dokumen pribadi |
Faiz,
nama seorang anak laki-laki. Tanggal 15 November nanti usianya genap sembilan
tahun. Dia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Di antara teman-teman
sekolahnya, dia tergolong sangat tinggi. Tinggi tubuhnya. Tinggi pula
cita-citanya. Faiz ingin jadi presiden!
Waktu
Faiz kelas dua, dia pernah menulis surat untuk Presiden Republik Indonesia,
yang ketika itu masih dijabat oleh Ibu Megawati Soekarno Putri. Di dalam surat
yang dia kirim untuk Ibu Negara, dia bercerita tentang Umar sahabat Nabi
Muhammad saw. Dikisahkan olehnya, Umar seorang pemimpin yang gemar menyamar
menjadi rakyat jelata. Dalam penyamarannya, Umar berjalan-jalan ke
daerah-daerah yang banyak orang miskinnya. Tak ada seorang pun rakyatnya yang
mengenali Umar saat dia sedang menyamar. Dengan begitu, Umar bisa segera
mengetahui kalau ada rakyatnya yang kesusahan. Jadi dia bisa segera memberikan
pertolongan kepada rakyatnya yang sedang kesusahan.
Kalau
Faiz menjadi presiden, dia ingin seperti Umar. Tapi masih terlalu lama
cita-citanya itu akan tercapai. Itu pun kalau dipilih oleh orang banyak.
Padahal, banyak teman-teman di sekitar rumah Faiz yang hidupnya susah. Mereka
tidak mungkin menunggu sampai Faiz besar dan terpilih menjadi presiden. Oleh
sebeb itu, Faiz mengirimkan sepucuk surat untuk presiden yang kala itu masih
dijabat oleh Ibu Megawati. Dia ingin mengajak Ibu Megawati untuk menyamar
seperti Umar! Dan mengajak Ibu Negara jalan-jalan ke daerah yang banyak dihuni
oleh orang-orang miskinnya. Pakai baju rombeng dan muka yang dibuat
coreng-moreng, biar orang-orang tidak tahu kalau yang berjalan bersama Faiz
seorang presiden. Tidak usah jauh-jauh. Di dekat rumah Faiz banyak anak jalanan
yang hidupnya susah. Mereka hidup dari mengamen dan mengemis. Faiz ingin Ibu
Presiden membantu teman-teman anak jalanannya.
Pada
akhirnya, Faiz memang tidak berhasil mengajak Ibu Megawati menyamar seperti
Umar bersamanya. Tapi dia sudah cukup bersyukur, Ibu Negara mau mengundangnya
ke istana. Jadi dia bisa bercerita kepadanya tentang teman-teman anak jalanan
di sekitar rumahnya yang hidup susah.
Faiz
memiliki dua orang teman anak jalanan. Namanya Siti dan Udin. Siti dan Udin
hidup dari mengamen di atas bus kota dan lampu-lampu merah. Faiz mengenal
mereka saat bundanya terlambat menjemputnya di sekolah. Dia nekad pulang
sendiri dengan menumpang sebuah angkot. Saat angkot yang ditumpanginya berhenti
di sebuah lempu merah, ada seorang anak jalanan yang usianya lebih tua darinya,
merebut arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Faiz nekad mengejar
penjambret itu! Tapi ternyata, anak jalanan yang tubuhnya tidak lebih besar
darinya itu tidak seorang diri. Dia bersama seorang preman. Faiz ketakutan.
Preman yang rambutnya gondrong itu memaksa Faiz menyerahkan tas dan uang di
sakunya. Untung saja ada dua anak jalanan lainnya yang melihat kejadian itu.
Mereka segera melapor pada petugas polisi yang berada tak jauh dari tempat
kejadian. Akhirnya, preman dan anak jalanan yang menjambret arlojinya ditangkap
oleh polisi. Dua anak jalanan yang yang menolong Faiz itulah yang akhirnya
menjadi teman Faiz. Mereka adalah Siti dan Udin.
Siti
anak seorang tukang becak. Ibunya yang bertubuh ringkih bekerja menjadi tukang
cuci pakaian. Sedangkan Udin lebih tidak beruntung lagi. Dia bahkan tidak tahu
di mana ayahnya berada. Dia sudah ditinggalkan oleh ayahnya sejak dia masih
bayi. Ibunya Udin seorang pemulung. Dia memunguti kardus-kardus bekas dan
plastik-plastik bekas untuk dijual.
Siti
dan Udin mengamen demi mencari sesuap nasi. Mereka tidak bersekolah. Jangankan
untuk sekolah, kalau hari ini bisa makan saja mereka sudah sangat bersyukur.
Tetapi mereka tetap berdoa, agar kelak suatu hari nanti, mereka bisa bersekolah
seperti Faiz. Dan bisa tinggal di rumah yang memiliki jendela. Tidak seperti
rumah yang mereka tempati saat ini.
Siti
dan Udin usianya tidak jauh beda dengan Faiz. Mereka tinggal di sebuah rumah
yang dindingnya terbuat dari triplek dan kardus-kardus bekas. Atap rumahnya
terbuat dari seng-seng bekas proyek yang sudah tidak terpakai. Rumah mereka
persis berada di tepian kali Ciliwung.
Minggu
depan Faiz berulang tahun. Dia bermaksud mengundang Siti dan Udin beserta
teman-temannya yang lain untuk datang ke acara syukuran yang akan diadakan di
rumahnya. Maka, ditemani oleh bundanya, Faiz pergi ke rumah Siti dan Udin yang
berada di tepian kali Ciliwung. Tapi, setibanya mereka di sana, rumah Siti dan
Udin telah rata dengan tanah!
“Bapak
tahu di mana anak-anak yang tinggal di rumah itu?” tanya Faiz kepada seorang
petugas pamong praja yang merobohkan rumah-rumah itu.
“Wah…
saya tidak tahu, Dik. Paling-paling mereka sudah dipulangkan ke kampung asalnya
masing-masing. Atau tinggal di kolong-kolong jembatan. Orang-orang seperti
mereka itu memang paling sulit ditertibkan.”
Faiz
sudah tidak berminat mendengarkan ucapan petugas pamong praja yang merobohkan
rumah Siti dan Udin. Dia berdiri membeku di tepian kali Ciliwung. Memandangi
puing-puing bangunan yang berserakan. Matanya berkaca-kaca. Dia teringat dengan
kedua temannya, Siti dan Udin. Di manakah mereka berada kini? Tanpa terasa,
airmata sudah melinang di kedua belah pipinya.
^^^
Empat
puluh tahun kemudian. Tepatnya di tahun 2044.
Seorang
presiden baru saja menerima surat dari seorang bocah usia delapan tahun. Di
dalam suratnya, bocah itu mengajaknya menyamar seperti Umar. Dan berjalan-jalan
ke daerah-daerah yang banyak orang miskinnya. Presiden itu teringat dengan masa
kecilnya.
Maka,
diam-diam, tanpa sepengetahuan pengawal-pengawalnya, presiden itu pergi menemui
bocah delapan tahun yang mengirimkan surat untuknya, di rumahnya. Bapak
Presiden tidak memakai jas atau safari yang biasa dikenakannya dalam
acara-acara kenegaraan. Dengan mengenakan pakaian rombeng dan wajah yang dibuat
coreng-moreng, Bapak Presiden mengetuk pintu rumah bocah delapan tahun itu.
Bocah
itu sendiri yang membukakan pintu untuknya. Sesaat bocah itu terpana
melihatnya. Dia meneliti wajah bapak yang berdiri di hadapannya. Lalu dia
bertanya, “Bapak Presiden Abdurahman Faiz?”
Pria
yang berusia 49 tahun itu menganggukkan kepala sambil tersenyum.[]
Sumber: Majalah Favorit
0 ulasan:
Catat Ulasan
Tinggalkan jejak sobat di sini