Karya sastra dari negara-negara di
Asia Tenggara setelah kemerdekaan berkembang secara sendiri-sendiri. Ikatan
yang ada di antara mereka hanyalah media pengucapannya, yaitu bahasa Indonesia
atau Melayu. Berdasarkan latar belakang tersebut, didirikanlah Majelis
Sastra Asia Tenggara (Mastera) didirikan sejak 1996. Majelis sastra tersebut
merupakan kerja sama kesusastraan antarnegara Asia Tenggara yang saat ini baru
dianggotai oleh tiga Negara pendiri, yakni Indonesia, Malaysia, dan Brunai
Darussalam. Sementara itu, Singapura menjadi negera pemerhati.
Kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan oleh Mastera bertujuan memajukan kegiatan sastra antarnegara,
khususnya di tiga negara pendiri. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
Mastera berbentuk pertemun, pemberian kuliah, pelatihan, penyusunan dan
penelitian, serta pemberian hadiah, anugerah, serta penghargaan sastra.
Kegiatan
yang bersifat pertemuan antara lain, Sidang Mastera, Musyawarah
Sekretariat, pertemuan Mastera di negara masing-masing, Seminar Antarbangsa
Kesusastraan Asia Tenggara. Kegiatan yang berbentuk kuliah yakni Kuliah
Kesusastraan Bandingan. Kegiatan yang berupa penerbitan antara lain
penerbitan Lembaran Mastera, lembaran ini disisipkan di dalam majalah-majalah
yang terbit di Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia. Selain itu, Mastera
juga mengadakan pelatihan bagi sastrawan muda yang berupa pelatihan cerpen,
puisi, drama, dan esai.
Matahari di Nusantara
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2010) merupakan antologi cerpen Mastera yang memuat 4
cerpen Brunai, 10 cerpen Indonesia, 4 cerpen Malaysia, dan 2 cerpen Singapura.
Buku ini merupakan hasil Program Penulisan Mastera: Cerpen yang diselenggarakan
tahun 2009 di Wisma Arga Mulya, Tugu, Puncak, Bogor.
Mujiningsih
menulis, “Persoalan kemanusiaan yang menjadi dasar dalam penulisan sastra
tampaknya masih menjadi hal yang paling penting dalam penulisan cerpen yang
dilakukan oleh sastrawan-sastrawan muda dari empat negara.” (hlm. ix)
Salah
satu cerpen yang termuat dalam antologi ini berjudul “Mee Ah Beng” (hlm. 1—11) karya
Mohd Hairul Azmi bin Haji Bidin, pengarang Brunai kelahiran 7 Maret 1982.
Melalui tulisan ini, penulis bermaksud menganalisis struktur cerpen tersebut
menggunakan pendekatan intrinsik.
***
Kaum strukturalis berpandangan bahwa karya sastra adalah
totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya.
Struktur karya sastra memiliki pengertian hubungan timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan
yang utuh (Nurgiantoro, 2005: 36). Analisis struktural bertujuan membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semedetil dan mendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan
makna menyeluruh (Teeuw, 1988: 135).
Mahayana menyamakan analisis struktural dengan pendekatan
intrinsik dan objektif. Karya sastra dipandang sebagai sebuah struktur yang
dibangun oleh sejumlah unsur yang berperan secara fungsional. Analisis
struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur
tersebut sebagai kesatuan struktural (2006: 244). Fananie mengatakan sebuah
karya sastra baru dianggap bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya
yang tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting, dan
bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh (2002: 76)
Stanton (dalam Nurgiantoro, 2005: 25) membedakan unsur
pembangun karya fiksi menjadi tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana
pengucapan. Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot,
dan setting. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat
dibayangkan eksistensinya dalam sebuah karya. Oleh sebab itu, ketiganya dapat
pula disebut sebagai struktur faktual. Sedangkan tema adalah sesuatu yang
menjadi dasar cerita dan sarana pengucapan sastra adalah teknik yang dipilih
pengarang untuk menyusun peristiwa dan kejadian.
Tema
menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Sedangkan Hartoko dan Rahmanto mengatakan tema merupakan gagasan dasar umum
yang menopang sebuah karya sastra dan terkandung di dalam sebuah teks sebagai
struktur semantic (Nurgiantoro, 2005: 67—68). Shiply membagi tema menjadi tema
tradisonal yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja atau sudah banyak
digunakan orang dan tema nontradisional yang menampilkan ketidaklaziman
(Nurgiantoro, 2005: 77—79).
Plot
menurut Foster adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada
adanya hubungan kausalitas. Sedangkan Stanton mengemukakan bahwa plot adalah
cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab akibat. Sementara itu, Kenny mengatakan bahwa pengarang menyusun
peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (Nurgiantoro, 2005:
113).
Tokoh
cerita (character), menurut Abrams
adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama,
yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan. (Nurgiantoro, 2005: 165). Tokoh-tokoh itu tidak saja berfungsi untuk
memainkan cerita, tetapi juga untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema
(Fananie, 2002: 86)
Latar
atau setting menurut Abrams merupakan landas tumpu yang menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiantoro, 2005: 216). Abrams lebih
lenjut mengatakan bahwa dalam karya sastra satu elemen pembentuk cerita yang
sangat penting karena dapat menentukan situasi umum sebuah karya sastra
(Fananie, 2002: 97).
Dengan
demikian, analisis struktural berusaha menguraikan unsur-unsur pembangun karya
fiksi, seperti unsur faktual (yang meliputi tokoh, setting, dan plot), tema,
dan sarana pengucapan sastra untuk melihat fungsi unsur-unsur tersebut sebagai
kesatuan struktural.
***
Sesuai
judulnya, “Mee Ah Beng” mengisahkan sebuah restoran mi. Restoran tersebut milik
Ah Beng. Lelaki berusia 6o tahun lebih itu sudah mengelola restoran minya
selama 30 tahun. Restoran itu terkenal dengan berbagai masakan mi. pelanggan
setia restoran itu datang dari berbagai tempat. Tua-muda, lelaki-perempuan,
menyukai mi di restoran itu.
Saat
matahari memuntahkan teriknya yang sudah mulai terasa, tempat duduk hampir
penuh. Suasana riuh. Orang-orang berbincang, berbual, dan bergosip. Di antara
mereka ada Tuan Haji yang duduk dekat televisi sedang tertawa. Ia memesan
martabak telur tiga dan tapau. Ah Beng pun memberitahu bahwa restorannya hanya
menjual mi. Akhirnya, Tuan Haji memesan mi goring daging tanpa sayur tida dan
dua bungus tapau. Teman-temannya yang lain pun ikut memesan.
Waktu
Ah Beng menyampaikan pesanan kepada juru masaknya, Ramli, ia diberitahu bahwa
dagingnya sudah mau habis. Ah Beng segera menugaskan Maidin untuk membeli
daging ke pasar.
Tidak
berapa lama, mi pesanan Tuan Haji pun dihidangkan di mejanya. Saat itulah,
Jenny, anak Ah Beng yang bertugas sebagai pelayan datang terlambat. Setengah
pekerja di restoran itu tidak menyukai Jenny, tapi dia anak bos. Ah Beng yang
menyuhnya bekerja di restoran itu, sementara Jenny merasa terpaksa bekerja di
tempat itu.
Melihat
Jenny yang badannya seperti Jeniffer Lopez, Tuan Haji dan teman-temannya
mendekati dan menggoda Jenny. Namun, Jenny tidak melayaninya. Satu per satu
rekan-rekan Tuan Haji pergi, hanya Tuan Haji yang berthan, tapi tak lama
kemudia ikut pergi.
Sepeninggal
Tuan Haji dan teman-temannya, datang sekumpulan pemuda dengan gaya busana masa
kini. Mereka duduk di meja tempat Tuan Haji dan teman-temannya duduk tadi.
Jenny segera menghampiri mereka, memberikan daftar menu. Mereka menyebutkan
pesanan, Jenny menulisnya di buku kecil. Setelah itu, ia berlalu.
Pemuda
itu asyik menggunakan telepon genggam. Sesekali ada juga perbincangan tentang
perkembangan artis-artis luar negeri sambil mendengar laku Creed dari album My
Sacrifie. Salah seorang dari mereka asyik menyanyikan lagu tersebut sehingga
mengganggu orang-orang sekeliling. Untungnya, mi pesanan mereka segera sampai.
Mereka mulai sibuk makan mi hingga habis tak tersisa. Tampak raut muka puas di
wajah mereka.
Jenny
penuh minat melihat gerak-gerik pemuda-pemuda itu. Usia mereka memang tak
berbeda jauh. Ia teringat ketika ia dan kawan-kawannya duduk di café dan
bercerita mengenai rencana mereka selepas lulus dari universitas.
Jenny
memiliki pandangan jauh ke depan mengenai restoran ayahnya. Ia pernah beberapa
kali mengutarakan tentang perubahan kepada ayahnya. Ia pernah menyarankan untuk
menambah menu makanan Barat, seperti spaghetti dan french fries. Namun, saran
itu ditolak keras oleh ayahnya.
Restoran
itu dibina selama 30 tahun oleh Ah Beng
dan istrinya dengan susah payah. Istrinya yang dahulu menyarankan agar restoran
mereka hanya menjual mi saja hingga Ah Beng menjadi pakar mi. Hasil dari
restoran itu bisa menyekolahkan Jenny hingga keluar negeri, apabila Jenny
pulang semua serba tida sesuai dalam pandangannya, mau saja diubah-ubah
restoran itu.
Panggilan
Ah Beng membuyarkan lamunan Jenny. Pemuda-pemuda tadi melambai-lambai tangannya
coba memanggil Jenny. Ia segera menghampiri mereka. Pemuda-pemuda itu memesan
mi goreng dan rebus. Jenny mengangguk.
Sementara
menunggu tenggelam matahari, Jenny berdiri di luar restoran. Terpandang olehnya
nama restoran yang terpampang di depan. Restoran Ah Beng pakar dalam semu
masakan mi.
***
Cerpen
ini dibuka dengan kalimat yang menunjukan latar tempat, yakni pagi pukul 6.
Kalimat-kalimat selanjutnya menunjukan latar tempat, yaitu sebuah restoran mi
milik Ah Beng. “Matanya melihat papan nama yang diperbuat daripada kayu
berwarna merah dengan calligraphy tulisan
cina yang melambangkan kemegahan jati diri bangsanya.” (hlm. 1—3).
Paragraf
pembuka cerpen ini juga menggambarkan aktivitas Ah Beng dan para pekerja
menyiapkan restoran. “Meja yang kotor dengan habuk dilap bersih. Begitu juga
dengan lantai dicuci dengan bersih. Ah Beng memastikan pekerjanya membuat kerja
dengan elok.” (hlm. 1).
Paragraf
kedua masih menyajikan latar waktu dan latar tempat. “Terbit matahari
memuntahkan teriknya yang sudah mulai terasa. Tempat duduk restoran hampir
penuh. Suasana riuh.”
Paragraf
penutup cerpen ini juga menunjukan latar waktu dan latar tempat sebagaimana
tampak dalam kutipan berikut ini.
Cahaya
dari luar memantul dari lantai kedalam restoran dan tepat terkena ke arah mata
Jenny yang sedang melihat keluar ada cahaya tersebut menghalangi pandangannya.
Sementara menunggu tenggelam matahari dia berdiri di luar restoran, terpandang
nama restoran yang terpampang di depan. Restoran Ah Beng pakar dalam semua
masakan mee. (hlm. 11)
Kutipan-kutipan
di atas menunjukan latar tempat dan siklus waktu berlangsungnya peristiwa dalam
cerpen ini, yaitu restoran mi Ah Beng dari pagi saat para pekerja menyiapkan
restoran, siang saat restoran ramai pengunjung, dan sore hari saat menunggu
matahari tenggelam. Penggambaran latar tempat dan waktu sejak awal hingga akhir
ini menunjukan latar sebagai pusat penceritaan dalam cerpen ini dengan Ah Beng
dan Jenny sebagai tokoh utamanya.
Konflik
utama cerpen ini pun tercipta akibat pertentangan antara tokoh Ah Beng dan
Jenny. Keinginan Jenny untuk melakukan pembaruan dengan penambahan menu makanan
berupa spaghetti dan french fries mendapat penolakan dari Ah
Beng yang dipandang oleh Jenny kolot sebagaimana tampak dalam kutipan di bawah
ini.
“Apa
kata kita tambah menu di restoran kita, kita tambah makanan barat seperti spaghetti dan french fries dan lain-lain” kata Jenny.
“Spagetti, Flench flies” katanya sambil
terbeliak matanya.
“Apa
lu fikir ni pakar buat spagetti, Flench
flies,” katanya lagi dengan nada yang tinggi. (hlm. 11)
Meski
Jenny berusaha mengajukan alasan-alasan, ayahnya selalu pandai menangkis
alasan-alasan tersebut. Oleh karena itu, Jenny menganggap “Ego bapaknya tak
mungkin akan boleh dirobohkan dalam masa singkat” (hlm. 9—10).
Secara
keseluruhan, cerpen ini menggunakan alur konvensional, yakni alur maju. Namun,
konflik antara Ah Beng dan Jenny justru ditampilkan melalui alur kilas balik
dalam pikiran Jenny ketika ia tengah terkenang pada rencana-rencananya saat
lulus universitas. Pikiran itu muncul saat Jenny dengan penuh minat melihat
pemuda-pemuda yang tengah makan di restoran mereka.
Antusias
Jenny ketika melihat pemuda-pemuda yang membeli mi di restoran itu berbeda
dengan saat Tuan Haji dan kawan-kawannya menggoda. Meski tidak secara eksplisit
dikatakan tua, kalimat beriku ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui
kisaran usia Tuan haji dan kawan-kawannya, “Walaupun umur mereka kini dikira
expires tetapi minda dan pemikiran mereka tetap berfungsi dengan baik seperti
computer yang mempunyai cekera keras.” (hlm. 3)
Tokoh
Tuan Haji dan para pemuda dihadirkan untuk membangun oposisi tua-muda. Oposisi
itu mendukung pertentangan kehendak antara tokoh Jenny dan Ah Beng. Dalam cerpen
ini, Ah Beng digambarkan sebagai tokoh yang memegang nilai-nilai lama, seperti
tampak dalam kalimat berikut ini, “Restoran yang hanya menghidangkan mee adalah
idea istrinya” (hlm. 10).
Adapun
tokoh-tokoh lain, seperti Maidin, Ramli, dan pekerja lain memang harus
dihadirkan sebagai konsekuensi pelataran cerpen ini. Mereka memang tokoh-tokoh
yang harus ada dalam sebuah restoran.
Secara
simbolis, konflik antara Ah Beng dan Jenny diungkapkan di paragraf awal dan
akhir. Di paragraf awal, digambarkan Ah Beng memandang papan nama restorannya.
Di paragraf akhir, Jenny yang digambarkan tengah memandang papan nama restoran
tersebut.
***
Kaum strukturalis berpandangan bahwa karya sastra adalah
totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya.
Struktur karya sastra memiliki pengertian hubungan timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan
yang utuh.
Cerpen
“Mee Ah Beng” karya Awang Mohd. Hairul Azmi bin Haji Bidin menghadirkan latar
restoran sebagai pusat cerita dan penceritaan. Konflik yang dibangun antara Ah
Beng dan Jenny berhubungan dengan restoran tersebut. Tuan Haji dan para pemuda
yang makan di restoran mereka dihadirkan sebagai oposisi tua-muda untuk
memperkuat pertentangan antara tokoh utamanya, yakni Ah Beng dan Jenny. Seluruh
unsur tersebut koheren membangun totalitas struktur cerpen ini sehingga cerpen
ini dapat dinilai memiliki kesatupaduan.
Daftar Pustaka
A. Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: pengantar teori sastra,
Jakarta: Pustaka Jaya
Fananie, Zainuddin.
2002. Telaah Sastra, Surakarta:
Muhammadiyah University Press
Mahayana, Maman S.
2006. Bermain dengan Cerpen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nurgiantoro, Burhan.
2005. Pengkajian Fiksi, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini