak siang tadi Ibu sibuk mengantarkan kue- kue pesanan para langganannya.

“Tolong amplop ini diberikan ke Ibu ya?

Bilang saja dari Ibu Atik, untuk melunasi kue-kue Lebaran yang dipesan Ibu Atik. Sisanya akan
diberikan Ibu Atik kalau kuenya sudah diantarkan,”

pesan pria bersafari, sebelum Volvo hitam berplat militer meninggalkan halaman rumahnya. Usaha katering ibunya memang sangat terkenal. Kebanyakan pelanggannya dari kalangan pejabat pemerintah, petinggi-petinggi militer, pengusaha, artis, dan banyak lagi. Menjelang Lebaran seperti ini, ibu kebanjiran order. Beliau bahkan sudah tidak menerima pesanan sehari menjelang puasa.

Sejak ayahnya yang seorang tentara meninggal dunia saat menjalankan tugas di Aceh, ketika jaman-jaman DOM dahulu, ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga. Kalau hanya mengandalkan pensiuan ayahnya, mana mungkin mereka hidup serba berkecukupan seperti sekarang ini: punya rumah bagus, mobil bagus, dan segala yang bagus-bagus yang hanya mungkin diangankan kalau ibunya hanya mengandalkan hidup dari uang pensiun ayahnya.Bahkan berkat usaha kateringnya dia bisa menyekolahkan Mbak Mukti dan Mas Depo ke luar negeri! Kalau lulus SMU nanti, Har akan menyusul kedua kakaknya yang sudah lebih dulu menimba ilmu di negeri Michael Jordan.

Tapi ada yang tak pernah berubah dari ibunya sejak mereka masih tinggal di mes tentara waktu ayahnya masih hidup, sampai sekarang mereka sudah tinggal di perumahan elite di kawasan Depok. Kesederhanaan! Itu yang selalu Ibu ajarkan kepada anak-anaknya. Beliau tidak suka menghambur-hamburkan uang demi yang namanya kemewahan. Meski mereka memiliki mobil, Ibu tak pernah mengijinkan Har ke sekolah diantar pak sopir.

“Kalau mau berhasil, kamu harus belajar jadi orang kecil. Nggak usah bertingkah seperti teman-temanmu yang kaya-kaya itu.” Begitu nasehat beliau waktu Har memaksa sopir keluarga mengantarnya ke sekolah. Sesungguhnya Har bisa mengerti sikap ibunya. Tapi lama-kelamaan, dia bosan juga. Sebagai anak remaja, tentunya dia ingin juga berpenampilan seperti teman-temannya di sekolah. Baju, merek ternama. Celana, beli di Singapura. Sepatu, pesan di Amerika atau Italia. Pokoknya, seperti gaya-gaya remaja yang sering menghias sampul-sampul majalah, atau artis-artis sinetron di teve-teve swasta. Up to date. Funky dan trendy. Dan ke mana-mana selalu naik mobil mewah, diantar sopir atau duduk sendiri di belakang stir. Teman-teman sekolahnya memang kebanyakan dari kalangan anak pejabat, anak pengusaha kaya, anak penyanyi tenar atau bintang sinetron ternama. Har masih memandangi amplop cokelat di atas meja. Kalau dilihat dari tebalnya, pasti uang yang ada di dalamnya cukup banyak. Kalau dia mengambilnya selembar, atau bahkan beberapa lembar saja, pasti Ibu tidak akan menyadarinya. Apalagi beliau sedang sibuk-sibuknya dengan urusan pesanan-pesanan kue Lebarannya.

Sudah lama Har mendambakan bisa memakai sepatu seperti yang dipakai legenda basket Michael Jordan atau seperti yang dipakai shooting guard asal LA Lakers, Kobe Bryant. Dia sudah bosan dengan sepatu Bata yang dibelikan ibunya saat dia masuk ke SMU. Sudah setahun lebih sepatu itu tidak diganti. Sekarang Har sudah duduk di bangku kelas dua.

Har masih ingat bagaimana komentar Sheila, yang anak seorang pengusaha perbankan, saat tanpa sengaja Har menginjak sepatu barunya yang dibelikan papanya langsung dari pabriknya di Amerika sana.

“Kalo jalan, liat-liat dong!”
“Sori?”
“Sori, sori… kalo rusak bisa ganti nggak lo?!”
Har hanya menunduk.

“Hati-hati, She… n’tar sepatu lo bisa kena tetanus diijek sama sepatu Har!” kata Ave, membuat seisi kelas menertawainya. Kalau saja tidak ingat sedang berpuasa, rasanya Har ingin sekali membuat jontor bibir si Ave saat itu juga.

Kemarin Har menagih jatah Lebarannya pada Ibu, meski Lebaran masih beberapa hari lagi.

“Tenang aja, Ibu sudah siapkan.” Ibu masuk ke dalam kamarnya. Tak berapa lama dia kembali
bersama selembar amplop putih di tangannya.

“Ibu nggak sempat membelikan. Kamu beli aja sendiri. Ingat! Nggak usah yang mahal-mahal. Yang penting awet.”

Har menerima amplop. “Tumben,” ucapnya dalam hati. Biasanya keperluan Lebarannya sudah disiapkan oleh ibunya. Dia membuka amplop pemberian ibunya.

“Cuma lima ratus ribu?!” batinnya.

“Yah.. mana cukup, Bu…”

“Lima ratus ribu nggak cukup?! Biasanya kalo Ibu membelikan kamu baju, nggak sampai sebanyak itu.”

“Iya. Tapi Har mau beli sepatu juga, Bu.”

“Masa, lima ratus ribu nggak cukup buat beli baju dan sepatu. Memangnya kamu mau beli sepatu yang kayak apa sih?”
“Har mau beli sepatu basket.”
“Emangnya kamu bisa main basket?”
“Ya nggak sih. Tapi nggak ada salahnya kan Har pakai sepatu basket ke sekolah?”

“Memangnya berapa harga sepatu yang mau kamu beli?”

“Ng… nggak sampe satu juta kok, Bu.”

“Satu juta?!”

“I... iya, Bu. Ibu mau nambahin kan?”

“Nggak ada! Itu namanya pemborosan. Beli sepatu kok mahal-mahal. Nanti juga diinjak-injak
juga.”

“Yah, Ibu… masa, Har harus beli sepatu Bata lagi? Malu dong sama teman-teman, Bu.”“Kalo kamu nggak naik kelas, baru kamu boleh malu. Masa, gara-gara pakai sepatu Bata kamu malu? Nggak usah bertingkah yang macem-macem deh. Atau kamu mau Ibu belikan septu basket, tapi kamu nggak usah kuliah?”

“Mana bisa begitu, Bu.”

“Ya bisa aja. Orang Ibu yang punya uang. Pilih mana?”

Har tak bisa berkata-kata. Percuma. Dia tak akan pernah menang berdebat dengan ibunya. Lagi-lagi wajah Sheila terbayang-bayang di benaknya. Dia masih ingat bagaimana reaksi gadis mungil yang sombong itu waktu sepatu barunya terijak olehnya. Belum lagi tampang si Ave waktu melontarkan ejekan kepadanya.

Ah… Har hanya bisa tertunduk lemas saat itu.

Semakin lama dipandang, amplop berisi uang di atas meja tamu itu, semakin tampak mempesona.
Dengan beberapa lembar uang di dalamnya, Har sudah bisa mewujudkan impiannya memiliki sepatu basket seperti yang dipakai Michael Jordan atau Kobe Bryant.

Tapi kalau dia membeli sepatu yang harganya selangit itu, pasti Ibu akan bertanya dari mana Har mendapatkan tambahan uang. Apa yang nanti harus dia katakan? Ah, kalau Ibu tidak melihat sepatu itu, tentu dia tak perlu menyiapkan alasan apa pun, selama dia bisa menyembunyikan sepatu itu dari pandangan mata Ibu! Nanti, kalau dia sudah bisa mengembalikan uang yang dipakainya pada Ibu, baru dia mengatakan yang sebenarnya pada Ibu.

“Pasti Ibu tak akan marah saat itu,” begitu pikir Har. Akhirnya Har mengambil lima lembar seratus ribuan dari dalam amplop cokelat yang seharusnya dia berikan kepada Ibu. Tapi dia kembali ragu.

“Bagaimana kalau nanti Ibu menanyakan ‘jatah Lebaran’ yang diberikannya?” Har memutar otaknya.

“Aha! Kukatakan saja pada Ibu bahwa uang itu kutabung dulu sampai aku bisa mengumpulkan kekurangannya untuk beli sepatu basket. Yes! Lebaran besok aku sudah bisa memakai sepatu basket. Sheila pasti tak akan memandang hina kepadaku lagi. Dan Ave… akan kubungkam mulutnya yang suka mengejek itu. Lihat saja nanti!”


Ba’da megrib. Selepas menyantap hidangan buka puasa terakhir, Har tampak sudah rapi dengan kaos oblong, celana jeans, dan tentu saja sepatu Bata-nya. Malam ini dia akan pergi ke Mal Depok untuk membeli sepatu basket. Dia belum memutuskan apakah akan membeli sepatu seperti yang dipakai Michael Jordan, atau seperti yang digunakan Kobe Bryant. Pokoknya salah satu dari itu! Sebenarnya Har nggak tahu-menahu soal basket.

Dia hanya sering mendengar teman-teman sekolahnya membicarakan kedua pemain itu. Dia hanya tahu sepatu yang dipakai kedua pemain itu bagus dan digemari oleh teman-temannya. Di sekolahnya, SMU Favorit, olahraga basket memang sangat digemari. Jadi, meski tak ada lagi stasiun TV yang menayangkan pertandingan NBA lagi, style basket masih jadi trend di lingkungan sekolahnya.

Tapi setibanya di Mal Depok, Har malah jadi bingung sendiri. Begitu banyak orang yang berbelanja di tempat itu. Melihat lautan manusia sebanyak itu, kepala Har jadi pening. Padahal, dia belum mendapatkan apa yang dicarinya. Har memutuskan untuk keluar dari mal, mencari udara segar.

Har masuk ke dalam restoran siap saji yang berada di samping kanan bengunan mal. Buka puasa tadi dia memang belum makan. Har memesan dua dada ayam goreng dan segelas minuman soda. Lalu mengambil tempat di lantai dua, di dekat jendela. Dari tempatnya, dia bisa melihat hiruk-pikuk orang-orang di bawah sana, yang semakin malam semakin bertambah jumlahnya!

Tiba-tiba matanya tertumbuk sesosok tubuh kumal yang tengah tertidur di depan tangga masuk mal. Mungkin sudah sejak tadi siang dia berada di situ. Mengharap selembar-dua lembar rupiah dari tangan-tangan orang berhati dermawan. Karena terlalu banyak orang, waktu keluar dari mal tadi, Har tidak melihat pemuda itu duduk di sana.

Pemuda seusianya itu tampak letih. Matanya terpejam. Sebuah topi jerami tergeletak di depannya. Beberapa orang yang lalu-lalang melemparkan uang ke dalam topinya.

Har menghampiri pemuda itu. Untuk beberapa saat dia mematung. Ragu. Lalu seperti ada yang menggerakkan tangannya. Dia mengutip selembar ratusan ribu dari dalam dompetnya.

“Empat ratus ribu kurasa cukup buatku membeli baju baru dan sepatu Bata....” Har tertawa dalan hatinya.

“Biarlah aku nggak jadi membeli sepatu basket. Lima ratus ribu yang aku pinjam tanpa sepengatahuan Ibu lebih baik kukembalika saja.” Har melemparkan uang seratus ribu ke dalam topi jerami milik pemuda peminta-minta itu. Ia menepuk pundak pemuda itu, sebelum melangkah pergi.
Pemuda peminta-minta itu terjaga karena tepukan di pundaknya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari tahu siapa yang sudah membangunkan tidurnya. Tiba-tiba dia teringat dengan topi jeraminya.

“Sudah berapa ya uang yang ada di dalamnya?” gumamnya dalam hati. Pemuda itu memungut selembar ratusan ribu yang ada di dalam topi jeraminya. Dia meneliti uang itu. “Asli!” teriaknya dalam hati.

“U... uang… uang! Siapa orang baik hati itu? Alhamdulillah....” pemuda itu berucap syukur berkali-kali. “Mungkin seorang malaikat yang meletakkannya di sana.” Begitu pikir pemuda itu, yang untuk berjalan harus menggunakan kedua tangannya, karena dia tidak memiliki sepasang kaki. Kedua kakinya teramputasi hingga nyaris sebatas pangkal pahanya!

Setiba di rumah, Har membuka kotak sepatu yang baru dibelinya. Dia mencoba mengenakan sepatu barunya. Bukan sepatu basket, memang. Bukan juga sepatu Bata seperti miliknya. Har membeli sepatu made in Cibaduyut yang terkenal tahan lama itu. Biar awet!

“Gak jadi beli sepatu basket, Har?” ibunya menyindir.

“Ah, Ibu…” Har tersipu malu, “Har emang pernah bersedih karena gak punya sepatu basket seperti teman-teman Har, sampai… Har bertemu seorang yang tidak memiliki kaki!”

Ibu tersenyum dan membelai kepala anak semata wayangnya.

Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini