Ide: Pengalaman adalah Harta

Oleh Denny Prabowo
penulis di Gn. Lawu


“Kalau ingin menjadi pengarang, pergilah ke tempat yang jauh, atau merantaulah ke negeri orang. Lalu tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.”
(W. Somerset Maugham)

Dengan semangat itulah, Gola Gong, penulis yang dikenal sebagai avonturir, memanggul blue ransel-nya untuk berkeliling Indonesia bahkan sampai ke negeri-negeri tetangga di Asia. Dan pengalaman-pengalaman selama melakukan perjalanan itu, menghasilkan sebuah novel serial Balada si Roy yang dimuat bersambung di majalah Hai.

Kamu tentu pernah membaca sebuah cerpen dan merasa tokoh-tokoh di dalam cerpen itu mirip dengan diri kamu. Kalau memakai istilah anak sekarang: gue banget! Hal itu terjadi karena sadar atau tidak sadar, cerita itu ditulis oleh pengarangnya dengan melakukan peniruan realitas atau pengalaman, yang telah melalui proses pengimajinasian sehingga terbangunlah sebuah dunia baru.

Mungkin kamu berpikir, untuk menulis sebuah cerita dibutuhkan pengalaman yang luar biasa. Sehingga kamu mengabaikan pengalaman-pengalaman yang menurutmu tidak terlalu luar biasa atau bahkan sangat biasa. Padahal, disadari atau tidak, ketika kamu menulis cerita, sesungguhnya kamu sedang merespon realitas atau pengalaman kamu.

Pengalaman sendiri
Novakovich (2003:9) menulis, pengarang novel Prancis, Claude Simone, menyatakan bahwa untuk mengumpulkan bahan untuk sebuah novel, sebenarnya cukup hanya dengan mengitari sebuah blok di kotanya. Setelah pulang, tuliskan apa yang kita lihat, pikirkan, rasakan, ingat, dan seterusnya, dan ini semua sudah cukup! Oke, mungkin dia terlalu berlebihan, tetapi pesannya sungguh jelas: kita tidak membutuhkan pengalaman yang luar biasa untuk digunakan sebagai bahan cerita fiksi.

Suatu hari, tengah Hamsad Rangkuti lari pagi, ia menemukan warung dorong yang—dia ketahui dari papan namanya—menjual ketupat gulai paku. Ia pun mampir ke warung itu. Memesan sepiring ketupat gulai paku. Sayangnya, ia tak menemukan gulai pakis, tetapi sayur nangka. Waktu ia menanyakan mengapa tidak sesuai merek dagangannya, pemilik warung mengaku sulit menemukan pakis belakangan ini. Dari pengalaman sederhana itu, Hamsad menulis cerpen “Ketupat Gulai Paku” . Dalam cerpen itu, Hamsad mengetengahkan konflik batin tokoh “aku” yang mungkin saja merupakan bagian dari pengalaman diri Hamsad sendiri. Diceritakan bagaimana si “aku” tergoda selera etnisnya oleh aroma gulai sayur paku. Namun, ia teringat khotbah dokter tentang sederetan pantangan yang harus dipatuhinya, termasuk menghindari makanan berminyak, berlemak, dan pedas-pedas. Sampai akhirnya, keinginan menjajal ketupat gulai paku, mengalahkan pantangan dari dokter. Akan tetapi, betapa kecewanya ia ketika tak mendapati gulai paku, tetapi sayur nangka.

Cerita itu sepertinya tidak terlalu menarik. Namun, cara Hamsad mengeksplorasi konflik batinnya, diselingi dengan ingatan tentang masa kecilnya tentang gulai paku, membuat pembaca terjebak dalam konflik sehingga ikut penasaran, dengan apa yang akan dilakukan oleh tokoh “aku” dalam cerita itu.

Noor H. Dee, seorang cerpenis muda, menulis cerpen berjudul “Resep Airmata” yang mengisahkan derita para koki yang harus memasak sambil menangis, karena konon, air mata koki-koki itulah yang membuat para pelanggan restoran continental itu ketagihan. Dan bukan sebuah kebetulan jika ternyata Noor H. Dee pernah bekerja sebagai koki pada sebuah restoran continental.

Pengalaman orang lain
Suatu kali sepulang dari percetakan CV Kosen (tempat majalah Horison dicetak sebelum berubah ke offset), oplet yang ditumpangi Hamsad Rangkuti terhambat kerumunan orang. Dari penumpang yang baru naik, ia tahu bahwa di tempat itu baru saja terjadi penjambretan. Korbannya seorang wanita muda, pemilik gelang emas seberat 25 gr. Seorang penumpang wanita yang yang berada di oplet itu nyeletuk setelah mendengar cerita dari penumpang yang baru naik itu. Kata wanita itu, ia pernah melihat peristiwa penjambretan di kota Bandung. Korban penjambretan itu, oleh sekawanan penjambret dipaksa menelan kalung yang dipakainya, setelah sekawanan penjambret itu menyadari bahwa kalung yang dijambretnya ternyata imitasi. Di bawah todongan belati, pemilik kalung imitasi itu dipaksa menelan kalung miliknya.

Dari pengalaman wanita itu, Hamsad Rangkuti menulis dua cerpen berjudul “Perbuatan Sadis” dan “Pispot”. Dalam “Perbuatan Sadis” Hamsad berusaha menghadirkan rasa ngeri ketika mendengar cerita itu. Dan menjadikan wanita yang menceritakan peristiwa penjambretan itu sebagai tokoh yang menjadi korbannya. Sementara dalam cerpen “Pispot” ia justru membalik peristiwa itu, dengan membuat si penjambret yang terpaksa menelan kalung yang dijambretnya, sesaat sebelum ditangkap oleh aparat keamanan.

Hamsad Rangkuti tidak menjadikan pengalamannya di dalam oplet itu sebagai bahan mentah yang harus direkonstruksi ulang, sesuai kejadian sebenarnya. Bahkan dalam cerpen “Pispot” dia membalikkan keadaannya. Di sinilah letak pertemuan antara realitas (baca: pengalaman) dengan kreativitas. Realitas yang sungguh dialami oleh Hamsad hanya dijadikan sebagai bahan mentah untuk mengkreasi sebuah “dunia” baru, yaitu dunia fiksi.

Pandangan selintas
Kamu mungkin merasa pengalaman hidup kamu biasa-biasa saja, tidak cukup menarik untuk dituliskan. Hamsad Rangkuti mengatakan, “Dari pandangan selintas bagi saya bisa juga mendatangkan ide untuk sebuah cerpen.”

Suatu kali Hamsad Rangkuti melihat dari jendela bus seorang lelaki menekan kawat sinyal di sisi rentangan rel. Pada saat rentangan kawat sinyal itu ditekan, seorang wanita yang mengenakan kebaya melangkah di atas rentangan kawat sinyal itu. Setelah melintas wanita itu melemparkan sekeping uang ke dalam kaleng yang berada di sebelah tempat duduk si lelaki. Hanya itu yang dilihat Hamsad Rangkuti secara selintas, sementara bus yang ditumpanginya tetap melaju. Apakah pengalaman tersebut cukup menarik? Saya rasa tidak. Namun, dari pandangan selintas itu lahirlah sebuah cerpen berjudul, “Hukuman untuk Tom” yang sangat menarik.

Saya pernah terjebak hujan di sebuah ruang tunggu terminal. Saat itu saya harus menjemput Joni Ariadinata, sastrawan hebat dari Jogja yang juga redaktur majalah sastra Horison, dengan motor. Sambil menunggu hujan reda, kami ngobrol-ngobrol apa saja. Tiba-tiba, Joni Ariadinata mengatakan pada saya, “Coba kamu lihat gadis itu,” katanya sambil menunjuk seorang gadis yang memegang handphone, “sejak tadi dia asyik SMS-an entah dengan siapa. Kadang tertawa sendiri, kadang cemberut. Siapa yang sedang di-SMS olehnya? Kekasihnya? Suaminya? Atau selingkuhannya? Apakah dia sedang menunggu orang yang ber-SMS-an dengannya itu datang menjemput? Bagaimana kalau orang yang ditunggunya itu tidak datang?”

Ah, sejak kapan ia memperhatikan gadis itu? Sepenglihatan saya, sejak tadi ia asyik bicara dengan saya? Dari pengamatan selintas Joni Ariadinata itu, saya langsung menemukan sebuah bahan untuk dituliskan.

Terkadang, peristiwa yang dianggap biasa saja oleh kita, ternyata dapat menjadi bahan sebuah cerita yang luar biasa. Jadi, masalahnya bukan pada apakah pengalaman kamu cukup menarik untuk dituliskan atau tidak, tetapi bagaimana caranya pengalaman yang tidak terlalu menarik itu menjadi sangat menarik untuk dibaca oleh orang lain. Di sinilah imajinasi bermain.

Kamu tentu pernah melihat seekor anjing sedang mengorek-ngorek sampah. Bagaimana jika anjing itu menemukan seorang bayi menangis di dalam kardus? Kenapa bayi itu ada di tempat sampah? Apakah bayi itu dibuang oleh orang tuanya? Mengapa bayi itu dibuang? Ketika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu berhasil kamu temukan, kamu telah menyelesaikan sebuah plot. Sekarang biarkan imajinasimu mengkreasi sebuah dunia. Jika kamu kesulitan menemukan latar dan tokoh atau kamu kesulitan menemukan adegan, ingat prinsip nomor tiga. Buka buku catatan atau rekaman pengalaman kamu. Apakah kamu belum menemukan cara untuk menyusun latar, tokoh, dan adegan untuk ide kamu? Prinsip nomor tujuh, akan membantu kamu lebih jauh. Ayo membaca! Buku, koran, majalah, jurnal, blog, semuanya akan membantumu mengkreasi sebuah dunia fiksi.
***
Apa saja yang sudah kamu alami sepanjang usia kamu? Apa saja yang pernah kamu lihat? Apa saja yang pernah kamu dengar? Apa saja yang pernah kamu baca? Coba ingat-ingat kembali. Karena pengalaman adalah harta terpendam yang akan membawamu sebagi penulis hebat!

Noor H. Dee bekerja sebagai koki di restoran continental selama tujuh tahun. Dia tahu betul suasana kerja sebuah restoran. Pengalaman yang telah mengalami proses interpretasi itu diolahnya dalam ruang imaji. Dan hasilnya adalah sebuah cerpen berjudul “Resep Airmata”.

Baca Cerpen “Resep Airmata”



Daftar Bacaan

Novacovich, Josip. 2003. Berguru kepada Sastrawan Dunia. Bandung: Kaifa.
Rangkuti, Hamsad. 2003. Bibir dalam Pispot. Jakarta: Penerbit Kompas
Dee, Noor H. 2008. Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta. Depok: Lingkar Pena Publishing House
Share on Google Plus

About Denny Prabowo

Penulis, penyunting, penata letak, pedagang pakaian, dokumentator karya FLP, dan sederet identitas lain bisa dilekatkan kepadanya. Pernah bekerja sebagai Asisten Manajer Buku Sastra di Balai Pustaka. Pernah belajar di jurusan sastra Indonesia Unpak. Denny bisa dihubungi di e-mail sastradenny@gmail.com.

0 ulasan:

Catat Ulasan

Tinggalkan jejak sobat di sini