Menafsir Mimpi dalam Dua Cerpen

Esai Denny Prabowo
dimuat di Lampung Pos, Minggu, 14 September 2008

Hampir seperempat dari kehidupan manusia dihabiskan dalam keadaan tertidur. Jika rata-rata usia manusia 60 tahun, maka 15 tahun dilaluinya dalam keadaan tertidur. Apakah itu berarti manusia telah menyia-nyiakan 15 tahun yang dilalui dalam keadaan tertidur itu?

Menurut Frued, mimpi merupakan penghubung antara kondisi bangun dan kondisi tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang untuk diungkapkan ketika manusia dalam keadaan terjaga.

Dalam teori psikoanalisisnya, Frued membagi struktur kepribadian menjadi id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, di mana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, di mana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realitas dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.[1]

Setiap saat, ego harus menjadi hakim atas pertarunan antara id dan superego. Dan sering kali id mengalami kekalahan. Sebab itu, hasrat atau keinginan-keinginan terlarang yang teredam ketika manusia dalam kondisi bangun, akan mewujud di dalam tidurnya melalui mimpi.

Dalam cerpennya yang berjudul “Mimpi” dalam antologi cerpen Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta (Depok: Lingkar Pena Publishing House, 2008), Noor H. Dee (NHD) mencoba membalikan logika mimpi. Mimpi yang semestinya masuk wilayah ‘ketaksadaran’ dibuat sebaliknya. ‘Aku’ lelaki dan ‘Aku’ perempuan di dalam cerpen NHD, menyadari ketaksadarannya: Aku tahu saat ini aku sedang bermimpi. (NHD, hlm. 41)

Di dalam cerpen itu, kedua tokoh ‘Aku’ mengalami mimpi yang sama. ‘Aku’ perempuan memberikan telinganya kepada ‘Aku’ lelaki. Ketika memberikan telinganya ‘Aku’ perempuan berkata, “Ambillah sepasang telingaku ini, sayang. Dengarlah segenap suara-suara yang aku pernah aku dengan di sepanjang perjalanan hidupku. Tentu saja suara serakmu juga tersimpan di sana. Sebab, bukankah kamu sering membisikkan kalimat sayang di telingaku?” (NHD, hlm. 41)

Namun ‘Aku’ lelaki mengingkari bahwa dirinya sering mengucapkan kata sayang kepada ‘Aku’ perempuan. Bahkan ‘Aku’ lelaki mengakui bahwa dia tak mengenal ‘Aku’ perempuan. Jadi, bagaimana mungkin dia mengucapkan kata sayang?

Pengingkaran ‘Aku’ lelaki diamini oleh ‘Aku’ perempuan yang di dalam mimpi itu bisa mendengar suara hati dari ‘Aku’ lelaki. Memang, memang kami tidak saling mengenal. Kami hanya sepasang menusia yang terperangkap di dalam dunia mimpi. (NHD, hlm. 44)

Ketika keduanya terbangun dari mimpinya, mereka terkejut karena ternyata mereka terbangun di atas ranjang yang sama. Keduanya kemudian saling bertanya-tanya bangaimana mereka bisa ada di tempat itu. Mereka merasa bahwa kamar itu bukan milik mereka berdua. Dan pertanyaan itu terjawab ketika tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. Seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun yang rambutnya dikepang dua masuk ke dalam kamar itu.

“Kenapa sih Ayah dan Ibu selalu bertengkar? Hari ini kita jadi kan ke rumah Nenek yang di Bogor?” (NHD, hlm. 48)

Akhir cerita yang mengejutkan ini, memberikan tafsiran tentang mimpi yang dialami oleh kedua tokoh ‘Aku’. Bahwa sesungguhnya, mimpi yang mereka alami merupakan realitas yang mereka ingkari.

Berbeda dengan cerpen Mimpi yang ditulis oleh NHD, dalam cerpen dengan judul yang sama, “Mimpi” dalam antologi cerpen Gres (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Putu Wijaya (PW) justru menghadirkan ketaksadaran dalam kesadaran melalui tokoh Pian. Tokoh Pian ingin sekali bermimpi makan enak di restoran. Suatu kali, Pian pergi menonton sebuah pertunjukan balet di TIM. Di tengah pertunjukan itu Pian tertidur. Pian bermimpi dijamu oleh seseorang yang seperti Idi Amin.

Waktu sadar Pian sudah tergolek di lantai. Teater Terbuka TIM sudah kosong. Lampu-lampu sudah dipadamkan. Tinggal Pian sendirian. Untuk sesaat Pian terkesima. Tetapi setelah menenangkan pikirannya, ia hampir berani menyimpulkan bahwa ia sebenarnya sedang dalam keadaan tak sadar, tetapi di alam mimpi. (PW, hlm. 40)

Setelah itu, Pian pun melakukan tindakan-tindakan yang dia inginkan, yang tak mungkin diwujudkan alam kehidupan nyata. Pian melemparkan botol Fanta ke panggung. Memanjat menara lampu, mencopot lampu-lampu follow, kemudian menjatuhkan balohnya ke bawah. Setelah itu ia naik ke atas pohon di sebelah kanan panggung, lalu dari sana ia kencing dan berak. Tak ada yang menghalanginya. Bahkan ketika Pian melompat dari atas tembok dan ngeloyor menaiki sebuah mobil yang kebetulan parkir. Pian ingin mewujudkan keinginannya yang selama ini tak terwujudkan dalam kehidupan nyata. Dia ingin makan di restoran di Pecenongan. Maka, meluncurlah ia ke sana.

Sepanjang perjalanan ke tempat itu, terjadilah huru-hara yang diakibatkan oleh tindakan Pian. Karena Pian merasa dirinya berada di alam mimpi maka dia merasa bebas untuk melakukan apa pun.

Begitulah. Apa yang dialami oleh Pian timbul karena dorongan id. Karena ia mengira berada di alam mimpi, egonya tak lagi mempertimbangkan superego. Maka, yang terjadi kemudian, Pian mengabaikan nilai-nilai superego.

Apa yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen “Mimpi” karya NHD dan PW ini sesungguhnya merupakan refleksi dari kondisi masyarakat saat ini. Realitas kehidupan yang terjadi nyaris tak bisa dibedakan dengan dunia mimpi. Di dalam cerpen “Mimpi”-nya PW membuka dengan berita tetang seorang ayah yang memakan anaknya sendiri. Ia mengaku hal itu dilakukannya di dalam mimpi. Dahulu, peristiwa ayah memakan anak kandungnya sendiri seperti dalam cerpen PW hanya mungkin terjadi di dunia mimpi. Namun kini, ‘produk’ dunia mimpi itu bisa kita dapati dalam kehidupan nyata. Lalu, manakah dalam kehidupan kita yang sesungguhnya nyata dan manakah yang sesungguhnya mimpi? Wallahua’lam bishshowab. (Denny Prabowo/tulisan ini pernah dimuat di kompas minggu)

[1] Dra Kusmawati Hatta M.pd dalam Sekilas Tetang Kepribadian Sigmund Freud dan Aplikasinya dalam Proses Bimbingan
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini