Melly

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di Jawa Pos 02/03/2008

Seketika mata Masayu membuka. Lewat pukul sembilan malam ketika lubang pernafasaannya mencium aroma dari daging yang terbakar. Matanya membelalak menyaksikan api merambat cepat. Dia merasakan panas di sekujur tubuhnya.
***
Pernahkah dalam hidupmu, kau merasakan kebencian yang teramat hebat? Sehingga apa pun yang ada di kepalamu selalu tentang bagaimana cara melampiaskannya?

Kami hanya dua gadis lugu yang tak pernah tahu arti membenci. Sebelum perceraian Mami dan Papi menyadarkan kami akan arti memiliki. Kami baru menyadari kalau selama ini kami tak pernah benar-benar memiliki Mami. Mungkin juga begitu yang dirasakan Papi, sehingga dia lebih memilih berpisah dengan Mami daripada hidup bersama tetapi tidak merasa memiliki.

Namanya Melly. Tubuhnya tak lebih dari dua puluh centi. Bulunya kuning pudar dimakan usia. Hidungnya bulat berwarna cokelat tua. Moncongnya putih gading. Kau pasti menduga kalau Melly seekor binatang piaraan? Hampir tepat. Dia memang menyerupai binatang. Tapi bukan binatang. Karena dia tidak bernyawa. Dia hanya sebuah boneka. Boneka beruang kepunyaan Mami. Tapi, meski hanya sebuah boneka beruang, di mata Mami, Melly lebih manusia dari manusia. Sehingga ia harus diperlakukan dengan istimewa. Sampai-sampai Mami lupa kalau dia memiliki dua orang putri berusia 13 dan 10 tahun. Dua orang putri bernama Bening dan Rani --kami-- yang lebih butuh perlakuan istimewa darinya.

Kapan persisnya boneka itu hadir dalam kehidupan Mami, kami berdua tidak mengetahui. Bahkan Papi pun tidak. Menurut Papi, Melly sudah ada sejak pertama Papi mengenal Mami, saat mereka seusia kami. Tempat tinggal mereka memang saling berhadapan ketika itu.

Mami tak pernah suka jika kami bertanya soal Melly. "Kalian tidak perlu tahu." Begitu. Selalu. Kalimat yang keluar dari mulut Mami. Dan, kami harus diam kalau tak mau melihat mulut Mami mengeluarkan api, yang bisa membakar gendang telinga. Setelah itu, Mami biasanya akan mengunci diri di dalam perpustakaan yang menjadi ruang kerjanya. Atau pergi ke kafe berdiskusi dengan teman-temannya sesama penulis.

Sejak buku perdana yang ditulis Mami dicetak berulang-ulang oleh perusahaan yang menerbitkannya, Mami semakin jarang di rumah. Ada saja undangan yang memintanya menjadi pembicara dalam seminar sastra. Rutinitas diskusi dengan teman-temannya sesama penulis di kafe menjadi kian bertambah. Hampir bisa dihitung berapa kali dalam satu minggu Mami menginjakkan kaki di lantai rumahnya. Kalaupun Mami terpaksa harus di rumah, dia lebih suka mengunci diri di dalam ruang kerjanya.

Belakangan kesibukan Mami bertambah. Dia tak hanya menulis cerpen atau novel saja, tetapi juga skenario film. Tak cukup sampai di situ. Mami juga bertindak sebagai sutradara dari film yang diproduserinya sendiri itu. Sebagai buah dari perkawinan seorang aktris dengan sutradara ternama pada eranya, Mami mewarisi darah sebagai pembuat film. Dan itu yang sedang coba dibuktikannya dengan memproduksi film yang diangkat dari novel karyanya. Novel dengan nama tokoh yang sama dengan nama panggilannya ketika kecil.

Tak tersisa lagi waktu untuk mengurus kami serta Papi. Sampai kemudian Papi memilih hidup berpisah dari Mami. Semula ia ingin membawa kami serta. Tetapi, Mami tak mengizinkannya. Karena sebagai perempuan yang melahirkan kami, dia merasa lebih berhak untuk memiliki, walau pada kenyataannya kami tak pernah merasa menjadi miliknya. Kami tak lebih hanya boneka yang menghiasi rak pajang di rumah Mami.

Tapi tidak dengan Melly. Dia selalu ada di dekat Mami. Setiap saat. Menjadi bayangan. Dia akan menghiasi meja kerja Mami, ketika ia sedang mengetik cerita di dalam perpustakaan sekaligus ruang kerjanya. Jika Mami pergi, Melly tak pernah tertinggal, dia akan menghuni tas Mami. Bahkan ketika mandi pun Mami sering pula mengajaknya berendam dalam bathtub.

Saat Mami naik ke ranjang untuk istirahat pada siang atau malam hari, Melly selalu menyertai. Padahal, sejak kami masih bayi, belum pernah kami tidur dikeloni Mami. Kami dibuatkan kamar sendiri. Hanya Papi yang sesekali membacakan buku cerita sebelum kami memejamkan mata. Tapi, setelah Papi tak tinggal lagi bersama Mami, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan, jika hujan datang bersama angin kencang. Dan kilat yang menyambar-nyambar, memadamkan aliran listrik di rumah kami. Bik Inah hanya datang untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sore hari dia pulang ke tengah keluarganya, sehingga kami hanya berdua saja pada malam hari, jika Mami tak ada.

Begitulah. Kami akhirnya menyadari kalau Melly telah merebut Mami dari kami. Membuat kami mengerti betapa kami tak pernah memiliki Mami, sehingga kami merasa begitu membencinya. Dan apa yang ada di kepala kami tentang Melly, selalu mengenai bagaimana cara memisahkan Mami dari boneka beruang itu. Boneka beruang yang entah semenjak kapan menjadi bagian tak terpisahkan dari diri Mami.

"Papi lupa kapan tepatnya." Suatu kali Papi bercerita kepada kami tentang Mami kecil dan boneka beruangnya, Melly. "Yang Papi ingat, satu hari setelah keluarga Papi mendiami rumah di depan tempat tinggal Mami kalian. Untuk pertama kalinya Papi melihat Mami kalian sedang bermain sendirian di teras depan. Semula Papi pikir dia sedang berdua dengan temannya. Karena Papi mendengar dia berbicara. Tapi setelah Papi yakin tak melihat siapa pun di sana, baru Papi tahu kalau Mami sedang berbicara dengan boneka beruangnya. Belakangan Papi tahu namanya Melly. Sejak saat itu Papi merasa jatuh cinta dengan Mami kalian."

"Jadi, Melly sudah ada sejak Mami kecil?"
"Seingat Papi begitu. Dan sepertinya Melly begitu berharga. Karena siapa saja yang coba merebutnya, Mami pasti melawannya."

"Kenapa Melly begitu berharga?"
"Entahlah. Mungkin karena hanya Melly saja temannya, sebelum dia mengenal Papi. Almarhumah Oma sering meninggalkan Mami kalian sendirian di rumah untuk syuting film. Kadang sampai tiga hari tidak pulang."

"Opa?"
"Opa sama saja. Dia sibuk membuat film. Kadang berminggu-minggu tidak pulang ke rumah. Mungkin juga karena itu mereka akhirnya berpisah."

"Siapa yang berpisah?"
"Opa dan Oma."
"Seperti Papi dengan Mami?"
"Ya, seperti Papi dengan Mami."
"Lalu apa hubungannya dengan Melly?"
"Papi tak tahu persis. Tapi setelah perpisahan Opa dengan Oma, Mami tak pernah lagi terlihat main bersama Melly."
"Melly hilang?"

"Semula Mami mengira begitu. Dan kemurungan menjadi teman akrabnya selain Papi. Setahun kemudian, saat Opa sakit keras, barulah ia tahu kalau Melly ada bersama Opa. Rupanya saat meninggalkan rumah, untuk kembali pada istri pertamanya, Opa membawa serta Melly. Opa meninggal dunia sambil memeluk Melly. Konon, sejak dipisahkan dari Mami, Opa memperlakukan Melly selayaknya anak sendiri. Menggendongnya ke mana-mana. Mengajaknya bercanda. Sampai-sampai orang-orang mengira kalau Opa sudah kehilangan akal."

"Apakah Mami mengetahui soal itu?"
"Sepertinya begitu. Karena sekejap sebelum ajal menjemput Opa, Mami melihat sendiri Opa memeluk boneka beruang kesayangan Mami, sambil memanggil-manggil nama Mami."

"Bagaimana Papi mengetahuinya?"
"Karena Papi juga ada di sana. Menemani Mami. Sehingga Papi bisa melihat bagaimana haru memendar dari wajah Mami. Tapi Mami tidak menangis. Dia malah tersenyum. Melepaskan Melly dari pelukan Opa. Lalu mencium kening Opa penuh cinta. Entah apa yang bermain di dalam hatinya. Papi tak mengetahuinya. Tapi, semenjak hari itu Mami kian lekat saja dengan Melly. Keduanya seperti dua tubuh dengan satu jiwa. Dan dia semakin tak peduli apakah Oma akan pulang ke rumah setiap hari, tiga hari sekali, atau seminggu sekali untuk syuting di dalam maupun luar kota."

Begitulah. Melly menjadi bagian penting dalam sejarah hidup Mami. Mengalahkan Papi serta kami. Mami tak segan-segan membentak, bahkan sampai memukul jika ada salah satu dari kami berusaha merebut perhatiannya dari Melly dengan "menyakiti" boneka beruang itu. Ia seperti tak rela Melly disentuh oleh siapa pun. Bahkan oleh kami, anak-anaknya.

Bukan sekali dua kami coba menyingkirkan Melly dari sisi Mami. Tapi entah bagaimana, boneka itu selalu punya cara untuk kembali. Pernah kami mendapat kesempatan untuk menyingkirkan Melly. Kebetulan Mami sedang keluar kota mendapat undangan membacakan cerpen-cerpennya di sebuah seminar sastra. Pesawat yang menuju Bandara Adi Sucipto lepas landas pukul 8.15. Pukul enam tepat Mami masih berada di rumah. Saking terburu-buru dia lupa membawa Melly serta. Kesempatan ini tak kami sia-siakan. Kami segera membuang Melly ke tong sampah di dekat sekolah, jauh dari rumah.

Kami tersenyum puas. Merayakannya dengan bernyanyi-nyanyi di rumah sepanjang hari, sepulang dari sekolah. Tapi sore harinya, pintu rumah kami diketuk. Bik Inah membukakan pintu. Kau tahu siapa yang datang? Mami! Seharusnya baru besok Mami kembali dari Jogja. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, Mami tidak kembali seorang diri. Tangan kanannya memegang sebuah boneka. Boneka beruang. Si Melly! Entah bagaimana Melly bisa berada di tangannya. Tapi yang pasti, kami harus bersiap menerima akibatnya. Mami mengurung kami di kamar mandi tanpa makanan semalaman, dan baru mengeluarkan kami saat matahari menyembul di sela reranting pohon yang merimbun di pekarangan rumah.

Rupanya seorang tukang beling memungut Melly dari tong sampah. Memberikan boneka beruang itu kepada anak perempuannya. Bukan sebuah kebetulan kalau kemudian anak itu bermain-main di taman dekat rumah kami, saat Mami bersama taksi yang mengantarnya melintas di taman itu, dan melihat boneka kesayangannya ada di tangan anak perempuan itu. Pasti semua ini berkat Melly! Kami merasa ada sesuatu pada boneka itu. Seperti ada kekuatan yang berdiam di dalam dirinya.

Tapi, kali ini kami tak boleh gagal. Karena kami tak ingin Mami mengurung kami lagi di kamar mandi semalaman tanpa diberi makan. Bisa jadi kalau kali ini ketahuan lagi, Mami akan melakukan tindakan yang lebih menyakitkan dari yang kami alami waktu itu. Bukan tak mungkin dia mengusir kami. Atau bahkan membunuh kami. Sepertinya terlalu berlebihan. Tapi tak ada yang berlebihan bagi Mami. Apalagi kalau itu menyangkut Melly.

Sepanjang malam tadi Mami tak memejamkan mata. Begitulah kebiasaannya. Dia baru tertidur ketika suara azan subuh menggenta di udara. Dia hampir tak pernah bangun pada jam 7 pagi, kecuali ada hal yang tak bisa dilewatkan. Sebab itu dia memilih untuk tidak tidur saja sekalian karena takut kesiangan. Sebab pagi-pagi buta dia sudah harus meninggalkan rumah. Menuju Bandara Soekarno-Hatta. Ada undangan menghadiri seminar sastra di Samarinda. Mami juga tak lupa membawa Melly serta di dalam kopernya.

Tapi, diam-diam kami berhasil mengeluarkan Melly dari dalam koper tanpa sepengetahuan Mami. Kau tak perlu tahu bagaimana cara kami melakukannya. Karena kami percaya kau bukan seorang dungu yang menganggap kami berdua anak kecil yang bodoh yang tak mungkin melakukannya.

Begitulah. Melly akhirnya ada bersama kami. Tak ada lagi tukang beling yang akan memungutnya dari tong sampah. Tak akan ada lagi anak perempuan yang bermain-main di taman dekat rumah kami bersama boneka beruang Mami. Karena kami tak akan membuang Melly begitu saja ke tong sampah. Tapi, kami akan membakarnya. Ya, kami akan membakarnya! Bukankah kita harus belajar dari pengalaman?

Tapi, kami tidak akan membuat segalanya menjadi mudah bagi Melly. Sebelum kami membakar, kami bermaksud untuk melampiaskan kekesalan kami selama ini dengan "menyakitinya". Benar-benar membuat boneka beruang itu tersiksa karena telah membuat Mami mengabaikan kami. Dan menyebabkan perceraian kedua orang tua kami. Sepertinya bodoh mengharapkan sebuah boneka merasa tersiksa? Karena boneka adalah benda mati. Tapi, kami merasa Melly hidup. Seperti manusia. Atau makhluk selain manusia? Entahlah. Kami tak terlalu memedulikannya.

Malam hari setelah kami puas melampiaskan kebencian pada boneka beruang itu. Kami membawa Melly ke pekarangan belakang rumah. Meletakkannya di bawah rindang akasia. Lalu menyiramkan sebotol minyak tanah ke tubuh Melly. Kami berdua tersenyum-senyum sebelum melemparkan batang korek api yang menyala ke tubuh Melly. Dan, sedetik kemudian. Blar! Api menjilati boneka beruang itu!
***
Pagi itu Bening dan Rani tak segera membuka mata. Mereka terlalu mengantuk, setelah semalaman merayakan keberhasilan mereka mengenyahkan Melly. Sehingga mereka harus melewatkan berita pagi di televisi. Tentang seorang penulis perempuan yang meninggal dunia karena terbakar di dalam sebuah kamar hotel di Samarinda. ***
Rumah Cahaya Depok, 04/08/06 11:52
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini