Burning Doll by Kristoffer Froekjaer-Jensen |
TIGA tahun silam aku bertandang ke
rumah Aditya untuk pertama kali. Sore itu, mula-mula aku bersepeda ke taman
sekolah, seraya mendapatkan Palupi di sana .
Aku mulai hafal, dara manis itu setiap hari Senin dan Kamis sore mengambil les
Matematika. Rasanya ingin berpura-pura tak sengaja memergokinya keluar dari
kelas. Berharap ia bersedia kubonceng menuju ke rumahnya. Sejauh apa pun.
Sore itu aku melihat Adit, yang bukan
teman sebangku, juga ada di sana .
Seketika ada desir cemburu memberangus aliran darahku. Kulihat sepedanya lebih
bagus dibanding milikku. Itu membuat perasaanku sedikit sedih.
"Hai!" sapaku. Sambil
tersenyum, menduga-duga.
"Kris!" Adit membalas, lalu
mendekat. "Menunggu siapa?"
"Tidak menunggu siapa pun."
Aku tidak ingin tersipu, apalagi gugup. "Iseng saja. Kamu sering ke taman
ini?"
"Kadang-kadang saja. Lebih kerap
berkeliling ke Balai Kota. "
"Tiap sore?"
"Tidak juga." Adit sedikit
tersenyum. "Mau menemani? Sekarang?"
Aku bimbang. Sebentar lagi waktu les
berakhir. Tapi belum tentu beruntung bisa bercakap-cakap dengan kembang SMP
itu. Sebetulnya tak pernah ada janji dengan gadis itu. Serta-merta kuputuskan
menemani Adit. "Ayolah!"
Selanjutnya roda sepeda kami
menggelinding menyusuri jalan aspal. Di bawah naungan rimbun jajaran pohon asam
keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak terasa aku mengiringi Adit sampai
ke halaman rumahnya. Dia mengajakku singgah dan berkenalan dengan orang tuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak
terperanjat.
"Krisna, teman Aditya." Aku
mengulurkan tangan.
"Sentot. Ayah Adit."
Senyumnya terkembang. Senyum yang khas. Senyum jenaka yang amat kukenal.
"Mari masuk."
"Pak Sentot yang punya…"
"Aha, kamu penggemar Chocky?"
Senyum Pak Sentot melebar. Terasa ada kebahagiaan. "Kamu masih ingat
rupanya? Bukankah sudah lama berlalu."
Aku mengangguk tanpa melepaskan
pandangan kagum. Ternyata Adit anak orang terkenal! Sentot Karyoto itu pemilik
boneka Chocky yang bisa ‘bicara’. Boneka yang memiliki gerakan indah pada
kepala dan rahang saat ‘berbicara’. Semula aku terkecoh dengan permainan itu:
dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin dongeng atau petuah bagi
anak-anak. Akhirnya aku tahu, yang diucapkan Chocky juga suara Pak Sentot, yang
dikeluarkan melalui perut tanpa terlihat menggerakkan bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku
anaknya yang membangkang dan bertahan di depan segugus mainan menarik. Aku
diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian belakang rumah. Sebelum aku bicara
satu-dua hal tentang ayahnya, di meja telah dihamparkan berpuluh komik terbitan
Marvel. Mataku berbinar tanpa sadar. Menyenangkan juga terdampar di kamar ini!
Mengapa tidak sejak dulu?
Saat pamit, matahari sudah tak tampak
lagi. Senja hampir menjadi malam. Di pintu pagar kusempatkan bertanya kepada
Adit: "Aku ingin melihat langsung ayahmu memainkan boneka Chocky…"
Adit hanya mendengus tanpa terlihat
bangga. Lalu tangannya melambai seperti mengusirku. Aku pun meluncur dengan
sepedaku meninggalkan halaman rumah Adit, tanpa merasa tersinggung. Karena hari
mulai gelap. Aku ingin segera tiba di rumah, ingin lekas membaca dua buah komik
yang kupinjam.
***
"TAHUKAH kalian? Ternyata ayah
Adit itu pengisi acara…"
"Hus! Jangan banyak omong!"
Sebuah tangan membekap mulutku. Tangan Adit. Tangan yang lebarnya sanggup
memenuhi wajahku. Teman-teman yang berkerumun di depan kelas tertawa-tawa
melihatku megap-megap. "Ayo, aku lihat pekerjaan rumahmu! Nomor
delapan!"
Aku diseret ke dalam kelas. Lalu
kubongkar tas dan kuberikan buku Matematika. Tapi ternyata ia tak
sungguh-sungguh hendak menyalin. Ia hanya ingin menjauhkan diriku dari
teman-teman, terutama karena terlontar kata-kataku tentang pekerjaan ayahnya.
"Pulang sekolah kamu mau ke mana?"
tanya Adit serius.
"Ke mana? Tentu saja pulang."
"Di belakang sekolah kita,
tebu-tebu sedang dipanen. Kita ke ana yuk! Kamu mau menemani?"
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika
kita minta tebu dan makan di tempat, para mandor penjaga itu tidak keberatan.
Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang sambil sesekali jatuh ke tanah
retak bekas ditanami tebu. Ada
serangkai lori, kereta tebu, yang memanjang di atas rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang sibuk mengikat
lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang
kubayangkan. Kami baru makan sebatang tebu berdua, memeras air manis itu dengan
mengunyah batang yang dikupas oleh gigi. Cairan manis beraroma harum itu
mengalir dari serat yang menyerpih ke tenggorokan, mengalihkan panas mentari
yang menyengat. Lalu Adit mengajakku duduk di atas tumpukan batang tebu di sisi
pematang.
"Kamu suka Chocky?" tanyanya
tiba-tiba.
"Hm… ya dulu suka. Tapi aku
sekarang bukan anak kecil lagi."
"Kalau begitu, Chocy hanya cocok
untuk anak kecil?"
Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak
semula aku ingin jujur kepadanya.
"Mestinya begitu. Kalau sudah
seusia kita, rasanya sulit memercayai percakapan dua orang yang sebenarnya
hanya satu." Kataku. "Menurutmu bagaimana?"
Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya
keruh. Seperti orang marah.
"Kamu tampaknya tidak menyukai
Chocky. Kita cari gelagah saja. Kita bikin mainan dari batang bunga tebu itu.
Kamu tahu caranya?"
"Kamu tahu, berapa umur
Chocky?" tanyanya tak perduli dengan usulku.
"Wah, mana kutahu? Apakah dia juga
tumbuh seperti manusia?" Aku hampir takjub mendengar pertanyaannya.
"Dia seumur denganku. Empat belas
tahun!"
Aku tertawa. "jangan-jangan dia
juga disunat seperti kamu."
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku
menyesal menanggapinya dengan bercanda.
"Begitu aku lahir, ayahku membuat
boneka itu." Adit bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius.
"Apakah bermaksud membuat mainan untukmu?"
"Tidak. Ia menganggap Chocky
sebagai diriku yang lain…"
"Maksudmu?"
"Setiap kali ia memainkan Chocky
di televisi, ia menganggap sedang bermain denganku. Bercakap-cakap
denganku."
"Wah, asyik sekali!" ujarku
iri.
"Mulanya demikian. Ibuku
menganggapnya lucu. Karena ibu sering keguguran, dan aku dianggap anak
kesayangan."
"Siapa lebih dulu pandai bicara?
Kamu atau Chocky?"
"Tentu saja Chocky lebih dulu bisa
ngomong, karena yang bersuara ayahku. Sebelum aku betul-betul mampu diajak
bercakap-cakap, ia bercanda dengan Chocky. Dan ia melihat Chocky sebagai
aku."
"Luar biasa." Desisku tak
sengaja.
"Tidak, bodoh!" Adit menolak.
Membuat aku terperanjat. "Karena aku seperti bukan anaknya, tetapi
bonekanya. Sedangkan Chocky menjadi anaknya."
"Kenapa begitu?"
"Karena Chocky yang cari uang,
kata ayahku. Aku harus berterima kasih kepada Chocky."
Aku tak sepenuhnya mengerti waktu itu.
Aku tentu tak dapat memahami perasaan Chocky. Maaf, maksudku perasaan Adit.
Tiba-tiba langit berubah mendung. Ada sepercik cahaya petir
yang membuat kami gentar dan segera menutup percakapan untuk sepakat bergegas
pulang. Kami berlari-lari kembali sepanjang pematang menuju ke jalan raya, lalu
masing-masing menyusuri jalan pulang. Sesaat seperti ada perjanjian, kami akan
menjadi sahabat. Aku sedikit yakin, bahwa Adit tidak menceritakan hal itu
kepada teman lain.
***
TETAPI mengapa Adit tidak jujur
kepadaku?
Sebenarnya itu hanya menyangkut kamar
anjing di rumahnya yang tak pernah dijelaskan isi di dalamnya. Atau mungkin aku
terlampau bodoh dengan pertanyaan itu. Kamar anjing tentu berisi seekor – atau
lebih – anjing. Seperti juga kamar jenazah untuk menyimpan bekas tubuh yang
sudah kehilangan ruh.
Akan tetapi, kamar anjing di rumah Adit
agak mengherankan bagiku karena memiliki pintu kayu yang tertutup rapat.
Bagaimana makhluk lucu – atau mungkin seram – itu dapat bernafas jika tinggal di
dalamnya? Sudahlah. Tak perlu bertanya lebih jauh. Aku tak ingin memancing
pertengkaran melalui urusan sepele.
Hari ini aku singgah ke rumah Adit
sepulang sekolah. Saat mengikuti langkahnya menuju kamarnya di belakang,
kuperhatikan pintu kamar anjing yang terletak lebih strategis.
"Di kamar ini, aku bisa lebih
bebas berkhayal," katanya seperti tahu yang kupikirkan. Ucapannya
beralasan karena jendela kamarnya menghadap kebun belakang. peluang itu pula
yang digunakannya untuk sesekali pergi keluar malam tanpa melewati pintu depan.
***
BEBERAPA kali, atau mungkin sering, aku
main ke rumah Adit, bahkan sampai kami sama-sama bersekolah di SMA. Aku singgah
untuk meminjam komik-komik barunya. Atau nonton film-film koleksinya. Tak satu
pun terdapat film anak-anak, apalagi yang berjudul Pinokio. Ia cukup mendapat
kebebasan untuk mengumpulkan film dewasa, meskipun sepanjang yang kutahu,
percakapan dengan ayahnya terlampau terbatas.
Tampaknya kisah tentang Chocky telah
berlalu. Tiada lagi yang menghangatkan pikiran kami tentang boneka itu. Sejak
acara ayahnya di televisi telah dihentikan, aku tidak pernah sekali pun
melihatnya memainkan Chocky di rumahnya. Barangkali tak akan membuatku terhibur
juga.
Sementara itu, aku sering memergoki Pak
Sentot menyendiri di beranda. Banyak suratkabar di meja, tapi dibiarkan tetap
terlipat. Pandangan matanya menembus sela-sela tirai ke arah kebun kecil di
depan rumah. Setiap kali aku pamit, sedikit membuatnya terperanjat, dan
melimpahkan perasaan berdosa kepadaku karena telah mengganggunya.
"Kamu jarang sekali bicara dengan
ayahmu," kataku di pintu pagar.
"Ayahku yang jarang bicara
denganku," sahut Adit datar.
Aku memandang heran. Tapi seperti
biasa, tangannya melambai seolah mengusirku. Dan seperti biasa, sejak dulu
kala, aku segera pulang tanpa merasa tersinggung. Tapi malamnya aku bermimpi
bercakap-cakap dengan Chocky! Membuatku ingin segera menjumpai pagi.
"Adit, kutunggu kamu sejak tadi.
Ayo kita ke kantin." Aku menyerbu kedatangannya di pagar sekolah keesokan
harinya.
"Sepagi ini?"
"Ya. Aku mau ceritakan mimpiku
semalam."
Tanpa meletakkan tas terlebih dulu,
Adit mengiringi langkahku ke kantin.
"Aku mimpi bercakap-cakap dengan
Chocky!" ujarku penuh semangat.
Mendadak muka Adit memerah. "Kamu
bercakap-cakap dengan anjing itu?"
Mulutku ternganga. "Anjing?"
"Ya!" Rahang Adit tampak
mengeras kaku.
Kupegang kedua lengannya. Aku tak
sepenuhnya tahu dengan yang kulakukan, namun jantungku terasa gemuruh. Kamar
anjing itu…
"Maaf, maaf! Aku tak akan
membicarakannya lagi." Aku benar-benar berjanji. Akan tetapi Adit justru
menggagalkan janjiku.
"Dengar, Kris! Kini kamu tahu,
siapa yang menghuni kamar anjing itu. Itu kamar Chocky! Aku muak setiap kali
Ayah masuk ke kamar itu, mengunci diri, dan kudengar bercakap-cakap dengan
Chocky. Sementara aku, anaknya, tidak pernah diajak bicara seperti itu. Seolah
aku tak punya masalah …"
"Ibumu?"
"Kamu tahu, kan ? Ibu yang bekerja menghidupi kami,
sebagai pegawai negeri. Telah hampir lima
tahun pekerjaan ayahku hanya duduk-duduk, atau pergi entah ke mana dan pulang
menceritakan pengalamannya di kamar anjing."
"Mestinya kamu ceritakan ini
kepadaku, agar aku tak salah sangka…"
Kulihat ada air mata menetes ke
pipinya. Kami sama-sama kelas dua SMA. Tetapi aku selalu merasa bodoh untuk
melakukan perbuatan yang berguna bagi Adit. Aku tak tahu, sedalam apa luka
hatinya?
"Ayo, kita ke kelas. Sekali lagi
aku minta maaf," ajakku.
Adit mengusap wajahnya dengan kedua
tangan. Lalu berjalan dengan kepala ditundukkan. Sepanjang dua jam pelajaran
dia terdiam. Tak sampai akhir jam sekolah, Adit minta ijin untuk pulang. Aku
membiarkannya berjalan meninggalkan sekolah, dengan punggung yang tak lagi
tegak.
***
HARI berikutnya Adit tidak masuk
sekolah. Aku tergerak menjenguk ke rumahnya. Ke kamarnya yang menghadap kebun
belakang. Ibunya ada di rumah, menawariku makan siang, tetapi aku lebih
berminat segera menemui Adit. Lama aku mengetuk kamarnya sampai kemudian dibuka
dengan enggan.
Aku terkejut melihat keadaannya.
Matanya bengkak, lebih tampak sebagai akibat pukulan dibanding oleh tangisan.
Rambutnya acak-acakan, dan kuduga dia belum menyentuh air sejak pulang sekolah
kemarin. Kamarnya lebih berantakan dari biasanya.
"Aku ingin membunuh Ayah…."
"Sstt!" Kini aku yang
membekap mulutnya. Ucapannya sungguh menakutkan bagiku.
"Kubuatkan minum ya?" Aku
bergegas ke dapur yang tak jauh dari pintu kamarnya. Mengambil sebotol air
dingin dari lemari es dan berharap bisa menenangkan perasaannya. "Minumlah
dulu. Jika sudah tenang, katakan apa masalahmu."
Ia menurut, meneguk air yang kuberikan
dalam gelas yang kuangsurkan. Aku hanya bisa menunggu. Menemaninya.
"Aku… aku merasa hidupku percuma,
Kris."
"Adit, tak boleh bicara seperti
itu!"
"Semalam aku bertengkar hebat
dengan Ayah."
Aku mengangguk. Menunggu ceritanya.
"Chocky telah tiada, Kris." Adit
kemudian tersedu. Tubuhnya bergetar.
Aku disergap bingung. Ucapannya seperti
terdengar keliru di telingaku. Bukankah Chocky adalah musuhnya? Yang telah
membuatnya iri dan cemburu selama ini? Seharusnya ia begitu bahagia seandainya
benar Chocky telah ‘meninggal’.
Kuusap punggungnya yang berguncang.
"Semalam, setelah kami bertengkar,
Ayah membakar Chocky…," ujarnya tersendat.
Aku terperangah. Lalu berkata
ragu-ragu. "Bukankah itu yang kamu harapkan?"
"Apa katamu, Kris?" Tiba-tiba
Adit memandangku dengan tatapan kasar. "Ayahku telah membunuhku!"
Mulutku ternganga tanpa kusadari.
"Jadi, kamu senang jika aku mati?
Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku,
Kris!"
"Aku tak mengerti…" Aku mulai
dijalari rasa takut. Terutama melihat mata Adit yang aneh.
"Kamu pasti mengerti, Kris. Kamu
sahabatku! Tapi kini kamu hanya pura-pura menghiburku, padahal kamu senang aku
mati!"
"Adit! Maaf, itu tidak benar
…"
"Kamu bohong! Sekarang kamu keluar
dari kamarku!"
Kini saatnya aku merasa tersinggung
dengan lambaian tangannya. Tubuh tak bertenaga itu kini seperti monster yang
menakutkan bagiku. Matanya itu! Seperti ingin membakarku.
"Kubilang keluar!" Suaranya
mirip guntur.
Aku terhuyung meninggalkan kamar Adit
yang kemudian dibanting pintunya. Aku mundur dan menabrak tubuh ibunya yang
tegak di sisi dapur.
"Dari semalam dia berkelakuan
aneh. Sejak ayahnya membakar Chocky," kata ibunya. Aku mengangguk tapi
belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin duduk di beranda,
meredakan gemuruh dada, sambil mencoba berpikir.
Aku melewati kamar anjing. Aku menatap
pintunya sejenak. Kamar Chocky, yang selalu disebut ‘kamar anjing’ dengan nada
marah oleh Adit. Tapi baru saja Adit kehilangan nyala harapan ketika anjing
itu, maksudku Chocky, musnah. Masih terngiang dengan dengung yang mencekam di
telinga: "Ayah telah membunuhku. Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah
membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku!"
Aku duduk di beranda, di kursi yang
biasa menjadi tempat rehat Pak Sentot. Aku memandang ke arah kebun melalui
sela-sela tirai bambu. Seperti yang dilakukan oleh Pak Sentot setiap hari.
Tanpa tercegah, mataku perlahan basah.
Di balik tirai, di kebun kecil itu, aku
melihat anak kecil yang wajahnya mirip Adit sedang bermain sendirian.
Kadang-kadang wajahnya berubah serupa boneka kayu Chocky. Alangkah mirip senyum
keduanya. Lambat-laun aku semakin tak sanggup membedakan antara wajah Aditya
dengan wajah Chocky pada anak kecil yang sedang bermain di kebun itu.
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini