Segaris Jingga di Tebing Cakrawala


Cerpen Denny Prabowo
Dimuat di www.angsoduo.net

Suatu ketika, matahari yang muram di balik awan melenggang pergi—tenggelam tergesa-gesa di tebing cakrawala tanpa kata-kata perpisahan yang biasa terucap lewat sapuan warna keemasan, lalu perlahan berubah keunguan yang semakin menua sebelum akhirnya menggelap. Sejak itu kota di mana matahari selalu muncul dari balik gunung dan tenggelam di tebing cakrawala tak lagi di singgahi cahaya matahari.

Di balik kerudung hitam langit kelam, warna-warni kehidupan malam benderang dengan lampu-lampu yang bagaikan menggantikan kerlip bintang. Wanita-wanita setengah telanjang menari dan bernyanyi di jalan-jalan kota. Parade kemaksiatan hilir mudik sepanjang hari yang tak lagi bermentari. Tempat-tempat hiburan malam laksana pabrik-pabrik yang memproduksi berbagai macam dosa dengan kemasan yang sangat memikat hasrat. Hingar-bingar musiknya bersaing dengan lenguhan suara adzan dari menara-menara masjid.

Bising suara derum generator membuat pekak telinga. Sejak matahari menghilang di balik tebing cakrawala, kehidupan jadi bergantung pada mesin-mesin penghasil energi listrik itu. Para produsen pembuat mesin generator menjelma konglomerat mendadak. Tiba-tiba saja para pengusaha beramai-ramai mengalihkan usahanya menjadi produsen pembuat generator!

Aku sudah lupa kapan terakhir kali fajar menyingsing di kota di mana matahari biasa mengawali kembara harinya dari balik gunung dan tenggelam di tebing cakrawala.

Tapi aku masih ingat cerita ayah-ibuku tentang fajar yang gemilang menyambut tangisan pertamaku, ketika segaris jingga memendar laksana layar lebar yang di kerek ke atas dari balik gunung membentuk siluet puncak gunung oleh tangan-tangan gaib Sang Penggenggam kehidupan, lalu perlahan memudar seiring kabut yang berarak pergi, menjadi awal kembara hari sang mentari. Mereka namai aku: “Fajar Gemilang”.

Kini, kegemilangan fajar ketika menyambut kemunculan sang bagaskara dengan segala pesona yang dimilikinya, menjadi sebuah dongeng pengantar tidur anak-cucu. Sebuah mitos dari masa lalu. Legenda yang memang pernah ada, yang hanya sempat terekam di dalam pita memori otak manusia-manusia masa lalu.

Aku menyibak jendela kamarku. Mendongak. Melongok langit. Bahkan rembulan tak lagi bercahaya, sebab matahari yang biasa memantulkan sinarnya pergi entah ke mana… kini ia hanya sebentuk lingkaran sebesar bola sepak yang berwarna kelabu pekat. Sedang bintang-bintang… mereka bersembunyi di balik mega-mega hitam yang arak-berarak. Dunia seolah berada di balik selimut hitam yang di bentangkan tangan-tangan gaib Sang Pemilik semesta.

Angin mendesah gelisah. Menerbangkan ujung rambutku. Dari semak di belakang rumahku, simfoni derik jangkrik menyeruak di antara derum suara mesin generator. Tiap menitnya bertambah lemah. Tapi masih terus bernyanyi. Mereka tidak pernah tahu, kapan malam panjang ini akan berakhir.

Bahkan kelalawar yang mulanya paling di untungkan dengan menghilangnya matahari, kini mulai merasa resah. Sebab pohon-pohon tak mampu lagi berfotosintesa. Tak ada buah yang bisa mereka santap. Padahal mereka sudah terlalu letih mengepakkan sayap di kegelapan malam yang tak berujung pagi.

Semesta gelisah menanti fajar menyingsing di kota ini. Sampai kapan generator-generator penghasil energi listrik mampu menderu? Sampai kapan produsen pembuat generator mampu memenuhi permintaan konsumen? Sampai kapan gemerlap lampu-lampu yang bagai menggantikan kerlip bintang mampu berpijar? Sampai kapan dunia tak bermentari? Sampai kapan… Ah!

Tapi anehnya… orang-orang seolah tak peduli?!

Mereka sibuk berparade sepanjang hari. Bernyanyi dan menari bersama wanita-wanita yang bagai tak berbusana, sambil mendengarkan hingar-bingar musik di tempat-tempat hiburan malam yang laksana pabrik-pabrik yang memproduksi berbagai macam dosa dengan kemasan yang sangat memikat hasrat. Mereka tak punya waktu untuk sekedar berpikir, ke mana matahari melenggang pergi hingga fajar tak mampir lagi di kota ini.

Sampai detik ini aku masih berharap semua hanyalah sebuah impian, yang akan sirna ketika aku membuka mata, dan fajar akan kembali menyapa dengan semburat jingga yang memendar dari balik puncak gunung, membentuk siluet puncak gunung dan burung-burung yang melintas. Lalu hangat sinar mentari membelai tubuhku yang gigil.

“Masih menanti fajar?” tegur ayahku membuyarkan angan-angan dan impian tentang kegemilangan fajar yang mengawali kembara hari sang mentari.

“Ke mana perginya sang bagaskara, ayah? Tidakkah dia tahu kalau aku begitu merindukan fajar?”

“Entahlah… mungkin sedang bersujud di bawah singgasana Raja Semesta.”

“Kapan dia akan kembali, Ayah?”

“Tak satu mahluk pun yang mampu menjawabnya.”

Masihkah terselip sebongkah harapan untuk dapat bersua dengan fajar lagi? Aku tak tahu. Aku sudah cukup letih menanti. Tapi fajar tak kunjung datang menyapa.

Langit masih kelam. Tetapi di bawah naungan kegelapan, lampu-warna-warni berpijaran terang sekali. Manusia seolah ingin menunjukkan kesombongannya. Seperti sebuah pernyataan tegas kalau kehidupan tak akan terpengaruh tanpa matahari yang menyinari bumi. Seolah matahari tak pernah memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Atau matahari memang tidak terlalu penting? Itu pun aku tak tahu. Tapi bagiku yang begitu merindu pesona fajar, matahari jadi begitu berarti.

Bumi memang masih mampu berputar. Kehidupan masih bergulir. Walau tak lagi siang-malam. Tapi sampai kapan? Bersama rentang waktu yang terus berjalan, sumber-sumber energi yang dikandung perut bumi akan habis dikeruki. Lalu dengan apa mereka akan menyalakan mesin-mesin generator?

“Hei, kenapa tidak kau nanti saja di puncak gunung di mana matahari selalu mengawali kembara harinya?”

“A-ha… ide yang bagus! Lagi pula, sudah lama aku tidak mendaki ke sana, seperti yang biasa kita lakukan dulu, Ayah.”

^^^

Aku mulai mendaki.

Angin mendesah risau. menerbangkan ujung rambutku. Merintih di celah ranting pepohonan yang daunnya tak lagi hijau. Mengabarkan kepedihan segenap alam yang patah hati di tinggal sang mentari.

Sejuta harapan berbaur dengan sejuta kegelisahan. Pertanyaan apakah fajar akan kutemui lagi di puncak gunung ini, ataukah sang mentari tak akan pernah bersinar kembali, mengiringi langkah pijakku di bebatuan cadas yang menanjak hanya dipandu cahaya lampu senter.

Senandung zikir yang kulantunkan di setiap tarikan nafasku, membuatku merasa lebih tenang. Kenyataan bahwa peristiwa melenggangnya matahari semata-mata adalah kehendah dari Sang Pemilik kehidupan, membuatku memasrahkan detik-detik pengembaraanku di dunia fana hanya kapada-Nya. Tak ada yang terlewat oleh-Nya. Karena Dia adalah pemilik ‘kursi’ yang membentang meliputi langit dan bumi.

Tinggal beberapa tindak lagi kusinggahi puncak gunung.

Suara angin kian parau. Mungkin sebentar lagi angin akan berhenti mendesah… Mungkin juga terlalu lelah membawa resah segenap alam yang patah hati sejak ditinggal sang mentari… Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tetap bersyukur, karena Tuhan masih mengizinkan aku menjejakkan kaki di puncak ini lagi.

“Alhamdulillah!” kuhempaskan tubuhku di atas tanah. Sejenak membuang lelah yang menggelayuti tubuh.

Dari atas puncak kuteropong pemandangan kota nun di bawah sana. Lampu warna warni yang seolah menggantikan kerlip bintang masih berpijaran, menawarkan keindahan yang memabukan. Bahkan hingar bingar musik dari tempat-tempat hiburan malam terdengar sampai ke sini! Barisan parade kemaksiatan kian bertambah panjang. Kota seolah jaga dalam duka yang tak pernah mereka sadari, karena mereka terlalu asyik tenggelam dalam lumpur kelam dunia tak bermentari. Dan aku hanya bisa merenungi tanpa menemukan jawaban pasti.

Aku melongok langit. Awan hitam arak-berarak. Tapi… hei, ke mana rembulan?! Ia tidak tampak. Apakah ia bersembunyi di balik awan? Semestinya dia sesekali tampak di antara awan hitam yang arak- berarak. Sebentuk lingkaran sebesar bola sepak berwarna kelabu pekat itu menghilang! Tapi sejak kapan? Kenapa aku tidak menyadarinya?

Langit benar-benar tak berhias. Hitam pekat. Bintang-bintang lelap dalam selimut awan hitam yang arak-berarak. Itu pun nyaris tak dapat dibedakan. Tersamar warna langit.

Gejala apa ini? Matahari dan bulan menghilang satu per satu. Bumi benar-benar sendiri! Masihkah tersisa harapan untuk dapat bersua kembali dengan sang fajar?

Aku bersimpuh di atas tanah. Airmata leleh basahi pipi. Tak ada yang dapat kulakukan kecuali berharap ridho Ilahi. Mengingatnya adalah hal yang utama dalam pengembaraan kita di gurun kefanaan. Agar tak ada keraguan mengarungi detik-detik yang semakin melamah ini.

Aku bersujud. Luruh dalam kumandang zikir semesta raya. Bebatuan, pepohonan, hewan-hewan, awan hitam, angin yang mendesah parau, seluruh mahluk yang menghuni semesta milik-Nya, seolah berucap: “Laa ilaaha illallaah”.

Dalam lelap kumandang zikir semesta raya, samar kudengar suara adzan menyeruak di antara hingar-bingar suara musik yang mengiringi parade kemaksiatan di jalan-jalan kota. Tiba-tiba… ujung mataku menangkap segaris jingga di kaki langit!

Fajar?… Fajar datang lagi! Aku hampir melompat kegirangan sebelum akhirnya aku menyadari… segaris jingga itu berada di tebing cakrawala! Tempat di mana matahari selalu mengakhiri kembara harinya.

Tubuhku bergetar. Apakah ini pertanda akhir zaman? Atau hanya kekhilafan matahari yang lupa tempat terbitnya?

Tidak! Matahari takkan pernah lupa tempat terbitnya, sebab tangan-tangan gaib Sang Pemilik semesta rayalah yang menggerakkannya. Matahari tak pernah berkehendak. Ketaatannya tak perlu diragukan. Dan matahari hanya akan terbit dari tempat tenggelamnya ketika sudah dekat waktunya terompet sangkakala dibunyikan.

Kiamat…?!?

Aku tersungkur di atas tanah. Bersujud. Memohon perlindungan-Nya.

Dari tebing cakrawala, matahari beranjak naik dengan raut kedukaan yang tak terperi.

Tapi anehnya… orang-orang di kota di mana matahari selalu muncul dari balik gunung dan tenggelam di tebing cakrawala, tak ada yang peduli!


Depok, Desember 2003
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini