Gay Talese menulis laporan berjudul “Joe
Louis : the King as a Middle-aged Man” di majalah Esquire, tahun 1962. Tom Wolfe membaca tulisan tersebut. Sebagai
pembaca, ia merasa menyaksikan kehidupan seorang tokoh bernama Joe Loius yang
dahulu begitu heroik. Pasalnya, Talese menulis laporan tersebut menggunakan
gaya penulisan fiksi, sebagaimana tampak dalam pembuka laporan jurnalistik
tersebut.
“Hi, sweetheart!” Joe Louis called to his wife, spotting her waiting for him at the Los Angeles airport.She smiled, walked toward him, and was about to stretch up on her toes and kiss him, but suddenly stopped.“Joe,” she said, “where’s your tie?”“Aw, sweetie,” he said, shrugging, “I stayed out all night in New York and didn’t have time.”“All night!” she cut in. “When you’re out here all you do is sleep, sleep, sleep.”“Sweetie,” Joe Louis said, with a tired grin, “I’m an ole man.”“Yes,” she agreed, “but when you go to New York you try to be young again.”
Setelah membaca tulisan Talase, Wolfe
segera mempelajarinya dan mempraktikan gaya Talase tersebut dalam pekerjaannya
sebagai wartawan harian New York Herald
Tribune. Sepuluh tahun kemudian, Wolfe menulis artikel "The Birth of
The New Journalism: An Eyewitness Report" yang dimuat majalah New York. Melalui tulisan tersebut,
Wolfe memperkenalkan sebuah genre baru dalam karya jurnalistik.
Bersama E.W. Johnson, Wolfe menerbitkan
buku berjudul The Journalism, sebuah antologi yang memuat karya orang-orang
yang disebutnya sebagai new journalists
(jurnalis baru). Buku itu terbit setahun setelah artikelnya di majalah New York. Wolfe sendiri menulis kata
pengantar di buku tersebut disertai appendix yang panjang dan luas, menerangkan
soal sastra.
Buku tersebut segera memicu perdebatan
panjang di Amerika Serikat. Banyak yang mempertanyakan gaya sastra yang
dipakainya. Bagaimana fakta dapat dicampur dengan fiksi? Bagaimana jurnalisme
bisa dipadu dengan sastra?
Meskipun menggunakan gaya menulis fiksi,
tidak berarti jurnalisme sastrawi fiktif. Jurnalisme sastrawi tetap berpegang
pada fakta. Hanya saja, fakta tersebut dinarasikan dengan gaya menulis fiksi.
Menurut Wolfe, ada empat hal yang
membedakan jurnalisme baru dengan jurnalisme konvensional:
(1) Pemakaian
konstruksi adegan per adegan;
(2) Pencatatan
dialog secara utuh;
(3) Pemakaian
sudut pandang orang ketiga; dan
(4) Catatan
yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status
kehidupan orang-orang yang muncul dalam ceritanya.
Jurnalisme sastrawi juga menggunakan
kaidah penulisan jurnalistik pada umumnya, yakni 5 W + 1 H. What, who, where, when, why, dan how.
Dalam fiksi, unsur tersebut setara dengan peristiwa (what), tokoh (who), latar
(where dan when), plot (why dan how). Hanya saja, proses
wawancaranya tidak sekadar merekam pembicaraan, tetapi juga merekam momen-momen
menarik selama wawancara tersebut.
Dalam hardnews, 5 W 1 H dituliskan dengan menggunakan kaidah piramida
terbalik, yakni susunan informasi yang terpenting diletakkan di awal dan
informasi paling kurang penting diletakkan di akhir piramida. Tujuan piramida
terbalik ini sebenarnya agar mudah dilakukan pemotongan jika tulisan terlalu
panjang, melebihi batas karakter yang disediakan. Sedangkan dalam jurnalisme
sastrawi atau yang biasa juga disebut softnews,
susunan tulisan tidak mengikuti pola piramida terbalik.
Jika hardnews
mementingkan aktualitas peristiwa, softnews
lebih mementingkan kebaruan dalam suatu
peristiwa. Oleh sebab itu, kecepatan penyajian berita menjadi hal utama dalam hardnews, sedangkan kedalaman peristiwa
menjadi hal penting dalam softnews.
Demikian tulisan sangat singkat ini
mengenai jurnalisme sastrawi. Tentu saja, tulisan ini tidak berpretensi sebagai
tulisan teoretis, tetapi hanya semaca perkenalan singkat dengan jurnalisme
sastrawi.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini