Ella dan Sepatu Kaca

Cerpen Denny Prabowo
Dimuat dalam buku Ella & Sepatu Kaca (Lingkar Pena Publishing House, 2005)

“Ceritakan kepadaku sebuah kisah!” pintaku kepada sahabatku. Saat itu kami duduk di teras depan rumahnya yang teduh oleh rimbun pepohonan di pekarangan. Matahari melangkah turun perlahan meninggalkan singgasana siang.

“Kisah apa?”

“Apa saja yang penting tentang cinta.”

“Bagaimana kalau dongeng Cinderella?”

“Ah, udah terlalu sering aku dengar. Ada yang lain?”

“Baiklah.”

Angin bersiut. Beberapa helai daun kering terlepas dari rantingnya, meluncur anggun sebelum mendarat di atas hamparan rumput hijau yang sangat terawat.

“Kisah ini tentang Ella dan sepatu kaca.”

“Lho, kok…”

“Kenapa?”

“Mirip dengan Cinderella?”

“Memang adaptasi dari dongeng Cinderella.”

“Katanya ada yang lain?”

“Yang ini juga lain.”

“Lain bagaimana?”

“Lain, ya lain. Gak sama. Belum dengar kok udah protes? Mau diterusin gak?”

“Iya deh, iya…”

Maka mulailah sahabatku itu bercerita:

***

“Pesta topeng?”

“Iya. Ngerayain ulang tahunnya si Andi? Kamu datang ya, La?”

“Emangnya aku diundang?”

“Iya. Semua murid di sekolah ini diundang!”

“Hmmm…”

“Kenapa?”

“Mereka pasti gak mengijinkan aku pergi.”

“Siapa?”

“Mami Nadia dan kedua saudara kembarku.”

“Mereka memang kelewatan!”

Ella membuang pandang ke luar kelas. Sepasang kupu-kupu menari, berkejaran, sesekali nemplok di bunga, di daun, di ranting tetumbuhan yang tertanam di taman depan kelasnya. Hana, sahabatnya, duduk di sebelahnya.

“Kamu harus datang, La!” ujar Hana.

“Malas ah. Aku gak suka datang ke pesta. Lagipula… ibu tiriku pasti gak ngijinin.”

“Udah. Pokoknya kamu harus datang. Ini kesempatan buat kamu.”

“Kesempatan apa?”

“Alaa…,” Hana tersenyum, “gak usah pura-pura deh. Aku sering mergokin kamu yang diam-diam suka memandangi anak pengusaha kaya itu.”

“Siapa?”

“Andi! Dia kan pangeran tampan yang sering kamu angankan?”

“Ih, siapa bilang?”

“La, kerjain PR matematika gue, dong!” perintah Santi, saudara tirinya—anak kedua dari Mami Nadia, yang sama-sama duduk di bangku kelas dua, hanya berbeda kelas saja—melemparkan buku tulis ke meja Ella. “Istirahat nanti gue ambil. Jangan sampe gak kelar, La! Awas lo kalo gak dikerjain!”

“Ugh!” Hana kesal, “kenapa sih kamu mau-mauan disuruh sama saudara tirimu yang ganjen itu, La?!”

Ella menunduk.

“Berontak dong, La!”

Ella menggelengkan kepala lemah.

“Kalo aja aku jadi kamu, La…”

“Tapi kamu bukan aku, Han.”

Diam.

“Sejak ayahku meninggal dunia, mereka menguasai harta peninggalan ayahku. Kalo aku berontak, mereka pasti ngusir aku. Kamu pikir aku suka dengan keadaan ini?”

“Kamu harus hadir di acara ulatahnya si Andi, La! Kamu kan tau, kalo sodara tiri kamu udah lama ngejar-ngejar si Andi. Kamu harus buat mereka kecewa karena Andi bakalan milih kamu malam nanti. Aku akan merubah kamu jadi putri seperti dalam negeri dongeng!”

“Putri?” Ella menggelengkan kepala. “Aku nggak punya baju bagus, Han. Lagipula aku malu. Semua tamu yang datang ke sana pasti orang-orang kaya. Nanti aku malah ditertawai, lagi…”

“Serahkan semuanya padaku.”

“Kamu?”

“Kamu gak percaya sama sahabatmu sendiri?”

“Tapi…”

“Udah deh, kamu tenang aja. Biar aku yang mengatur segalanya! Percaya sama aku deh, La! Biar aku gak kaya, tapi aku janji akan membuat kamu tampil serupa putri-putri dari negeri dongeng!”

Ella tersenyum. Mengangguk.

“Aku kan menjadi peri bagimu!”

“Peri?” Ella tertawa, “Hana, Hana… mana ada peri yang pipinya tembem dan doyan makan seperti aku?”

“Hahahaha…” mereka tertawa lepas.

***

Ella terkulai lemas di atas ranjang tidurnya. Seharian tadi dia dibuat sibuk oleh Mami dan kedua saudara tirinya.

“Ella! Setrikain baju gue, nih!” Santi melempar beberapa pakaian ke muka Ella.

“Eit,” cegah Susan, kakaknya yang setahun lebih tua, “elo harus lulurin gue dulu, La!”

“Enak aja!” Santi gak mau kalah, “gue kan yang nyuruh duluan! Lagian, buat apa sih lo pake luluran segala? Ganjen amat lo!”

“Ntar malam gue mau datang ke pesta ultahnya si Andi. Pasti nanti malam gue yang bakal dipilih jadi pasangan dansanya!”

“Elo?” Santi ngakak, “gini hari masih aja ngimpi! Si Andi tuh nggak bakalan milih elo. Tapi gue!”

“Hahaha…” ganti Susan yang ngakak, “elo? Hahaha…”

“Ellaaaaa…!!!” suara Mami Nadia mengguntur, “kenapa piring-piring kotor belum dicuci?!”

Ella mendesah. Ah, kenapa sih dulu Ayah harus menikah dengannya?

“Ellaaaaa…!!!”

Begitulah hari-hari yang harus Ella jalani semenjak ayahnya meninggal dunia setengah tahun yang lalu. Dia tak ubahnya seorang pembantu di rumah sendiri. Seenaknya saja Mami dan kedua saudara tirinya itu menyuruhnya mengerjakan ini-itu. Mau menolak? Yah, siap-siapa aja diperlakukan kasar. Dikunciin di kamar. Tidak dikasih makan. Kelewatan! Padahal rencananya malam ini dia ingin menghadiri pesta ulang tahun si Andi, pangaran tampan yang selalu diangankan oleh siswi-siswi di sekolahnya.

Fuih… rasanya tubuhku seperti tidak berangka…

Jarum jam. Berputar. Waktu. Bergulir. Pukul 7.30 lebih. Susan dan Santi sudah meninggalkan rumah sejak sore tadi. Kedua saudara tirinya itu berdandan heboh sekali, demi meraih perhatian dari si Andi. Yeah… siapa sih yang nggak mau dipilih jadi kekasih anak pengusaha kaya itu? Kalaupun ada, mungkin hanya Ella aja orangnya.

Di pesta ulang tahunnya nanti, siapa pun gadis yang diajaknya berdansa, dialah yang akan menjadi kekasihnya. Sebenarnya Ella malas pergi. Tapi dia ingin sekali membuat kedua saudara kembarnya kecewa di pesta si Andi, karena pangeran tampan itu akan memilih dirinya! Ups… pede amat ya aku…

“La… Ella…” Suara tertahan dari balik jendela kamarnya.

Hana? Ella beranjak dari ranjang tidurnya. Membuka daun jendela. Wajah Hana. Gadis berpipi bulat itu tersenyum kepadanya.

“Kita berangkat sekarang, La!”

“Tapi, Han…” Mata Ella melirik tubuhnya yang masih tampak berantakan.

“Udah, dandannya nanti aja di mobil. Aku udah mempersiapkan pakaian buat kamu.”

“Mobil?”

“Iya.”

“Mobil siapa?”

“Nanti aja aku jelasin, sekarang buruan kita pergi, sebelum terlambat!”

Ella naik ke jendela kamarnya, melompat ke luar, dan… “pruukkk!” kakinya menginjak sebuah pot bunga hingga pecah, menimbulkan suara gaduh.

“Siapa itu?!?” Suara Mami Nadia dari dalam rumah. Wanita paro baya itu menampakkan wajahnya dari jendela kamarnya. Ella dan Hana buru-buru merunduk, menenggelamkan tubuhnya di antara tanaman-tanaman hias yang banyak di pekarangan.

“Miaaauuuu…” Hana gegas meniru suara seekor kucing.

“Heh, kucing apa manusia tuh? Kok suaranya begitu?”

Tak berapa lama, terdengar suara ketukan di pintu kamar Ella.

“Aduh, gimana nih, Han?”

“Kamu masuk aja lagi! Pura-pura baru bangun tidur!”

Ella kembali memanjat jendela kamarnya. Mengambil piyama dari dalam lemarinya.

Tok! Tok! Tok!

Ella buru-buru mengganti pakaiannya dengan piyama.

“Ella! Cepetan buka pintunya!”

Ella mengacak-acak rambutnya, sebelum beranjak membukakan pintu kamarnya. “Ada apa, Mi?”

“Kamu buka pintunya lama amat sih?!”

“Ella udah tidur, Mi.”

Mami Nadia meneliti penampilan Ella dari ujung rambut sampai ujung kakinya. “Bener tadi kamu udah tidur?”

Ella menganggukkan kepalanya.

Mami Nadia beranjak menghampiri jendela kamar Ella. Wajah Ella menjadi tegang. Dia menggaruk-garuk rambutnya yang sudah acak-acakan. Mami Nadia melongok keluar jendela kamar Ella. Untung saja… Mami Nadia tidak melihat Hana yang bersembunyi persis di bawah jendela kamar!

“Kamu tadi denger suara kucing gak?”

“Suara kucing?” Ella menggelengkan kepala. Pura-pura heran. Mami Nadia meninggalkan kamar Ella “Udah aman, La?” bisik Hana, melongokkan wajahnya ke dalam kamar Ella.

Lalu mereka mengendap-endap keluar pekarangan rumah Ella. Sebuah Mercy hitam metalik sudah menunggu di luar pagar. Tidak sabar.

Ella membeku sesaat, mata bulat telurnya membelalak tak percaya.

“Penjelasannya nanti aja di dalam. Yuk!”

Ella masuk ke dalam mobil.

“Kenalin, La, abang gue!”

Pemuda berkemeja biru yang wajahnya lumayan keren itu mengulurkan tangan seraya menyebutkan namanya, “Hendra!”

Ella tak segera menyambut uluran tangannya. Dia malah menutupi lubang pernafasannya. Hana melirik ke arah Hendra, tajam, juga sambil menutupi hidungnya.

“K-kenapa?”

“Bauuuu keteeek tau!”

“Hehehe… kecium, ya?”

Ella dan Hana saling berpandangan. Tergelak. Masih dengan telapak tangan yang menutupi hidungnya. Baru setelah Hana menyemprotkan deodorant hampir setengah botol ke seluruh tubuh abangnya yang berprofesi sebagai sopir pribadi seorang konglomerat ternama, kedua gadis itu berani melepas tangan mereka dari hidung.

“Pakai ini, La!” Hana menyerahkan sebuah gaun terusan berwarna putih. Indah. Serupa gaun yang sering dikenakan gadis-gadis anak orang kaya. Dan sepasang sepatu transparan, seperti sepatu kaca yang dikenakan Cinderella.

“Wah, darimana kamu mendapatkan pakaian dan sepatu kaca ini, Han?” Ella mengaggumi gaun putih terusan dan sepatu yang terbuat dari bahan fiber. Benar-benar serupa sepatu kaca!

“Udahlah, La… kamu pakai aja, gak usah tanya dari mana. Yang penting malam ini kamu harus tampil cantik.”

Ella tersenyum mengangguk. “Kamu emang sahabatku yang baik banget, Han!”

“Katanya aku peri kamu, La? Gimana sih…”

“Iya, kamu periku yang suka makan sampai pipi kamu jadi tembem begitu, Han!”

“Hahahaha…” keduanya tertawa.

“Ehmm… Ella memandang Hana, lalu melirik ke arah Bang Hendra.

Seperti tahu maksud sahabatnya, Hana segera memerintahkan abangnya untuk segera enyah dari dalam mobil itu. “Get out!”

“Hah? Kenapa?”

“Ella mau ganti pakaian, jadi Abang terpaksa harus keluar dulu.”

“Yah…” Bang Hendra menggaruk-garuk kepalannya, seperti menyesal harus keluar dari mobil, sementara Ella mengganti pakaiannya.

“Awas kalo ngintip!” Hana mengepalkan tanganya.

“Iya, iya…”

Ella segera melapas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun putih terusan.

“Gimana, Han?”

“Wah… kamu benar-benar udah mirip sama Cinderella!”

“Sungguh?”

“Lebih cantik!”

Bang Hendra kembali duduk di belakang stir. Sesaat sebelum dia mengemudikan Mercy-nya, dia sempat terpana sampai hampir meretas liur dari mulutnya yang mengangga, melihat perubahan Ella yang nyaris tak ada beda dengan putri-putri dalam negeri dongeng! Cinderella abis gitu loh!

“Cantik gak, Bang?” Hana minta pendapat.

“Ella, kamu udah punya pacar belum?” tembak Bang Hendra.

“Huuuuu…!”

“Nih,” Hana memberikan sebuah topeng kepada Ella. Ella mengenakan topeng itu. Wajah Ella tenggelam di balik topeng yang hanya menyisakan bagian wajahnya dari ujung hidung sampai ke dagunya. Hana mengenakan topeng yang sama dengan Ella.

Mercy melaju menuju istana, tempat pangeran tampan yang selalu diangankan Ella, Andi, mengadakan pesta ulang tahunnya. Satu jam kemudian, mercy itu masuk ke pekarangan sebuah rumah yang dijaga dua orang satpam berwajah garang—yang seorang bertubuh tambun bercambang lebat, yang seorang lagi bertubuh kerempeng dengan kumis panjang melintang di atas mulutnya yang hitam karena terlalu banyak mengisap nikotin.

“Wuihhh… gede banget rumahnya, Han?” Ella menganggumi rumah Andi yang sangat besar.

“Namanya juga anak pengusaha kaya, La.”

Bang Hendra melihat arloji di pergelangan tangannya. “Aku tungguin kalian sampai jam dua belas! Soalnya aku harus menjemput bosku di kantornya.”

“Oke, deh.” Hana dan Ella turun dari mobil.

“Ingat ya, jam dua belas teng!” Bang Hendra kembali mengingatkan, sebelum memarkir mobilnya.

Ruang tengah rumah Andi yang luasnya sepuluh kali luas aula kelurahan tempat Ella tinggal tampak remang. Lampu dipadamkan. Hanya nyala lilin menjadi penerang. Hening. Khusyuk. Andi memejamkan mata. Berdoa. “Fuh!” lilin padam. Lampu dinyalakan. Band yang dibayar untuk memeriahkan acara mengiringi sorak-sorai undangan yang melantunkan lagu Happy Birthday.

Tiba saat Andi menentukan pasangan. Irama syahdu dimainkan. Hati para dara yang datang pada acara itu berdegup, berharap Andi, sang pangeran tampan yang banyak dipuja-puja para gadis itu memilihnya menjadi pasangannya. Andi berkeliling, berusaha menemukan seorang putri yang wajahnya tersembunyi di balik topeng yang dikenakan.

Susan yang malam itu mengenakan terusan backless warna merah menyala dengan ujung bawahannya yang memamerkan kedua pahanya itu segera pasang aksi begitu Andi melintas di depannya. Andi tersenyum melihat sikap Susan yang berlebihan. Susan tersenyum menggoda. Dia bahkan sampai melepas topengnya, untuk menunjukkan riasan wajahnya yang juga berlebihan. Tapi gadis yang rambut ikalnya digerai itu harus kecewa, karena Andi tidak tergoda dengan sikapnya.

“Sori…” kata Andi sebelum beranjak menghampiri yang lainnya.

Santi yang berdiri tak jauh dari Susan tersenyum mengejek kakaknya itu. Dia segera menghampiri Andi, menggelendot manja di lengan kekar pemuda itu. Namun senyumnya segera melenyap, saat Andi tak juga memilihnya menjadi putri yang akan menemaninya berdansa malam itu.

“Ugh!” Santi melepas topengnya, melemparkan ke lantai. Andi cuek aja. Dia terus melakukan pencariannya.

Andi nyaris putus asa, ketika dia merasa tak menemukan gadis yang dicarinya. Uh, kemana sih si Hana? Kok belum datang-datang juga? Ujarnya dalam hati.

Pada saat itulah, Ella dan Hana muncul dari balik pintu besar ruang tempat acara dilangsungkan. Andi terkesiap. Seolah mampu melihat menembus keindahan di balik topeng yang dikenakan Ella. Pangaran tampan itu terpana. Terpesona. Segera saja Ella menjadi pusat perhatian. Apalagi ketika Andi melangkah mendatangi tempat Ella berdiri.

“Maukah kamu menemaniku berdansa malam ini?” Andi membungkukkan tubuhnya, memberikan penghormatan kepada Ella.

“A-aku” tanya Ella seolah tak percaya. Dia melirik ke arah Hana, sahabatnya. Hana mengangguk-anggukkan kepala. Seutas senyum manis terbit di wajah Ella. Dia sempat melihat ke arah kedua saudara tirinya yang kelihatan sangat kecewa.

Andi menuntun langkah Ella ke tengah-tengah ruangan. Diiringi tatapan semua undangan yang hadir malam itu.

Band memainkan irama melankolis. Andi dan Ella berdiri di tengah-tengah ruangan. Tiba-tiba… Ponsel Hana bergetar. Hana yang baru saja hendak menenggelamkan sepotong tart ke dalam mulutnya terlihat jengkel. “Uh, siapa sih?!” tapi matanya segera membelalak melihat nama yang muncul di display HP-nya. “Mbak Asma?” ragu-ragu Hana menerima penggilan itu.

“Hana! Kamu bawa jahitan Mbak ya?! Aduhhh! Kamu tau nggak, orangnya udah ada di rumah, mau ngambil pakainnya tau!” semprot Mbak Asma, kakak sulung Hana yang berprofesi sebagai penjahit busana pengantin.

“I-ya… Mbak… tapi…”

“Mbak nggak mau tau, pokoknya kamu harus segera pulang dan bawa pakain itu sekarang juga!” Mbak Asma memutus sambungan teleponnya.

Aduh… gimana, nih?

Andi dan Ella baru saja akan mulai berdansa, ketika Hana muncul di hadapan mereka dengan wajah kusut.

“Ada apa, Han?”

Hana mendekatkan mulutnya ke telinga Ella. “La, bajunya mau diambil sama yang punya!”

“Hah?”

“Iya, baju yang kamu pakai itu jahitan kakakku. Saat ini pemiliknya sudah menunggu di rumah, untuk mengambil pakaian itu.”

“Oh, ya udah. Yang penting keinginan aku bikin Susan sama Santi kecewa udah kesampaian.”

“S-sori, La…?”

Ella tersenyum.

“Ada apa sih? Kok bisik-bisik berdua?” Andi menyela.

“Ngg… m-maaf, kami harus segera pergi…” jalas Hana.

“Ada apa sih, Han?”

Kemudian Hana mendekat ke telinga Andi, membisikkan sesuatu ke telinganya. Andi mengangguk-angguk.

“Tapi…” belum sempat Andi menuntaskan kalimatnya, Hana sudah menarik tangan Ella, melesat meninggalkannya sendiri dalam kebingungan. Puluhan pasang mata mengiringi kepergian Ella dan Hana yang tergesa-gesa. Andi berusaha mengejar, tapi Santi segera menghalanginya.

“Cepetan, La!”

“Sebentar, sebentar,” Ella melepas sepatunya.

“Mau ngapain lepas sepatu?”

“Katanya suruh cepet-cepet?!”

Keduanya berlari ke mobil Mercy hitam metalik yang diparkirkan tak jauh dari tangga beranda depan rumah Andi.

“Lho, belum juga jam dua belas?” Bang Hendra yang lagi asyik mengunyah makanan keheranan.

“Mbak Asma…”

“Kenapa?”

“Dia minta pakaiannya. Orangnya yang punya udah nungguin di rumah. Mau diambil sekarang juga. Ayo cepetan, Bang!”

Ella dan Hana masuk ke dalam mobil. Dia melihat Ella masih menenteng sepatunya.

“Sepatu kamu, La!”

“Ada apa, Han?”

“Sepatu! Sepatu kacanya!”

“Kenapa dengan sepatunya?”

“Seharusnya kamu meninggalkan sebelah sepatu kaca kamu.”

“Buat apa?”

“Aduuuuhhh… masak kamu gak pernah dengar dongeng Cinderella sih, La?!”

Ella terdiam. Berpikir. “Ooo…” bibir mungilnya membulat “Tapi, buat apa sih? Gak usah lah. Yang penting aku udah berhasil bikin sodara tiriku kecewa!”

Han merebut sepatu dari tangan Ella, kemudian berlari kembali ke depan tangga beranda depan rumah Andi. Hana meninggalkan sebelah sepatu yang dipakai Ella di sana. Lalu kembali lagi ke mobil.

“Tapi, Han… bukannya sepatu itu juga mau diambil?”

“Nggak, La. Sepatu itu milik Bang Hendra waktu ikutan operet pas tujuh belasan kemarin.”

“Bang Hendra?”

“Iya. Dia yang jadi Cinderella!”

“Hah?!?”

“Emangnya aku gak pantes jadi Cinderella?” ujar Bang Hendra genit, mirip bencong yang biasa mengkal di Taman Lawang.

Ella dan Hana terbahak-bahak.

Mercy hitam metalik meninggalkan pekarangan rumah Andi yang sangat luas.

***

Pagi-pagi sekali Hana membuka mata. Dia membuka jendela, tersenyum menyambut pagi. Sinar matahari menerpa wajah bulatnya. Dia tak sabar ingin agar hari segera berganti menjadi esok. Dia tak sabar ingin segera pergi ke sekolah.

“Sukses juga aku nyomblangin Ella sama Andi!” gumamnya. Hana gak sabar ingin segera menagih janji Andi menraktirnya. Anak pengusaha kaya itu janji, kalo Hana berhasil membuat Andi jadian sama Ella, dia bakal ditrakti setiap hari, sampai dia lulus sekolah. Hmmm… lumayan kan?

Hana membayangkan pangeran tampan yang selalu diangankan siswi-siswi di sekolahnya itu berkeliling dari kelas ke kelas, untuk mencari seorang gadis yang menyimpan sebelah sepatu kaca yang dia temukan ditangga beranda depan rumahnya. Ella, teman sebangkunya yang sudah lama ditaksir Andi! Hana tak pernah tahu, bahwa setelah dia meninggalkan sebelah sepatu kaca yang dipakai Ella, dan pergi meninggalkan tempat itu, seorang satpam berwajah garang yang tubuhnya kurus dengan kumis baplang melintang di atas mulutnya yang hitam karena terlalu banyak mengisap nikotin, lebih dulu menemukan sepatu kaca yang Ella tinggalkan, sebelum Andi tiba di tempat itu. “Hmmm… sepatu siapa, nih?” satpam itu memungutnya, mengamatin benda mirip akuarium berbentuk sepatu itu, “Ah, lumayan buat tempat ikan cupang…”

Di kamarnya, Ella tidur pulas sekali. Puas dia membuat kedua saudara tirinya kecewa, karena gak berhasil dipilih sama Andi.

***

“Jadi, rencana Hana buat ngejodohin Ella sama Andi gak berhasil?”

“Yap!” jawab sahabatku.

“Jadi… Ella dan Andi tak pernah bersatu?”

“Tepat!”

“Lho, kenapa ending-nya tidak membahagiakan?”

“Kenapa harus membahagiakan?”

“Seharusnya dongeng Cinderella…”

“Sudah kukatakan ini lain dari dongeng Cinderella.”

“Ya, walau begitu, pasti siapa pun yang mendengar kisah itu berharap Ella akan bersatu dengan Andi dalam kebahagiaan.”

“Bahagia apanya?” bantah sahabatku, “justru seharusnya Ella bersyukur. Andi tidak menemukan sebelah sepatu kacanya, sehingga rencana Hana menjodohkan dia dengan Andi gak berhasil.”

“Memangnya kenapa?”

“Coba kalo mereka sampai pacaran, terus malakukan hubungan yang diharamkan agama, apalagi sampe hamil diluar nikah? Kasian kan dia! Bukan apa-apa, si Andi itu playboy kelas berat! Pacarnya ada di mana-mana!”

“Lho, dalam cerita tadi kamu sama sekali nggak menjelaskan tentang si Andi yang seorang plyaboy?”

“Bukannya semua anak orang kaya seperti itu?”

“Siapa bilang?”

“Aku.”

“Kamu nggak bisa menyamaratakan setiap orang seperti itu, dong!’

“Lho, terserah aku dong. Aku kan yang buat kisah itu. Lagipula, aku gak berminat melanjutkan kisah itu sampai si Ella dan Andi bersatu, dan akhirnya Ella tau kalau pangeran tampan yang selalu diangankannya itu seorang playboy kelas berat. Dan memang seharusnya seperti itu. Jadi aku gak merasa perlu menerangkan tetang kelakuan Andi yang playboy berat itu.”

“Tapi…”

“Alaaa… gak usah terlalu diributin deh, inikan hanya cerita fiksi. Kalo nggak suka, kamu buat aja cerita yang sama dengan ending yang berbeda. Yang membahagiakan.”

“Lho, kok…”

“Udah, ah. Aku mau ke musala. Udah mau masuk waktu Ashar.” Sahabatku itu berdiri dari kursinya, berjalan meninggalkanku yang masih belum juga setuju dengan pendapatnya itu.

Sayup-sayup terdengar suara adzan mengalun syahdu dari menara-menara masjid sekitar.

“Denny… tunggu!” Aku berlari menyusul sahabatku itu, “Aku ikut!”

Di depan gerbang musala, sebuah rumah beberapa meter dari rumah sahabatku itu, sebuah sedan mewah berhenti. Seorang gadis berkulit putih, berwajah seruapa putri-putri dari negeri dongeng keluar dari dalamnya dengan wajah merah, marah! Gadis cantik itu berlari ke rumahnya, disusul oleh seorang pemuda tampan.

“Pokoknya kita putus!”

“Aduh, kamu dengerin dulu dong penjelasan aku…”

“Apalagi yang mau kamu jelasin?! Udah jelas semuanya. Kamu selingkuh! Kamu emang cowok play boy!”

Kulihat sahabatku itu tersenyum.

“Siapa, Den?”

“Yang mana?”

“Yang cowok.”

“Si Andi.”

“Hah? Jangan-jangan cewek itu…”

“Ella,” kata temanku dengan raut muka bahagia.

“…?!?”***


Depok, 04/04/05
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini