Sepenggal Kisah Malam

Oleh Denny Prabowo



Bulan muncul perlahan dari balik ranting-ranting pepohonan. Di ujung cakrawala, di ufuk barat sana, sang bagaskara telah menuntaskan episode akhir kembara harinya sejak beberapa waktu lalu. Langit kelabu. Selimut kegelapan segera akan dibentangkan. Malam. Apakah akan ada bintang yang menghiasi langit malam ini?

Seorang pemuda keluar dari sebuah masjid. Maghrib baru saja berlalu. Angin menelisik merambati permukaan kulitnya, menghantarkan gigil. Pemuda itu segera merapatkan jaket coklat yang dikenakannya. Lampu-lampu jalan telah dinyalakan. Cahaya merkuri berpendar mengisi ruang-ruang gelap yang ditinggalkan cahaya mentari. Dia berdiri di tepian jalan dengan hati bimbang. Memandang ke langit, menembus mega kelabu yang arak-berarak, seolah ingin menemukan sesuatu yang dia sendiri tak mengerti apa. Dan dia seperti dihadapkan pada kekecewaan ketika merasa tak menemukan apa-apa yang dia sendiri tak tahu untuk apa harus diketemukan. Dia lalu menghirup udara perlahan. Dalam-dalam. Lalu mengembuskannya dalam sekali tekanan. Seolah dengan melakukan itu, terbebaslah dirinya dari himpitan beban yang menyesakan dadanya.

Usianya belum lagi menyentuh kepala tiga. Banyak sudah teman-teman sepermainannya yang sudah berkeluarga; sebagian bahkan telah memiliki anak. Kenyataan itu memberikan tekanan bagi dirinya yang masih saja asyik menikmati kesendirian. Profesinya sebagai jurnalis, sedikit banyak telah membuatnya lalai memikirkan ibadah yang satu itu: pernikahan. Sebagai wartawan di salah satu harian ibukota ternama, waktunya lebih banyak dia habiskan untuk memburu berita.

Hujan masih menyisakan rintiknya. Hujan yang telah turun sejak menjelang subuh pagi tadi, membasahi genting-genting dan teras-teras tak beratap. Gedung-gedung kuyup. Daun-daun dipaksa merunduk oleh embun. Di beberapa ruas jalan air menggenang. Kendaraan sibuk lalu lalang. Orang-orang berebut ingin segera pulang. Sesekali, mobil-mobil yang melesat di sepanjang jalan kota itu melindas genangan, yang segera akan disusul jerit makian dari salah seorang pengguna trotoar oleh karena genangan yang terlindas ban mobil melekat di pakaian yang dikenakannya. Di beberapa kota, hujan bahkan telah menghanyutkan gubuk-gubuk kardus di tepian sungai yang melintasi kota itu, dan menggenangi perkampungan kumuh.

Pemuda itu merogoh saku jaketnya. Mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya. Sebuah surat. Surat dari desa. Yang ketiga yang dikirim oleh orangtuanya selama kurun waktu satu bulan ini, yang belum satupun dibalas olehnya. Dia bukannya tak ingin membalasnya. Dia merasa belum perlu membalas, sebab dia belum memiliki jawaban atas isi surat yang dikirimkan oleh orangtuanya di desa.

Anakku,
Kapan kamu pulang ke desa? Kami sudah ndak sabar menunggu kamu membawakan seorang menantu yang kelak akan melahirkan cucu-cucu kami. Ingat lho, Le… umurmu sudah hampir tigapuluh! Kauingat si Yatmin, teman sepermainanmu waktu kecil? Dia sedang menunggu kelahiran anak keduanya! Kapan giliran kamu? Jangan terlalu lama. Bapak dan ibumu sudah tua. Sudah ndak sabar ingin segera menimang seorang cucu.
Bapak dan ibumu

Pemuda itu melipat kembali surat dari orangtuanya, menenggelamkannya ke dalam saku jaket. Sudah berulangkali dia membacanya. Semakin sering dia membacanya, semakin berat pula tekanan yang dia rasakan. Dia ingin segera mewujudkan keinginan kedua orangtuanya yang ingin segera menimang cucu. Lagipula, tak baik terlalu lama membujang. Terlalu banyak godaannya. Ia ingin segera mengakhiri masa lajangnya. Menikah! Tapi, dengan siapa? Begitu batinnya selalu bertanya. Pertanyaan yang selama kurun waktu satu bulan ini mondar-mandir di kepalanya. Padahal, dalam kesehariannya, dia seringkali berpapasan dengan berbagai macam wanita pada tiap-tiap peristiwa yang dilintasinya…

Pemuda itu mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Ya, Rabb… pertemukanlah aku dengan perempuan yang telah Kau ciptakan dari tulang rusukku…?

Kemudian dia mulai melangkahkan kakinya tanpa tujuan di trotoar yang telah sepi dari pejalan kaki, pada sebuah malam basah yang membekukan. Hujan masih merinai.

Seorang lelaki bertubuh tambun menghentikan langkahnya di sebuah halte sepi. “Bisa minta api?” katanya dengan sebatang rokok yang belum dinyalakan terselip di antara celah bibirnya yang membiru.

“Maaf. Saya tidak merokok,” jawabnya sambil lalu. Lalaki itu tampak kecewa.

Angin menerbangkan butir-butir hujan yang merinai. Menyapu wajahnya. Meniup ujung-ujung rambut ikalnya yang panjang sebahu. Dia membenarkan letak kupluk hitamnya. Dan malam menggelinding dan dingin makin membekap dan waktu terus berlalu tak mau menunggu.

Setelah cukup lama menyusuri trotoar, pemuda itu berhenti di depan sebuah kafe. Tampaknya, secangkir kopi panas bisa sedikit mengusir gigil yang menyelimuti. Sekalian cari bahan artikel, ujar pemuda itu dalam hati. Kebetualan dia diserahi tugas oleh pemred untuk membuat artikel tentang dunia gemerlap anak-anak muda metropolitan. Maka, dia pun masuk ke dalam kafe yang hampir setiap malam tak pernah sepi dari pengunjung muda.

Tapi, adakah orang yang lebih suka menghabiskan waktunya di kafe pada sebuah malam basah yang membekukan?

Dugaannya tak telalu meleset. Tak banyak orang yang mengunjungi tempat itu. Sepertinya, orang-orang lebih memilih tinggal di rumah, menenggelamkan diri di balik selimut tebalnya. Cuaca malam ini memang sangat tak bersahabat.

Duduk di meja deret terdepan, dekat panggung kecil tempat homeband menyuguhkan lagu-lagu yang dibawakannya, seorang pria bule dengan dua orang teman indonesianya—pria dan wanita. Mungkin mereka ekskutif muda. Hal itu bisa dilihat dari pakaian yang mereka kenakan. Sepertinya mereka baru pulang dari tempat kerja. Tak dilihatnya muda-mudi yang biasa meramaikan tempat itu kecuali seorang wanita muda di ujung meja gerai. Sepertinya usianya tak lebih dari 21 tahun.

Ah, sepertinya tak banyak cerita menarik yang bisa aku gali malam ini… pemuda kulitinta itu sedikit kecewa dengan suasana lengang kafe itu. Dia mengambil tempat di meja gerai, lima kursi dari tempat wanita muda yang tampak asyik menenggelamkan dirinya dalam botol whisky.

“Pesan apa?” Tanya seorang pelayan. Tersenyum.

“Secangkir kopi panas!” jawabnya. Pelayan itu menuliskannya pada buku pesanan.

“Makan?”

“Tidak. Itu saja.”

Pelayan yang usianya tak lebih tua dari dirinya itu beranjak mengambil pesanannya dengan senyum yang masih melekat di wajahnya, seolah tersenyum merupakan bagian dari tugas yang harus dia kerjakan.

Pemuda itu tak mau ambil pusing dengan kemungkinan apakah senyum yang dilemparkan pelayan barusan kepadanya terlahir dari sebuah ketulusan, atau hanya bagian dari kewajibannya bersikap ramah pada semua pengunjung kafe. Perhatiannya mulai terusik oleh wanita muda di ujung meja gerai, lima kursi dari tempatnya duduk. Pasti ada sesuatu yang menarik dari dirinya… pikir pemuda kulitinta itu.

“Ehm… cantik ya?” Pelayan yang selalu tersenyum itu meletakkan pesanannya di atas meja. “Silakan!”

Pemuda itu menyeruput kopi yang asapnya masih mengepul. Kehangatan segera meresapi kerongongannya.

“Sayang ya… wanita secantik itu…”

Dia tahu maksud perkataan pelayan itu. Dan dia setuju dengan pendapatnya.

“Apa dia sering datang ke sini?”

“Setiap malam. Sejak seminggu yang lalu.”

“Selalu seperti itu?”

“Dia datang ke sini memang untuk itu.”

Pria bule yang duduk bersama dua orang teman indonesianya, menyalakan pemantik.

“Sebentar, ya? Saya tinggal dulu.”

“Silakan.”

Pelayan yang selalu tersenyum menghampiri meja pria bule yang memanggilnya.

Pemuda itu kembali memperhatikan wanita muda yang duduk tak jauh darinya. Wanita itu tidak kelihatan seperti seorang peminum. Terlihat dari cara dia menuangkan minuman ke dalam gelasnya. Walau tampak kacau, wajahnya masih menawarkan keindahan serupa bidadari. Wajah itu terlalu baik untuk diduga sebagai seorang wanita pekerja seks komersil, kalau tak mau dikatakan pezina. Pakaian yang dikenakan menunjukan kalau dia bukan berasal dari lingkungan keluarga kebanyakan. Penampilannya cukup intelek. Terpelajar. Tapi siapa yang tahu… jaman sekarang… pemuda itu menduga-duga.

“Dia tak akan pergi sebelum kami menutup kafe ini.” Pelayan yang selalu tersenyum sudah kembali ke meja gerai.

“Dia tampak sangat berbeda dengan wanita-wanita muda yang biasa meramaikan tempat ini…”

“Hei… kau mau tambah kopinya?”

“Hmm… bolehlah.”

Si pelayan yang selalu tersenyum menuangkan kopi ke dalam cangkirnya yang sudah tak berisi.

“Terima kasih.” Menyeruput kopinya dengan penuh nikmat. Meresapi kehangatan yang ditawarkan bubuk hitam itu.

“Kekasihnya yang membuatnya jadi begitu.”

“Korban cinta, rupanya.”

“Begitulah.”

“Mengapa manusia sering merasa cinta adalah segala-galanya, sehingga ketika mereka harus kehilangan, maka tak ada lagi yang dianggapnya berharga dalam hidup ini?” Pemuda itu bergumam.

“Apa yang dialami wanita itu sangat rumit.”

“Bukankah cinta memang sangat rumit?”

“Ya. Tapi ini sangat berbeda. Kau tak akan percaya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.”

“Coba kaukatakan.”

“Kekasihnya berselingkuh!”

“Ah. Itu hal yang terlalu biasa.”

“Ya. Akan menjadi luar biasa apabila teman selingkuh kekasihnya tak lain adalah ibunya sendiri!”

“Apa?!” terlonjak. Hampir saja dia menjatuhkan cangkir kopinya.

“Begitulah.”

“Bagaimana kau tahu semua cerita itu?”

“Dia sendiri yang mengatakannya. Wanita itu selalu meracau setiap kali mabuk berat.”

“Berarti, saat ini dia tidak sedang mabuk berat?”

“Belum.”

“Lalu, bagaimana dengan ayahnya?”

Pelayan itu angkat bahu. Tidak tahu.

Wanita yang tengah mereka bicarakan itu mengangkat kepalanya dari atas meja gerai. Rambut panjangnya kusut masai. Dia melempar pandang ke arah pelayan yang selalu tersenyum. “Hei, berikan aku sebotol lagi!”

Pelayan yang lain segera mengambilkan botol whisky dari dalam rak di meja gerai. Ia hendak memberikannya pada wanita itu. Tapi pelayan yang selalu tersenyum mencegahnya.

“Maaf, Nona. Anda sudah mabuk,” kata pelayan itu sambil tersenyum.

“Saya belum mabuk!”

“Tak perlu sampai mabuk ‘kan?”

“Saya harus mabuk!”

“Tidak malam ini, Nona. Kami sudah mau tutup.”

Wanita itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Jarum jam belum menyentuh angka 11. “Baru jam sebelas?”

“Malam ini kami tutup lebih awal.”

Wanita itu tampak sangat kecewa.

Di panggung kecil kafe itu, para pemain band mulai merapikan peralatannya.

“Kenapa tak kauberikan saja?”

“Kau tahu,” kata pelayan itu, “saya sering merasa berdosa setiap kali melihat mereka pulang dari sini dalam keadaan mabuk berat.”

“Lho, bukankah untuk alasan itu mereka datang ke sini?”

“Aku tahu. Tapi tidak selalu. Buktinya kau…”

Pemuda kulitinta itu tersenyum. “Kau tidak cocok di sini, Kawan.”

“Saya terpaksa. Kuliah saya hanya tinggal satu semester lagi. Saya masih butuh uang untuk membiayai kuliah saya. Hanya pekerjaan ini yang bisa saya dapatkan”

“Segeralah selesaikan kuliahmu!” Pelayan itu tersenyum menunjukkan ibujarinya.

“Kau sendiri… apa yang kaulakukan di sini? Saya tidak pernah melihatmu menenggak alkohol…”

“Pekerjaan. Mencari bahan untuk artikel koran.”

“Wah, kebetulan sekali… saya juga kuliah jurnalistik!”

“O ya?”

Wanita muda di ujung meja gerai mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dalam dompetnya. Meletakkannya di atas meja. Kemudian beranjak dari tempat duduknya. Berjalan terhuyung. Binar matanya meredup. Lesi. Hampir saja dia terjerembab kalau pemuda itu tak sigap menangkap tubuhnya. Memapahnya keluar. Dan memanggilkan taksi untuknya.

“Pak, antar Nona ini ke rumahnya!”

“Terima kasih. Kamu baik sekali,” katanya. Sesaat sebelum taksi pergi meninggalkan kepulan asap di wajahnya.

Malam mendesah lirih, merayapi dinding-dinding waktu yang tak jua mau menunggu. Angin malam merintih letih, membawakan kabar duka dari pelosok-pelosok bumi.

Pemuda itu melangkahkan kakinya di trotoar yang telah sepi sama sekali. Masih tanpa tujuan. Hanya berjalan. Membawa cerita sepenggal malam. Tentang wanita muda di ujung meja gerai. Tiba-tiba dia teringat dengan surat dari bapak dan ibunya.

***

Udara penuh jelaga asap kendaraan bermotor. Membumbung di atap kota. Mengepung. Sang bagaskara telah menuntaskan pendakiannya ke tiang tertinggi hari sejak berberapa menit yang lalu.

Pemuda itu keluar dari dalam kantor harian ibukota ternama, tempatnya bekerja. Adzan zuhur memanggil-manggil dari menara masjid di seberang kantornya. Dia bergegas mengarahkan langkahnya ke sana.

“Bruukkk…”

“Aduh!”

Tak sengaja dia menabrak seorang wanita muda di depan pintu pagar masjid itu. Buku-buku milik wanita itu terlepas dari tangannya. Terjatuh. Berserakan di lantai.

“Ma… maaf?” Dia segera memunguti buku-buku yang berserakan. Namun ketika dia hendak memberikan buku itu kepada pemiliknya, ia tampak sangat terkejut melihat wanita berjilbab di depannya.

“Kau…,” tergagap.

Wanita berjilbab lebar itu menundukkan pandangnya. Tapi masih bisa terlihat senyum malu-malu di raut bidadarinya. Pemuda itu memberikan buku-buku milik wanita itu. Wanita itu segera melangkah berlalu. Masih sambil tersenyum.

Pemuda itu masih memandangi punggung wanita itu. Dia teringat pada wanita yang ditemui di sebuah kafe, pada sebuah malam yang membekukan. Dia meraba saku celana. Sebuah surat. Surat yang baru diterimanya hari ini. Surat dari kampung. Entah sudah yang ke berapa. Dia belum juga berminat untuk membalasnya.

Depok, Februari 2004
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini